Jumat, 23 September 2011

Ilusi Senja Tentang Perawan Bernama Sri Devi

(Oleh Dicky Christian Senda)

Pada dasarnya aku dilahirkan senja, makanya selalu jatuh cinta padanya.
mengingat dan melihatnya adalah menginginkan wajah yang bersahaja itu disapu angin
raksasa biar jadi lukisan emas berlapis ungu pupus yang kerap menawan bola-bola mata
dan menempatkannya pada bungkusan yang rasanya sama,
dengan desiran, aliran dan degupan yang sama pula

selalu disini. di atas bongkahan karang pejal kujilat habis pesonanya
menunggu hingga tiris cakrawala redup sehingga pada saat yang sama, aku bisa buru-buru menghidupkan
selubung-selubung ilusi tentang mercusuar putih kusam yang kesepian menjaga
yang berhalamankan guguran daun randu kering
suasana yang lebih cepat bikin hati haru biru
karena biasanya disitu perempuan muda berbando merah jambu bersembunyi dari nasib
yang tak sememesona senja di pelupuk mata bolanya
tentang teluk yang setia memanggil ikan-ikan segala rupa warna
yang bersekongkol dengan masa kawin untuk mendatangkan sekelompok paus kasmaran

ia kunamai perawan senja yang terbawa angin senja Lahore
jadilah ia senja dengan bando merah jambu yang tertawan angin dan gelap
jadi kunang-kunang bisu di sela waktu malam yang kian merayap
ia adalah kunang-kunang bisu berhidung panjang dengan lentik bulu-bulu yang rapi memagari kedua
bola matanya
tempat sepi larut bersama desir sederet lontar di tenggara teluk
gincunya tipis
setipis siklus reinkarnasi yang merayap bak bekicot dalam mimpi
dalam banyak selubuk sepi yang menusuk sembilu
pahit macam sedang memakan sebutir peria

dan ilusiku tentangnya
tak sampai pada pertanyaan siapa namanya
tapi kunamai ia Sri Devi (bagusan Parvati juga...)

karena tiba-tiba anganku hanya tentang wangsit yang turun dari lapisan ke tujuh
tentang si mata bola penjaga senja di bibir teluk
bertahi lalat besar di lengan kanan tempat tuah bermukim: tentang keselarasan hidup, tentang bayi-bayi yang
akan selamat karena mulut dan tangannya
karena tiba-tiba anganku hanya tentang jimat akar bahar dari puncak gunung seribu
di selatan teluk
yang kukira mampu menawar hatinya dari kefanaan lama
mungkin saja karena aku kunciannya
makanya sejak rupa wangsit itu deruku makin mengukir kekosongan
yang ia bilang semadi

di sana senja hampir roboh
biar gegas kuhirup saja
berharap kilau yang lebur tumpah dalam setiap nadi setiap yang hidup
lagi-lagi ini hanya tentang keselarasan hidup
tentang tangisan orok yang pecah tapi abadi
tak melulu termakan sepi

kukira kini namaku Arya Dewa

Teluk Kupang, 15 September 2011

Mereka ---> Bisa jadi kamu

(sebuah cerpen Eka Wangge)

Aku kenal seorang pria yang ingin menuliskan sebuah kisah cinta, namun tak tahu harus mulai dari mana. Aku juga kenal seorang wanita yang ingin menuliskan sebuah kisah cinta, namun juga tak tahu harus mulai dari mana. Aku kira mereka berjodoh, seperti Nobita dan Sizuoka, tokoh kartun favorit si wanita. Tapi ternyata tidak. Mereka bahkan tidak memiliki rasa ketertarikan sama sekali. Sial.

Kukira aku yang salah, Mungkin aku tak cukup mengenal kedua temanku ini, sang pria dan si wanita tadi, dengan baik. Tapi setelah kutimbang lagi, rasanya aku sudah cukup baik mengenal mereka. Aku kenal dangan sang pria sudah sejak dua tahun silam. Sedangkan si wanita, sudah lebih lama dari itu, empat tahun ! aku bukan orang yang pandai berteman. Maka hitungan dua tahun apalagi empat tahun merupakan angka yang cukup untuk aku sebut mereka, sahabat. Seperti sudah kubilang, aku kira sahabatku ini akan berjodoh sebagai sepasang kekasih, bukannya sekedar teman, tapi ternyata tidak.

Apakah aku salah ? Rasa-rasanya tidak. Sang Pria pembawaannya jujur. Ia pria paling setia yang pernah kukenal. Kalau sudah menyukai seorang wanita, ia tak akan melirik wanita lain sejelita apapun wanita itu. begitu juga dengan si wanita. Mereka sama-sama suka musik Dangdut, yang menurutku norak. Sama sama suka jenis masakan seafood, yang lebih sering membuatku mual. Sama-sama suka menonton film action, yang membuatku pusing mendengarkan desingan peluru. Sama-sama suka ke pesta, yang membuatku sesak napas di tengah keriuhan. Aku kira mereka berjodoh, tapi ternyata tidak. Mereka bahkan tidak memiliki rasa ketertarikan sama sekali.

Darimana aku tahu ? tentu kau bertanya. Bagaimana aku tak tahu, kalau setiap saat kujodohkan, si wanita Cuma melengos. Sementara sang pria akan mencibir, dengan suara baritonnya dia selalu bilang

“ dasar sok tahu!”

Berulangkali aku melihat ekspresi yang sama dari si wanita, dan cibiran yang sama dari bibir sang pria. Berulangkali pula aku menanamkan niat untuk tidak putus asa dalam usaha perjodohan ini. Aku yakin seyakin yakinnya mereka berjodoh. Tapi ternyata tidak.

“ Dia itu sukanya sama kamu! “

Aku menghadiahi si wanita yang baru berbicara ini sebuah kalimat cemoohan
“ sok tahu! Dia itu cocoknya sama kamu!”

“ ini bukan masalah cocok. Ini masalah hati, perasaan “

Seperti yang dia katakan, ini memang ternyata bukan masalah cocok, tapi masalah perasaan.

“ sudah lama aku suka kamu “

“ oh ya ? sejak kapan ? “

“ sejak kita pertama kali bertemu. Waktu itu hari kamis, kau ingat ? “

“ sudah lama sekali. Ingatanku tidak begitu bagus “

“ lalu bagaimana ? “

“ kita tak akan cocok “

Aku masih mengenal seorang pria yang ingin menulis kisah cintanya namun tak tahu harus memulai darimana. Aku juga masih mengenal seorang wanita yang ingin menulis kisah cintanya namun tak tahu harus memulai darimana. Aku punya keinginan menulis kisah cinta mereka yang kumulai lewat perjodohan karena kukira mereka sungguh cocok sebagai sepasang kekasih. Tapi ternyata tidak. Aku kecewa. Tapi aku percaya, suatu hari nanti mereka akan jadi penutur kisah cinta yang lebih baik dariku.

19 September : Hari Kiamat

(Sebuah Cerpen Karya Ave Loca Pasa a.k.a John Paul)

Bang…
“Bang..sudah jam 6 nih..” suara yang tidak asing itu membangunkan saya.

Masih dalam posisi tidur, mencoba menggerakan tubuh yang masih belum 100% sadar...,
Saya mencoba membuka mata, lalu melihat kearah jendela yang sedang dibuka Pak Ketut, salah satu Office Boy di tempat saya bekerja.

“makasih Pak Tut..” 
kataku dengan suara yang masih kelelahan setelah semalam membantu Panitia, menggelar acara Final Party KOBASMA Kompetisi Basket Smakerz.

Dengan sisa tenaga yang masih ada saya mencoba bangkit dan membereskan tempat tidurku, tiga buah kursi yang kususun di pojok ruang Tata Usaha, belakang meja Mba Indah, bendahara sekolah.
Setelah semua beres saya langsung keluar, menghampiri Mio kesayangan hasil jerih payahku. Kuhidupkan mesinnya, dan memanaskan untuk beberapa menit.
Sembari menunggu Mio, Lucky Strike biru kukeluarkan, cukup satu batang sekedar memanaskan paru-paruku juga.
Hhhmmm..sepertinya ini sudah jadi rutinitas”
Yahhh begitulah,,,,,,,,kalau saya menginap di sekolah, jarang tidur di kamar pojok rumah kontrakan pamanku, kamar itu hanya jadi tempat persinggahan dan penampungan barang-barang milikku, yang sampai saat ini pun masih berantakan.

“Pak Tut,,,saya pulang mandi dulu”

“Oke,,,,hati-hati bang”
Kupacu DR 4510 BE itu seperti biasa, lawan jalur, kemudian menyeberang jalan, lewat belakang lebih cepat tiba di rumah.

Saat melewati jembatan Majeluk aku terperangah,

“Anjiiitttt…setan,,,” teriakku dengan suara yang cukup kencang.

Gila ni orang….mungkin begitulah pikiran Pak Tua yang sedang melintasi jembatan bersama cucunya’ga mungkin anaknyaga tau deh tanya sendiri sama Pak Tua tuh’
Saya hanya tersenyum melihat Pak Tua dengan ‘cucu’nya yang kaget mendengar teriakan saya.

Gilaabenar-benar gila….’bukan saya lho, Sunrise-nya”
“Keren Sunrise-nya…” kataku dengan suara pelan.
’Haaahhhh???? Jam segini Sunrise??? Ga salah????
Yahhh….pokoknya selama matahari masih bergerak naik, itu namanya Sunrise menurut saya ‘kalo menurut loe enggak, tu urusan loe’

Saya memang penggila Sunrise dan Sunset,
dulunya Sunset saja, tapi setelah mengenal dia saya menjadi tergila-gila dengan Sunrise,
katanya dia Sunrise itu symbol kehidupan,,,brand new day gitu dehh
dan memang Sunrise tuhh benar-benar keren.
‘siapa dia???..aw..awww..awwwww…ga usah disebut dehh, sudah menjadi kenangan, biarlah tetap menjadi kenangan’

Saya menahan laju sepeda motorku, dengan perlahan menikmati indahnya matahari yang mulai menanjak. Bundar tanpa lekukan, merah sedikit orange, menyala, seperti hendak menghanguskan bumi.
Wwaahhhhh…sebentar!! jam segini??
Sepertinya hari ini terlalu tinggi mataharinya,
Terlalu cepat melek mataharinya.
Apa tidak ada yang memperhatikan?
Mba itu...biasa aja,
Mas itu sama,

Pak guru itu juga, apa lagi anak kecil dua tuhh
ahh..sudahlah, dari pada saya terlambat.

Karena masih sepi, lampu merahpun saya terobos, lurus terus pertigaan belok kiri, setelah belok saya menoleh, kembali memperhatikan sang surya.
Waow, kali ini lebih putih, cahayanya mulai menyebar, tapi masih terlihat bentuk bundarnya yang sangat sempurna.
Saya kemudian mengalihkan perhatian pada orang-orang yang ada disekitar saya ,
yang sibuk dengan pekerjaan rutin mereka,
yang berlalulalang dengan kendaraannya.
Seorang bapak yang sedang menyapu halaman,
Ibu penjual sayur yang asyik duduk dibonceng pak tukang ojek,
Seorang ibu yang menggendong anaknya, sambil menyuapi sarapan untuk sang anak.
Pasangan PNS yang melaju dengan sepeda motornya.
Seorang ibu pedagang nasi bungkus yang sibuk dengan kerumunan pelanggannya.
Bahkan orang gila itupun sibuk membetulkan bajunya yang sudah koyak.’pengecualian, yang ini memang sudah wajar’

Semua tidak merasakan apapun, kecuali saya.
Kenapa saya merasa ada yang aneh dengan hari ini,
Mataharinya.
Masih dengan matahari,
cepat banget melek-nya.
Apa saya yang benar-benar gila???
Ahh...nggak  mungkin^o^..saya masih normal.

Saya kemudian berhenti dipinggir jalan, meroggoh saku celana, mengambil HP dan mencoba mengabadikan sang surya yang masih membuat saya penasaran.
Klik…’memori anda tidak cukup untuk menyimpan’ tulisan di layar HP saya.
Bangke oros…sial memory card-nya ketinggalan di kamar.

Saya lalu memarkirkan sepeda motor,
mengotak-atik HP yang memang tidak rusak, kemudian menyeberang jalan,
lalu pura-pura membeli nasi bungkus, tempat ibu pedagang yang tadi dikerumuni pelanggannya.
Hmmm…aksi tambahan, biar tidak terlihat bego dengan HP yang sudah terlanjur saya keluarkan.
‘Sial’….keluhku dalam hati, tidak biasanya saya beli nasi bungkus pagi-pagi begini.
Saya memang tidak terbiasa sarapan dengan menu berat.
Biasanya hanya roti, donat, atau kue-kuean yang berisi tentunya, ditambah kopi atau teh panas sudah cukup.

“Nasi dagingnya satu Bu” kataku sambil mengeluarkan uang dari dompet
Setelah selesai, kuambil nasi bungkusnya dan kupacu kembali sepeda motorku menuju rumah.

Sesampainya dirumah, saya langsung menghabiskan nasi bungkus yang sudah terlanjur mengurangi persediaan isi dompet.
Selesai makan, saya bergegas mengambil handuk yang sudah sehari semalam menggelantung di tali jemuran belakang rumah.
Mandi, prepair, siap berangkat.
Tetapi masih ada yang mengganjal,
Masih,
Dan masih yang sama,
Tentang matahari yang terlalu cepat melek.
Selama menghabiskan nasi bungkus, mandi, sampai dengan ritual-ritual prepair kecil lainnya, saya masih memikirkan tentang sang surya yang begitu aneh ‘setidaknya menurut saya’ hari ini.
Ada yang berbeda dari sinarnya, juga waktu munculnya yang lebih cepat.

Kembali kupacu Mio-ku, kali ini lebih cepat karena matahari yang aneh itu sudah membuat keadaan lebih terang, dan saya tidak mau terlambat.
Selama perjalanan belum ada yang terlihat aneh,
Setelah melewati bundarana AI ‘Amaq Inaq’, persis didepan Mataram Mall saya kembali kaget.
‘Anjrriiitttt…apa ga ada yang ngrasa aneh dengan matahari ni”, pikirku sambil memperhatikan kembali orang-orang disekitar yang sibuk dan juga yang sok sibuk, seolah-olah mereka yang lebih sibuk dan tertekan daripada saya.
Ingin rasanya saya berteriak, ‘whooiiiii…apa kalian nggak liat??? Perhatiin tuhh mataharinya!!! Sudah lebih terang, lebih panas, dekat lagi…’
Memang pemandangan yang saya lihat seperti itu, bulatan sinarnya lebih besar, dan jaraknyapun lebih dekat dari biasanya. Sangat terasa, panasnya berbeda, sinarnya juga berbeda.
Apa hanya saya saja yang bias melihat ini??? Saya berpikir kembali.

Setelah tiba di sekolahpun keadaanya sama, siswa-siswi sibuk dan sok sibuk dengan diri masing-masing.
Karena bel sudah berbunyi, ada yang begitu saja memarkirkan sepeda motornua, ada yang berlari-lari menuju halaman tengah tempat upacara karena hari ini hari senin, Pak Pelegoh yang berdiri disamping gerbang juga meneriaki siswa yang terlambat agar segera masuk, pemandangan biasa setiap harinya.
Sama sekali tidak ada yang merasa, ada sesuatu yang aneh,
aneh dengan matahari yang sudah membuat pikiran saya kacau.
Setelah memarkirkan sepeda motor, saya langsung bergegas menuju ruang tata usaha, meletakan tas saya yang lengkap berisi perlengkapan mandi, baju dan celana cadangan ‘jadi bukan hanya pemain, tapi baju dan celana juga ada cadangannya lho’
Handycam dan Camdiq kukeluarkan, langsung menuju halaman tengah, tugas wajib menanti, dokumentasi kegiatan sekolah.
Hari ini upacara special diadakan untuk siswa-siswi yang sukses melaksanakan KOBASMA, kompetisi basket pertama dalam sejarah SMA Katolik Kesuma Mataram,
selain itu Tim Basket Putra juga sukses meraih juara pertama, setelah mengalahkan SMAN 1 Praya Juara DBL wilayah NTB.

Saya kembali ke ruang TU setelah sibuk dengan dokumentasi dan kepikiran dengan matahari yang aneh itu, ‘mohon diingat!!! saya benar-benar sibuk, bukan sok sibuk…..dan benar-benar kepikiran bukan sok kepikiran’
Setelah berada di ruang TU, sejenak saya memperhatikan semua yang ada didalamnya.
Om Rius, Mba Indah, Mba Yuyun, Om Bagus, Pak Gede,
semuanya santai seperti biasa, sibuk juga sih,
tapi kali ini sepertinya mereka benar-benar sibuk bukan sok sibuk. ‘whuahahahaaa…takut salah prediksi’
Saya kemudian mencoba mengungkapkan ‘ceiilleehhh…serius banget’, maksudnya menyampaikan apa yang saya pikirkan pada Om Rius,
“Om, kayaknya mataharinya tinggi sekali, padahal baru jam segini” kataku membuka perbincangan.

Om Rius-pun menjawab dengan santai,
“iya sihh,,,,sekarang kan mataharinya agak ke selatan, makanya siangnya lebih panjang”

‘adduuuhhhh…Om ini, memang sih lebih panjang siangnya, tapi apa nggak aneh jam segini mataharinya sudah segini panasnya’ pikirku mendengar jawaban dari OM Rius.

“iya Om, tapi agak aneh”
saya menyahut jawaban Om Rius, meski belum puas dengan jawabannya.

Saya kemudian berbalik, dan langsung keluar ruangan menuju ruang guru di lantai dua, ke arah washtafel..saya harus cuci muka, mungkin ini efek kelelahan ditambah kurang tidur, jadinya pandangan saya lebih nggak jelas.
Setelah membasuh muka, saya kembali ke ruang TU, dan masuk ke gudang arsip, ruang kecil di pojok yang memang tersedia cermin,
Dengan seksama saya memperhatikan setiap sudut dari permukaan wajah saya yang kusut melalui cermin,
Tidak ada yang aneh, masih seperti biasa, hanya kurang tidur.

Baru saja, saya menoleh dan hendak keluar TIBA-TIBA :
…..brrruuuuaaagggkkkkhhh….
Terdengar suara keras dari arah timur,
Para guru dan siswa langsung berhamburan keluar, dan berusaha menuju gerbang sekolah yang masih terkuci.
Dengan berlari siswa-siswi dari lantai dua, tiga dan empat berusaha turun dan menyaksikan apa yang terjadi,
Sementara Pak Pelegoh berusaha membuka gerbang yang memang terkunci selama upacara, meski ditengah desakan dan ramainya siswa-siswi,
kendaraan yang melaju di jalan utama depan sekolah terhenti dan mulai macet, bunyi klakson mobil dan sepeda motor silih berganti.
Suasana tak terkendali, siswa-siswi dan para guru berusaha keluar dari area sekolah,
Sementara itu dari dalam ruang audio control, Pak Barman mencoba mengarahkan penghuni sekolah agar kembali ke tempatnya masing-masing.
“Semuanya mohon kembali ke tempatnya, jangan ada yang keluar dari halaman sekolah, mohon bapak, ibu guru mengarahkan siswa-siswinya”
Sepertinya peringatan Pak Barman dari pengeras suara dengan volume yang cukup keras tidak diperhatikan oleh siswa-siswi dan juga para guru.
Sayapun berusaha keluar dan berdiri di pintu loby sekolah, memperhatikan keadaan yg semakin kacau.
“Wahh...kalo sudah begini susah diatur om”
kata Bu Wirati yang persis berdiri disebelah saya.
Saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, karena masih penasaran juga dengan apa yang terjadi.
Pak Rino, Pak Guntur, Bu Suli, dan Pak Gede juga berdiri di teras persis depan saya, mencoba menghalangi siswa-siswi yang keluar lewat loby dengan menutupi jalan dari pintu depan.
Saya masih belum tenang, dan berusaha mencari posisi yang lebih nyaman,
Melewati beberapa sepeda motor yang diparkir, sayapun akhirnya berdiri disamping gerbang sekolah,
sementara itu siswa-siswi sudah berhamburan didepan gerbang sekolah dengan pandangan tertuju ke arah timur, berusaha mengetahui apa yang terjadi.
Saya kemudian mengalihkan perhatian kearah matahari yang aneh itu.
‘Astaga!!! Ternyata benar apa yang saya pikirkan, Ya Tuhan…Tuhan…bantulah kami Tuhan,,,,apakah sudah tiba saatnya, ampunilah kami Tuhan’
Sejenak saya hanya terdiam, terpaku melihat matahari yang bergerak turun mendekati bumi, pikiran saya melayang, pertama yang saya ingat adalah kedua orang tua saya, kakak-adik, sanak keluarga di kampung halaman saya, Flores, jauh di timur, apa yang terjadi dengan mereka?

Hati saya meringis, seperti tersayat.
KIAMAT,,,dan saya terpisah jauh dengan mereka….
Braaggkkkkhhh……sebuah sepeda motor menabrak bamper belakang sebuah mobil mengagetkan saya.
Refleks…..sayapun langsung naik dan berusaha berdiri diatas pagar sekolah, beberapa guru dan siswa-siswi hanya tertawa melihat tingkah saya.
Dengan sekuat tenaga dan rasa sedih saya lalu berteriak;
“Whooooiiiiiii……Heeiiiii….kalian semua, coba lihat mataharinya…lihat baik-baik,,,, perhatiin…mataharinya turun”
Serentak semua kepala mengarah tertuju ke matahari, dan merekapun menyadari ada yang aneh dan berbeda, mataharinya benar-benar bergerak turun dan mendekati bumi.
Sinarnya memancar terang, putih, jernih, dan sangat silau.
Semua pengendara yang masih terhalang macet di jalanpun berusaha memperhatikan.
Suasana lalu berubah jadi hiruk-pikuk, siswa-siswi berlari menyebar,
ada yang mengambil sepeda motor, berusaha keluar dari gerbang sekolah dan keluar dari kemacetan di jalan depan sekolah,
ada yang berlari kearah yang tidak jelas, sepeda motor dan mobil di tengah jalan pun berusaha berbalik arah namun tetap saja tidak mudah keluar kemacetan.
Saya masih berdiri tegak di atas pagar sekolah, berpegangan pada tiang pintu gerbang, dan hanya memandangi ramainya manusia yang hiruk-pikuk di sekitar jalan.
wwweeerrrrRRRRRGGGGHHH……
bumi menghentak….GEMPA
hanya satu goncangan namun sangat keras,
saya hanya melompat turun dan berdiam disamping pagar.
kaca Rumah Sakit Risa yang persis berada di sebelah sekolah pecah berhamburan, begitu juga kaca sekolah dan beberapa ruko yang ada di seberang sekolah….
Kali ini manusia yang berhamburan lebih banyak,
dari arah SPMK Kesuma yang berhadapan dengan RS. Risa siswa-siswipun mulai berhamburan,
sama halnya dengan pasien, dokter, perawat dan pengunjung RS. Risa.
Etah dari mana saja datangnya, tiba-tiba saja Jalan Pejanggik yang persis dihadapan saya berubah menjadi lautan manusia,
Mobil dan sepeda motor yang awalnya berusaha berbalik arah kini ditinggalkan pengendara dan penumpangnya.
Ada yang berlari diatas atap mobil, berusaha mencari tempat yang aman, entah kemana arahnya tidak jelas.
Semua menuju kearah barat, menghindari matahari yang semakin terang dan semakin panas.
Pak Vincent, Pak Rino, Pak Gede dan beberapa guru berlari kearah utara, meninggakan motor yang semula sudah dikeluarkan didepan gerbang.
Mereka menuju SDK dan TK yang tidak jauh diseberang jalan, berusaha menyelamatkan putera mereka.

Sementara Pak Barman, Om Rius, Mba Yuyun, Pak Sony, dan beberapa guru lainnya masih dengan kendaraannya berusaha menerobos dan mencari jalan keluar, melewati trotoar dan bahu jalan.
Sepertinya mereka harus menyelamatkan keluarganya yang masih dirumah, atau mungkin di tempat lainnya.
Sekolah sudah mulai sepi, hanya tertinggal beberapa siswa, guru dan karyawan yang masih bertahan,
entah karena mereka menggangap tempat ini masih aman,
entah menunggu diselamatkan, atau mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan,
namun semuanya terlihat sedih dan pandangan yang kacau.

Saya sendiri hanya berusaha menyingkirkan sepeda motor yang tergeletak di tempat parkir, membuka jalan bagi mereka yang membutuhkan.
Kadang saya menoleh kearah timur, memperhatikan matahari yang sudah tidak aneh lagi itu, tetapi malah semakin panas dan mendekati bumi.

WWWWEEERRRRRRRRRRGGGGGGGGHHHHH…….
bumi kembali bergoncang….
Kali ini lebih lama dan lebih keras,
Semua yang berdiri dihalaman sekolah langsung berlari keluar, menghindari gedung sekolah yang mungkin saja runtuh karena guncangan gempa.
Mba Indah, Bu Wirati dan anaknya, Pak Lalu dan beberapa siswa berlari menuju halaman parker Ruby.


Brrruggghhh…
RS. Risa roboh, diikuti gedung timur sekolah yang rata dengan tanah, lalu menyusul gedung utara yang menyisakan lantai satu.
Dijalan manusia sudah seperti barisan semut yang berlarian menuju ke barat.

Sedang saya masih tidak jauh dari gerbang sekolah, berlindung di balik sebuah pohon.
Saya terus menatap matahari, mencoba memahami dan mencari jalan keluar apa yang harus saya buat.
Namun alam tak dapat dilawan, sudah tiba waktunya…
dalam hati saya merenung
‘inikah yang disebut HARI KIAMAT??? Tuhan ampunilah kami umat-Mu’

saya duduk bersandar pada pohon tempat saya berlindung, sambil mengingat keluarga dan sahabat kenalan saya, entah seperti apa jadinya mereka, saya, kami semua.
Tiba-tiba saya teringat Pak Ketut, orang yang membangunkan saya tadi pagi,
‘di mana Pak Ketut???
Selama saya di gerbang Pak Ketut tidak pernah keluar,
Pak Ketut masih di sekolah,
Tidak…tidak mungkin…Pak Ketut pasti selamat’.
Pikiran saya mencoba menemukan dimana posisi Pak Ketut biasanya berada.

Saya lalu berlari kearah sekolah, kearah barat melewati kantin, terus kebelakang menuju dapur,
Pak Ketut tidak ada,
Saya menuju kehalaman tengah sekolah yang sudah porak-poranda, penuh dengan runtuhan gedung.

“Pak Tut…Pak Tut….”

Dengan suara yang masih cukup keras saya berusaha memanggil dan menemukan Pak Ketut.
‘mungkin di TU” pikirku.
Baru saja hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba dari timu asap mengepul dan api mulai menyala,
Mataharinya….
Mataharinya mulai membakar,
Tanpa berpikir panjang, saya berlari menuju ruang TU, melewati loby yang ternyata penuh dengan runtuhan lantai dua.,
Ternyata ruang TU-pun sama, dari luar terlihat didindingnya masih kokoh, namun didalam penuh dengan tumpukan reruntuhan lantai dua dan tiga.

‘Saya harus berlindung’
Hanya itu yang saya ingat,

Melihat cela dibalik reruntuhan sepertinya saya bisa menyelinap,
Dan akhirnya saya menemukan tempatnya, persis di samping tempat tidur saya tadi malam,
Dilantai penuh dengan batu, sedangkan dinding triplek penyekat roboh ke utara, persis tertahan diatas meja Mba Indah.

Saya mencoba menyelinap dan masuk kedalam cela diantara meja Om Rius dan Mba Indah.
Kursinya masih tertinggal dua, kursi Mba Indah dan Om Rius, tidak terlalu kotor, hanya sedikit batu dan pasir, sambil menunduk saya langsung kedua kursi itu dan merapatkannya.
Haahhhh….lumayan aman, setidaknya untuk tempat berlindung.
Walau hanya dengan dua kursi saya mencoba meletakan posisi tubuh agar sebisa mungkin nyaman.

Posisi yang pas, menghadap dinding triplek yang roboh, punggung dan kepala saya letakan diatas kedua kursi tadi. Untuk sementara tidak ada ancaman yang berbahaya.

Beberapa menit berselang,,,,
TIBA-TIBA…
***
“Bang…
“Bang..sudah jam 6 nih..” suara yang tidak asing itu membangunkan saya.

Masih dalam posisi tidur, mencoba menggerakan tubuh yang masih belum 100% sadar...,

Astaga!!!...
sakitnya badan saya, semalaman tidur hanya dengan dua kursi….

“makasih Pak Tut..” kataku perlahan.

THE END


*berdasarkan khayalan setelah melihat Sunrise, ditulis pada Pkl. 16.40 WITA 22 Sept – 23 Sept 2011 Pkl. 01.50 WITA*

Bunga

(Oleh Sandra Frans)
 
 
Setangkai bunga diletakkan diatas meja. Tiga orang mengamati.


Orang pertama mengambil bunga itu menaruh di dalam vas yang diisi sedikit air, meletakan kembali kemudian pergi.
Orang kedua memandang vas dan  bunga itu mengambil kamera dan menjepretnya, kemudian dia juga pergi.

Tinggallah orang ketiga yang sedari tadi hanya memperhatikan dan mengamati bunga itu tanpa berbuat apa apa. Jam berdetak melaju, jarum pendek juga sudah bergerak banyak, tapi dia masih saja mengamati. Semakin lama dilihat dan dinikmati bunga ini tampak semakin hidup. Sekarang dia melihat kehidupan dalam setangkai bunga itu. Kelopaknya berwarna cerah dengan lekuk lekuk yang molek. Menyatu dibagian tengah bunga dan menyebar indah diatasnya.


Dia mendekati bunga indah itu, membauinya perlahan sambil menutup mata, seolah bunga akan bangkit dari tidur panjangnya jika terlalu kasar. Semerbak bunga mengisi rongga hidungnya. Memberi stimulus pada saraf penciuman dan membawa pesan ke otak, otak mentranslasikan pesan itu dan mengabarkan ke seluruh tubuh, bahwa bau yang dicium itu wangi.


Agak lama dia menikmati aroma bunga. Sambil tetap terpejam dan tersenyum kecil. Pemandangan yang aneh, seorang pemuda sedang duduk dilantai menghadap meja, dan membaui  bunga sambil menutup mata dan tersenyum. Dia tak peduli.


Sekarang dia kembali menikmati bunga itu. Memandang tak bosan pada setangkai bunga itu. Dengan  perlahan dikecupnya bunga itu. Diambilnya hati hati vas berisi bunga itu sambil menjaga agar bunga tidak terlalu bergetar, dia sendiri tak tahu apa yang terjadi jika bunga terlalu berguncang, dia hanya tak ingin menyakiti bunga cantik itu, dia hanya ingin bunga merasa nyaman.


Seorang gadis yang sedari tadi bersembunyi sambil mengamati gelagat si pemuda, tersenyum. Bungaku aman di tangan dia, pikir si gadis. ‘jika bunga yang hanya bagian remeh dari hidup aku diperhatikan dengan betul seksama olehnya, semoga hati dan diri ini dijaganya lebih dengan hormat lagi’.


Gadis berbalik. Keyakinannya semakin dipertegas. Itu cinta.


sandra olivia frans

Awal September 2011


Mereka Penipu

(Sebuah Puisi Umbu Nababan)
Hari ini ku baca Koran
Ada banyak sekali peran
Bupati yang berang
Dan gubernur yang garang
Ribut soal tambang
Katanya rakyat jangan bimbang
Jangan dengar isu yang berkembang

Kemarin sempat juga ku lihat berita
Ternyata bukan hanya cerita
Rakyat sumba sangat menderita
Banyak yang lapar
Untung belum mati terkapar
Tertolong, ubi bakar

Pak bupati dan gubernur
Jangan hanya mendengkur
Rakyat hanya ingin kalian jujur

Dps, September, 2011

DARI SEBUAH KEMATIAN

(Sebuah Cerpen Maria Pankratia)

*Setting cerita ini berlangsung di tiga tempat : Bali – Surabaya dan Lombok*
Aku mematung lesu pada lapis tembok bercat kuning kusam kamarku, masih sehari lagi khabar diterimanya aku atau tidak pada Liga Pendidikan Indonesia yang aku ikuti. Dan handphone itu masih terus saja menggeliat sejak tadi. 5 Message received! Yah bahasa-bahasa pelipur lara itu lagi. Tiga bulan belakangan ini aku memanen kalimat-kalimat penguatan tersebut dengan ketegaran yang kugigihkan. Mereka hanya tidak cukup tahu bahwa sebenarnya aku cukup paham ‘manusia sekarat yang menunggu berganti wujud menjadi bisu kaku, itu disebut mayat dan kemudian kita kenali itu sebagai kematian’
Ibuku sekarat!
***
Pukul lima pagi aku terjaga, butir-butir keringat membuat spreiku sedikit lembab. Yah aku tertidur tanpa baju lagi, itu biasa terjadi jika aku melewati malam yang panjang. Handphoneku lagi-lagi bergaung memaksaku harus segera menjawab telephone.
“yah, hallo..”
Suara paruh bayah yang kukenal sebagai dengung suara ayah kini menjejali telingaku.
“sore ini ke Surabaya yah, sepertinya sudah tidak lama lagi”
Bahuku mengeras, juga rahang dan perutku. Hampir saja baterey handphone menyeruak dari cashingnya jika genggamanku tak kulonggarkan. Ah persetan dengan LPI.

“Yah, Pa”
***
Ia terbujur letih, hampir setahun ini. Wajahnya tirus menguning dan rambutnya perlahan habis. Tiga bulan lalu masih sempat Ia kubawa berkeliling kampung halaman di Flores bersama Ayah. Wanita itu, Ibuku. Ia tak pernah sekalipun mengeluh dan merasa menderita. Bahkan ketika banyak orang bertandang ke rumah dan bertanya basa/i
“Sakit apa, bu?”
Dari tempat tidurnya sendiri, Ia akan menjelaskan dengan lugas apa yang sebenarnya Ia alami meski patah-patah. Kanker rahim yang mengganas. Jadi perempuan itu luar biasa.
Sebelumnya ibu telah tahu penyakit apa yang dideritanya, namun ibu tidak mau menanggapi secara serius. Mungkin itu juga kekurangan dari seorang wanita yang kuat, dia akan selalu meyakinkan dirinya adalah makhluk yang luar biasa dan akan terus hidup meskipun jauh didalam lubuk hatinya sebenarnya dia mengakui ada banyak cara yang bisa menaklukannya. Ibu tetap menjalani pemeriksaan dan pengobatan tapi dengan keseriusan yang tak total, karena dia ingin menganggap semua ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan semangat dan ketegarannya untuk tetap hidup. Tapi takdir tetap berkata lain, mengabaikan sesuatu yang adalah fakta bukan solusi yang tepat untuk bisa menyembuhkan penyakit kecuali merubah cara pandang kita terhadap sakit itu sendiri. Ibu harus menjalani berbagai macam perawatan dan kemoterapi yang perlahan menurunkan semua kestabilitasan dalam dirinya, bukan hanya kekebalan tubuh tetapi juga harapan dan semangat yang selama ini di andalkannya.
Tetapi itulah ibu, ia tak akan memaksa orang lain repot memikirkan kehidupannya selagi ia masih mampu memikirkannya sendiri. Aku bangga jadi laki-laki yang keluar dari rahimnya. Kesendirianku sebagai putera satu-satunya tidak pernah membuatku besar kepala dan merasa istimewa sebagaimana tradisi orang tua yang memiliki anak tunggal justru aku diperlakukan sebaliknya. Hidup keras, nak.
***
Terminal Ubung sore ini, lengang. Mengantri tiket lalu duduk sendiri di ruang tunggu sambil memikirkan satu anggota keluarga yang sekarat dan dia IBUKU. Bukanlah situasi yang menyenangkan. Kusarankan sebaiknya bawalah bahan bacaan jika kau suka membaca, perhatikan lebih banyak orang jika kau suka mempelajari gerak/ik dan karakter manusia, berusahalah menikmati tayangan apa saja yang ditayangkan di televisi ruang tunggu atau bawalah mp3 player yang berisi jenis musik seleramu. Mungkin saja lumayan ampuh meringankan kegalauan stadium menakutkan seperti yang sedang aku alami sekarang. Sayangnya semua saran diatas tidak tidak samasekali berlaku untukku saat ini. Waktu seperti lama bergerak.
Ketika bus yang kutumpangi perlahan bergerak, kelegaan sedikit menghampiriku. Dalam hitungan jam aku akan bertemu dengan ibu lagi. Aku tidak ingin menghantui pikiranku dengan berbagai kemungkinan yang buruk, diantaranya mungkinkah ini perjumpaan yang terakhir dengan ibu? Sanggupkah aku merelakan ibu pergi dan meyakini diriku sendiri bahwa ini adalah yang terbaik untuk ibu? Apabila ibu benar-benar telah tiada, aku masih mampu melewati sisa hidupku tanpa ibu disisiku? Akhirnya aku tertidur lemas setelah semua pikiran-pikiran tak sehat itu menggerogoti otakku dan tenaga yang tersisa.
***
RKZ Surabaya pagi ini, riuh gawat sebagaimana rumah sakit dimana saja. Sudah dari tiga jam lalu hampir 30 pesan menjadi penghuni baru inbox handphoneku dengan isi yang semuanya nyaris sama.
“Yang tabah yah, Fon”                                                                                                  
“Berpikir bahwa ini yang terbaik untuk Ibumu
“Tuhan selalu tau yang terbaik untuk hambanya”
Dan 15 panggilan tak terjawab yang sengaja tidak ku acuhkan. Aku bukan muak, aku hanya sedang bingung – kacau, ngantuk dan sedikit letih. Tepat pukul sembilan ku masuki ruangan berisi jasad-jasad manusia itu, dan disana ibu. Membisu dan mengeras. Pakaian adat sikka menempel longgar membalut tubuhnya yang ringkih. Aku harus apa. Menangis sajakah? Kurasa wajar tapi tak sekarang, saat ayah datang dan memelukku sambil membisikkan sesuatu
“Ia tak mau menunggumu, Ia tak mau melihat kau sedih akan kesakitan yang ia alami. Maafkan Ibumu”
Aku tak akan bertemu dengannya lagi, semua kemungkinan dan pikiran buruk itu sudah sungguh terjadi. Saat ini. Pada titik ini aku benar-benar merasa rapuh dan hancur.
***

Bandara Selaparang senja ini menghitam. Pandangan mataku mengabur. Berbagai ucapan dukacita datang dari segala penjuru, ayah memelukku erat. Sepupu-sepupuku akhirnya berhasil mengeluarkan jenazah ibu dari cargo pesawat. Iringan berjalan lambat menuju rumah. Wah semua sudah dipersiapkan! Tenda besar dan kursi-kursi didepan rumah, lahan parkir di halaman tetangga yang sukarela diberikan. Sebuah baliho besar berisi jadwal doa hingga *jadwal misa requim serta jadwal pemakaman dan jadwal malam ketiga dengan latar belakang photo ibu. Juga baju kaos hitam ber-sablon wajah ibu yang akhirnya diberikan padaku satu untuk kupakai.
“jangan membuat kematianku sebagai sidang perkabungan yang penuh rintihan dan dukacita. Aku ingin semuanya meriah layaknya sebuah pesta. Semua harus menerima ini sebagai kehidupan baru bagiku.”
Ingatanku masih jelas!
***
Kawan-kawan kuliahku dari Bali tiba malam itu. Mereka berdua belas, sahabat-sahabat seperjuangan yang tak mengenal jarak dan waktu yang diistilahkan ‘sempat’ mereka hanya mengenal ‘keharusan untuk melawatiku.’ Aku tak sendiri!
Dan seperti biasa, saat aku berkumpul dengan orang-orang istimewa ini aku benar-benar tidak akan merasakan kesedihanku. Kami hanya akan tertawa dan terus tertawa, aku menangkap sinar haru di mata ayah saat beliau mencuri kesempatan memperhatikanku. Entah apa yang singgah dipikirannya saat itu, semoga hal baik yang tentu saja melegahkan ibu yang sudah berbahagia diatas sana. Ayahku adalah sosok yang sederhana, memiliki caranya sendiri untuk menunjukan eksistensinya sebagai seorang kepala keluarga, penanggung jawab rumah tangga dan pengayom sejati. Hingga ibu menghembuskan nafas terakhirnya, ayah masih melakukan pilihan bijaksana untuk tidak memberitahukan kesedihan ini langsung kepadaku. Beliau menunggu saat yang tepat, saat dimana anaknya sudah bisa menerima semua ini dengan akal sehat seorang anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Aku yakin, tak banyak yang akan mengalami kehidupan yang sama denganku. Jelasnya aku harus mensyukuri ini.
***
Dan siang ini di upacara pemakamannya, tak ada awan hitam atau duka mendalam diantara yang hadir. Aku menangis dalam diamku dan ayah hanya sesekali menyeka keringat didahinya dengan tatapan yang tetap tenang. Semua yang hadir mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan dengan ikhlas berucap
“Selamat Jalan Mama Yovita, Semoga Engkau tenang disana dan senantiasa mendoakan kami di bumi, Amin
***
#In Memoriam
R.I.P Mama Yovita Marcelina Balela
Lombok, 27 June 2011
(*Misa requim : Perayaan Ekaristi untuk mengenang arwah yang meninggal dalam gereja katolik)
Dedicate for all strong and independent woman