Rabu, 20 April 2011

Dua Puluh Enam

cerpen estafet karya Ecka Anastasia (Ende) dan Christian Dicky Senda (Jogja)
untuk MuDAers NTT Menulis




“Selalu di ujung jalan itu, laki-laki tua
dengan keriput nyaris di sekujur wajah berdiri.
Hanya berdiri menatap sebuah tanah kosong yang
terbentang di depan matanya. Pada kedua tangannya,
sapu tangan biru tergenggam erat. Seolah itu bukan
saputangan, tapi permata biru yang mesti dijaga
dari pencuri nakal.”


Aku sudah sering mengamati laki laki itu dari tepi jalan yang berlawanan. Rumahku. Tiap tanggal duapuluh enam pada kalender matahari, laki-laki tua itu sudah ada disitu, dari subuh. Berdiri hingga tengah hari, kemudian pergi untuk kembali lagi jelang senja sampai tengah malam. Keesokan harinya laki-laki tua itu akan lenyap. Dan kembali lagi bulan depan, tanggal dua puluh enam. Kebetulankah?


Dua puluh enam. Mungkin tanggal keramat baginya. Aku menduga, hal ini tentu ada kaitannya dengan sebuah memori masa lalu yang mengaduk-aduk perasaanya. Mungkin itu sebuah pengalaman indah atau yang menyakitkan sekaligus, tapi seolah tak rela untuk lenyap begitu saja. Ah, aku terlalu banyak menduga. Mestinya aku sudah menemukan jawaban pastinya sejak lama, pasalnya kejadian ini bukan baru pertama kalinya aku ketahui. Aku ingat betul kejadian yang terjadi sehari setelah jamuan makan malam Natal tahun lalu di rumahku ketika kami hampir saja bertabrakan badan di pojok taman kira-kira dua blok dari rumahku. Aku yang sedang melakukan lari pagi buta itu pun tak menyangka akan bertemu laki-laki tua tinggi semampai yang berlawanan arah denganku di balik tikungan. Aku ingat betul, wajah pucat nan keriput dengan kantong mata cekung pernah mendiamkan ritme jantungku sepersekian detik. Horor pagi buta yang membuatku pucat pasi.


Kukira kota kecil ini tak punya tunawisma.


Laki laki itu pun tak tampak seperti tunawisma. Aku mengakui bahwa rupanya sedikut kusut karena keriput, dan kantong matanya yang cekung -mungkin karena digerogoti macam-macam penyakit orang tua- menegaskan profilnya yang kurus. Tapi pakaiannya terurus. Dia rapih juga bersih.
Tunawisma biasanya tak rapih apalagi bersih. Hanya satu masalahnya. Dia berdiri sendirian pada tanggal yang sama, yang kukira berasal dari kenangan masa lalu, di tepi lahan kosong itu. Menatap setiap sudut tanah, seolah sedang menghitung berapa biaya untuk membangun sebuah rumah masa depan yang megah. Sesekali mengitari, seolah menatap sebuah rumah kasat mata.


Masalahku juga cuma satu. Aku penasaran, namun enggan bertanya. Takut tebakanku meleset. Takut saputangan biru yang digenggamnya bak permata cuma saputangan tanpa kenangan. Takut mata cekung yang pernah membuatku pucat pasi, melompat dari kelopaknya untuk menelanjangi kenekatanku bertanya soal urusan orang lain. Tapi kali ini, tidak bisa tidak lagi. Aku sudah mempersiapkan diri untuk bertanya kepadanya. Setelah pada tanggal dua puluh enam desember lalu, sehari sesudah Natal, ibu yang datang berkunjung menggelengkan kepalanya sembari berujar:
“Tidak kenal. Mungkin orang stress”
“Yakin?”
“Kau pikir aku ini pikun?”
Aku bertanya pada ibu. Sebab rumah yang kini kutempati adalah rumah yang dulu ditempati seluruh keluargaku, sebelum ibu pindah menetap bersama kakak perempuanku di kota yang lain. Aku belum mampu mengurusinya dengan baik. Aku laki-laki. Perempuan akan lebih telaten dalam merawat orang lain, begitu alasan ibu. Setelah kurenungkan, mungkin itupula sebabnya, Tuhan lebih dulu mengambil ayahku saat aku berusia sembilan tahun, belasan tahun silam. Mungkin Dia tahu, jika ibu yang dipanggilnya lebih dulu. Aku dan kakak perempuanku tak akan terawat dengan baik, sampai kini kami balik merawatnya.


Ibuku sedikit pikun. Jawabannya tak bisa kupercaya sebagai sebuah kebenaran. Untuk mencari kebenaran, aku harus nekat menghampiri laki-laki tua itu. Sekarang. Dengan langkah perlahan, aku menatap lurus ke punggungnya yang sedikit bungkuk. Aku berjalan terus lalu berdiri tegak disampingnya. Kami sesama lelaki. Pantang bagiku untuk terlihat takut, meski hatiku kecut
''Ma...aaafkan aku soal kejadian kali lalu itu, pak...'' kataku dengan sangat gugup. kupastikan ucapanku dengan ayunan tangan kananku ingin bersalaman.


''Hhmm....'' katanya singkat tanpa menoleh sedetikpun. kutatap lagi sudut matanya. Sorotan mata yang kurasakan jauh menembus semak kecil di depan kami.


''Maafkan aku. aku cuma ingin mampir saja dan sedikit ingin tahu tentangmu. kupikir kau butuh teman ngobrol. Oya, besok ulang tahun ibuku. Kau bisa mampir dan makan malam bersama kami, disana…’’ Aku menunjuk ke arah bangunan dua lantai bergaya kolonial itu. Rasa gugup kadang membuatku nampak bodoh dan ceroboh dalam berkata-kata
Besok kan tanggal 27, gak mungkin dia masih mematung disini.


''Maaf? kenapa harus maaf? Seperti tajam dan agak meninggi.
Aku terdiam. Rasanya orang tua ini makin aneh saja.


Tiba-tiba ia mengajak bersalaman. Kulihat sorot matanya yang tajam, seperti harta karun yang tak terjamah. Banyak rahasia tersimpan di dalam sana, pikirku. Tangannya dingin sekali. Naluri penasaranku seolah terbangkitkan lagi. Tapi sesuatu yang aneh terjadi seketika. Ia menutup matanya sambil memegang tanganku erat-erat. Makin bergetar dan terasa dingin sekali. Kira-kira sepuluh detik ia memegang erat tanganku lalu menghempasnya kuat, eskpresinya kembali normal. Giliran aku yang makin pucat pasi.
Ingin rasanya aku pergi saja detik ini juga. Kejadian barusan makin mempertebal keyakinanku bahwa orang ini sungguh aneh.
Aku pun mundur dua langkah dan ingin pergi saja secepatnya dari situ. Tapi sesuatu kembali menghentikan niatku.


“Ken, aku melihat wajah murung wanita tua berbaju ungu…kukira ia menyembunyikan sesuatu di balik payudaranya. Banyak darah!. Ken, aku melihat akan ada tangisan…’’ Perkataan yang awalnya kencang dan berakhir sayup-sayup hampir tak kudengar.
Aku makin bingung dan memutuskan pergi meninggalkannya begitu saja. kurasakan denyutan di kepalaku kian membesarkan diameter kepalaku. Aku berlari kencang kembali ke rumah. Yang kuingat seperti mimpi yang menenggelamkanku diatar kasur. Rasanya pening.


***


Aku terbangun delapan jam kemudian. Apakah ini mimpi? Aku bergegas menuju jendela dari kamar yang berada di lantai atas, dari sana tentu akan mampu menjangkau tanah kosong dan pak tua tanpa nama itu. Tak ada seorangpun ada disana. Kulihat jam tanganku, sudah jam 10 malam dan ini masih tanggal 26! Oh, mungkin saja ia sudah ngantuk atau lapar dan kembali ke rumah entah berantahnya. Kenapa aku tak menguntitnya saja selama ini? Aku mungkin terlalu bodoh dan penakut.


Teringat ibu. Kenapa dengan ibu? Dari mana ia tahu kalau ibu suka sekali dengan warna ungu? Hei, ia memanggil namaku dengan jelas, Ken. Dari mana ia mengetahui ini semua? Apa ia hanya pura-pura berada di depan sana tapi ternyata ia sendiri adalah si licik yang kerap menguntit keluargaku? Apa ia penyihir jahat? Aku memang selalu khawatir dengan keluargaku.


Besok kakak perempuanku dan keluarganya akan tiba di rumah untuk merayakan ultah ibu kami. Aku jadi ingat lagi jika aku sudah mengundangnya untuk makan malam bersama. Sepertinya aku sudah melihat kesedihan itu di tepian sana…


Dua puluh tujuh. Aku menunggu setahun untuk bertemu. Apa ibu akan memakai baju ungu? Apa aku akan menatap payudaranya dan melihat darahnya merembes lantas histeris. Atau seperti biasa kami akan duduk kaku melingkari meja kayu dengan sepotong kue ulang tahun. Ah.. selamat ulang tahun ibu, ibuku. Aku membuka jendela. Menghirup udara pagi. Pukul empat dinihari. Rejekiku akan berlipat ganda jika aku bangun lebih pagi suara si jantan. Begitulah kata ibu. Kata yang sudah tak pernah kudengar lagi semenjak dia tinggal bersama Ida, kakak perempuanku, juga satu-satunya kakakku.


“Kau kakakku. Mengapa tidak tinggal di rumah ini saja. Mengapa membawa ibu? “
“Aku suka mencintai suamiku. Ibu tidak akan sanggup lagi mengurus diri sendiri. Kau belum sanggup mengurus ibu. Jelas?“
Cukup jelas nyonya muda.


Aku ingat betul keributan kami lima tahun silam. Sebelum kakak, dan akhirnya ibu pergi. Kakakku ingin pindah selepas menikah dan membawa ibu. Aku tak terima. Masih ada aku yang akan mengurusnya. Tapi kakakku akhirnya memenangkan ibu. Jujur, Aku merasa kehilangan. Untungnya mereka tak benar-benar pergi. Tiap Natal dan hari ulang tahunnya mereka selalu kembali kesini, rumah tua warisan almarhum ayah. Juga hari ini.


Lantai dan perabotan sudah bersih dari debu, seperti baru. Kakakku alergi debu. Jika dia bersin-bersin setiba disini, aku tak ragu dia akan mengangkat kopernya lalu pulang seketika. Sudah sering dia bertingkah begitu.
“Huh, makin kurus saja kau “
Seperti biasanya Kakakku bahkan enggan mengucapkan kalimat manis di awal pertemuan.
“Kamarku bersih seperti ruang tamu ini kan ?“
Dia mengira aku ini babu
“Ibu minta sekamar denganmu “
Ibu mengangguk. Ibuku dengan baju warna ungu. Kakakku berlalu. Aku menatap wajah ibu yang kian layu termakan usia ketika matanya menerawang.
“Dua puluh enam tahun, kamu, Ken”
“Selamat ulang tahun, ibu. Lima puluh tahun. Masih akan ada lima puluh selamat ulang tahun.”
Ibu tersenyum kecut. Aku merangkulnya. Senyum ibu memang selalu kecut setelah ayah tiada.


***


Tepat seperti yang kukira sebelumnya. Kami bertiga, aku, ibu dan ida kakakku, duduk melingkar pada meja kayu di ruang makan. Ibu menerawang. Ida sibuk dengan kue ulang tahun. Aku menatap ke luar jendela. Akankah dia datang. Suara ketukan dari pintu memecahkan kebekuan. Apakah itu dia? Sungguh sungguh pak tua itu?
Aku membuka pintu. Bukan dia. Tapi seorang perempuan seumuran ibu, sahabatnya, tante Maria.
“Ibumu ada, Ken?”


***


Tak pernah kubayangkan akan seperti ini sebelumnya. Bahwa tante Maria akan datang membawa sepotong surat yang diselipkan dalam sebuah saputangan biru, surat yang mengharu biru. Surat yang bercerita tentang asal usul, aku. Surat yang membuat mata kelam ibu menjadi sepucat langit abu-abu. Sejenak melihat saputangan biru itu, rasanya seperti sebuah de javu meski samar-samar.

Elizku,
Aku kembali. Setelah berpuluh tahun menghilang. Anakku itu, Ken, dia sangat tampan. Dia mewarisi kenekatan yang aku miliki juga sedikit keberanianmu yang bercampur keraguan. Aku menunggumu, namun kau tak juga muncul dari balik pintu. Kau harusnya tahu, kau tak pernah cinta laki laki itu, suamimu. Kau harusnya tahu, dua luka tembak pada dadanya tak cukup membayar malam kita yang terampas. Kau harusnya tahu, aku melakukannya untuk Ken, anakku. Untuk harga diriku. Untuk kehormatanmu. Untuk kita. Sebagai keluarga. Meski aku harus menunggu sekian lama di balik tembok dingin, penjara. Sepertinya sudah menjadi takdir bahwa harus ada berkali-kali tanggal dua puluh enam untuk sampai pada keberanianku mengirimkan biru ini padamu. Akhirnya aku bisa menyentuhnya lagi meski dalam sebuah perjumpaan dan percakapan yang sama sekali rahasia, kemarin. Tapi malam ini rasanya rahasia itu tak perlu lagi sekarat dalam bungkusan sapu tangan biru ini. Aku bukan lagi pria tua tanpa nama di ujung tanah lapang sana, tapi aku yang terlalu rindu untuk memeluk Ken, kebangganku. Aku kembali.

JANUS
***


Ibu tersedu, sementara aku rasanya ingin tidur dan tak pernah kembali bangun. Kali ini de javu itu benar-benar nyata, tak lagi samar. Rasanya dada ini kian sesak dan terdesak untuk siap meledak. Ida kakakku memelototi surat itu, dan tak henti-hentinya memberiku tatapan aneh dari sudut meja.
Raut kita memang tak sama. Kita hanya berbagi ibu, bukan ayah. Apa pedulimu?


Sementara Tante Maria cuma berkata, laki-laki itu, ayahku yang baru kuketahui namanya, menginap sementara di rumahnya.


****


Sebuah ketukan terdengar dari arah pintu. Ibu makin tersedu. Aku bingung. Ida bangun dan mendesis, kau anak pembunuh! Sungguh, aku tak ingin membuka pintu. Aku ingin tidur dan memeluk ibu, ibuku.


Ketukan itu terdengar lagi dan kami semua yang berada di ruang makan ini masih larut dalam kebisuan. Kulihat tatapan Ida makin mengkilat seperti pedang yang terhunus. Beranjaknya ibu dari kursinya sontak memecah kebisuan seketika. Tak ada yang melerai. Rasanya itu pilihan tepat untuk situasi seperti ini. Lama sekali kebisuan tercipta luar sana. Tiba-tiba aku menjadi sedikit khatawir dan tatapan mata pedang di depanku ini lantas membuyarkan hal itu. Samar-samar kudengar percakapan kecil dimulai di luar sana.


***
“Kenapa kau kembali?”
“Aku hanya ingin bertemu anakku, Ken”
“Kenapa baru sekarang? Kenapa harus dengan cara seperti orang gila di seberang tanah kosong sana?”
Si pria menunduk.
“Liz, maafkan aku…” parau dan dalam sekali.
“Sejak dulu pun, aku sudah memaafkanmu. Toh, itu juga salahku, yang sadar bermain api padahal sudah punya Ida dari John. Meski aku mengenalmu lebih dulu ketimbang mengenal John.”


“Tapi kau selalu bilang kau mencintaiku dan ingin bersamaku”


“Yah, aku sudah memikirkan sebuah perceraian namun sayangnya pelor keburu menembus dada John sebelum aku benar-benar melakukannya. Terlalu naif memang. Kau!”


Ia kembali diam. Dalam situasi seperti ini, yang terpenting adalah diam. Diam untuk menenangkan. Ia bahkan tahu bagaimana caranya untuk memenangkan hati wanita di depannya ini, wanita yang tak pernah sedetikpun ia lupakan, pikirnya. Dan, nyatanya masih ada seutas akar hidup di dalam dadanya yang mulai menunas bahkan di detik pertama ia membukakan pintu tadi. Seperti roh terhembus dari antara dua saluran di dalam hati mereka. Sesuatu yang becampur dengan kejujuran dan akhirnya merubah suasana rumah malam ini. Kadang berakhir dengan manis diluar kuasaku, dia atau siapapun manusia di dunia ini. Seringnya itu mewujud mimpi.


***

Mungkin malam itu perjamuan terindah yang aku dan keluargaku alami. Hidup kita memang sudah ada alurnya sendiri-sendiri. Dan seperti air, semua mengalir apa adanya. Melalui dan membentuk seturut apa yang sudah digariskan. Seperti juga yang terjadi kini. Sesuatu yang dulu terasa kosong di jiwa ini kini penuh sudah. Aku bahkan ingin mencium tangan ayah setiap saat. Aku bahkan baru tahu rasa dan artinya sebuah kehilangan, ketika sesuatu yang kudamba baru saja menyentuh jiwaku. Ayahku sendiri. Rasanya aku tak rela melepaskannya.


Mereka mungkin sudah ditakdirkan benar-benar akan bersatu meski hal itu baru kesampaian di usia senja. Dan sebenarnya hal ini kurang disambut meriah oleh kakakku Ida. Apa pedulimu? Toh dia selalu saja jadi si sulung yang egois.
Ibu akhirnya kembali ke rumahnya, tinggal lagi bersamaku dan ayah. 


Kebersamaan yang kelak menumbuhkan kepercayaan diriku: harusnya aku cepat-cepat saja melamar Deasy. Mereka butuh suara anak-anak di rumah ini. Cucu-cucu yang siap meramaikan senja mereka, dalam hati aku tersenyum.
Angin kencang menyibakkan tirai putih dari sebalik bingkai jendela, seperti sebuah misteri yang melayang, menyaru dalam dingin dan samasekali tak kupahami. Sesuatu yang mulai membusuk dan samar!


***

Malam ini kulihat sesuatu mengganjal di ruang makan. Tak ada orbolan panjang, tak ada tawa renyah atau kerlingan mesra antar ayah dan ibu. Teringat pula Ida yang sudah lama sekali tak menelpon.


“Ada yang ingin ayah bicarakan denganmu sekarang”


Aku tak bergeming sedetikpun. Kuturuti saja langkahnya. Sedangkan ibu tiba-tiba saja menghilang di balik pintu kamarnya.


“Apa kau masih ingat dengan apa yang pernah kukatakan padamu dulu tentang ibumu?”
Aku diam saja, setengah berpikir.
“Yeah, spontanitasku yang sempat membuatmu pucat pasi. Baju ungu…wanita tua…” lanjutnya.
Aku mengangguk yah meski tak sepenuhnya mengerti.
“Aku harap kau kuat. Melihatmu saat ini, seperti sedang bercermin, aku membayangkan diriku sendiri di detik-detik penangkapanku oleh pihak kepolisian, dulu.” Ia menyodorkan sebuah amplop coklat dengan kop nama sebuah rumah sakit.


Aku bahkan baru tahu rasa dan artinya sebuah kehilangan, ketika sesuatu yang kudamba baru saja menyentuh jiwaku. Ayahku sendiri. Rasanya aku tak rela melepaskannya. Aku hanya memikirkan hal ini.


Kubuka saja amplopnya dan beberapa detik kemudian yang kurasakan adalah kepalaku bak ruang kosong serba putih menyolok mata, membuat pening dan perih hingga pecahnya tangisan benar-benar mendarat di pundak ayah.


Ken, aku melihat wajah murung wanita tua berbaju ungu…kukira ia menyembunyikan sesuatu dibalik payudaranya. Banyak darah!. Ken, aku melihat tangisan…


Ia benar-benar melihat tangisan. Bahkan merasakan sendiri air mata anak lelakinya membasahi pundaknya.
Ibu benar-benar menyembunyikan rapi penyakit kanker di payudaranya dari aku dan Ida. Tapi tidak dengan ayah. Ayah sudah mendapatkan tanda itu dari banyak mimpi sejenis belakangan ini. Bahwa ternyata lorong hati mereka masih menyatu. Dan jika terjadi pada belahan jiwanya, ia sungguh percaya itu. Toh memang demikian adanya. Stadium empat yang diperkirakan sudah mencapai paru-parunya.


“Kau tahu kenapa aku suka mampir setiap tanggal 26?” tanyanya penuh selidik.
Aku menggeleng. Aku malas berpikir. Aku hanya ingat ibu.
“Tak ada yang spesial. Cuma kebetulan saja. Lagipula aku menyukai berbagai kebetulan dalam hidup. Tuhan pun mencintai kebetulan makanya diciptakannya kebetulan itu.” seloroh ayah. Seperti tertulis, jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu serangkaian kebetulan belaka?¹


“Kau lahir tanggal 26. Aku dan ibumu juga. Cuma beda bulan saja kita. Aku membunuh ayah Ida juga di tanggal 26. Aku melihatmu setiap tanggal 26. Akhirnya aku dan ibumu juga menikah di tanggal 26. Ah, apa lagi yah?” ia berusaha keras untuk memikirkan apapun terkait tanggal 26. Tapi aku tetap ingat ibu.
“Ayah, berapa lama lagi usia ibu?” Sebab aku tahu betul dalam kondisi stadium seperti itu memang hanya ada dua hal, mujizat dan kerelaan kita untuk melepasnya pergi.
“26 hari lagi..” selorohnya seperti baru saja tersambung dengan lorong hati ibu dan juga Tuhannya.




***

Jogjakata-Ende, 18 April 2011, 23:33 WIB


¹ Ayu Utami dalam novel Manjali dan Cakrabirawa, hal.18

1 komentar: