Jumat, 23 September 2011

DARI SEBUAH KEMATIAN

(Sebuah Cerpen Maria Pankratia)

*Setting cerita ini berlangsung di tiga tempat : Bali – Surabaya dan Lombok*
Aku mematung lesu pada lapis tembok bercat kuning kusam kamarku, masih sehari lagi khabar diterimanya aku atau tidak pada Liga Pendidikan Indonesia yang aku ikuti. Dan handphone itu masih terus saja menggeliat sejak tadi. 5 Message received! Yah bahasa-bahasa pelipur lara itu lagi. Tiga bulan belakangan ini aku memanen kalimat-kalimat penguatan tersebut dengan ketegaran yang kugigihkan. Mereka hanya tidak cukup tahu bahwa sebenarnya aku cukup paham ‘manusia sekarat yang menunggu berganti wujud menjadi bisu kaku, itu disebut mayat dan kemudian kita kenali itu sebagai kematian’
Ibuku sekarat!
***
Pukul lima pagi aku terjaga, butir-butir keringat membuat spreiku sedikit lembab. Yah aku tertidur tanpa baju lagi, itu biasa terjadi jika aku melewati malam yang panjang. Handphoneku lagi-lagi bergaung memaksaku harus segera menjawab telephone.
“yah, hallo..”
Suara paruh bayah yang kukenal sebagai dengung suara ayah kini menjejali telingaku.
“sore ini ke Surabaya yah, sepertinya sudah tidak lama lagi”
Bahuku mengeras, juga rahang dan perutku. Hampir saja baterey handphone menyeruak dari cashingnya jika genggamanku tak kulonggarkan. Ah persetan dengan LPI.

“Yah, Pa”
***
Ia terbujur letih, hampir setahun ini. Wajahnya tirus menguning dan rambutnya perlahan habis. Tiga bulan lalu masih sempat Ia kubawa berkeliling kampung halaman di Flores bersama Ayah. Wanita itu, Ibuku. Ia tak pernah sekalipun mengeluh dan merasa menderita. Bahkan ketika banyak orang bertandang ke rumah dan bertanya basa/i
“Sakit apa, bu?”
Dari tempat tidurnya sendiri, Ia akan menjelaskan dengan lugas apa yang sebenarnya Ia alami meski patah-patah. Kanker rahim yang mengganas. Jadi perempuan itu luar biasa.
Sebelumnya ibu telah tahu penyakit apa yang dideritanya, namun ibu tidak mau menanggapi secara serius. Mungkin itu juga kekurangan dari seorang wanita yang kuat, dia akan selalu meyakinkan dirinya adalah makhluk yang luar biasa dan akan terus hidup meskipun jauh didalam lubuk hatinya sebenarnya dia mengakui ada banyak cara yang bisa menaklukannya. Ibu tetap menjalani pemeriksaan dan pengobatan tapi dengan keseriusan yang tak total, karena dia ingin menganggap semua ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan semangat dan ketegarannya untuk tetap hidup. Tapi takdir tetap berkata lain, mengabaikan sesuatu yang adalah fakta bukan solusi yang tepat untuk bisa menyembuhkan penyakit kecuali merubah cara pandang kita terhadap sakit itu sendiri. Ibu harus menjalani berbagai macam perawatan dan kemoterapi yang perlahan menurunkan semua kestabilitasan dalam dirinya, bukan hanya kekebalan tubuh tetapi juga harapan dan semangat yang selama ini di andalkannya.
Tetapi itulah ibu, ia tak akan memaksa orang lain repot memikirkan kehidupannya selagi ia masih mampu memikirkannya sendiri. Aku bangga jadi laki-laki yang keluar dari rahimnya. Kesendirianku sebagai putera satu-satunya tidak pernah membuatku besar kepala dan merasa istimewa sebagaimana tradisi orang tua yang memiliki anak tunggal justru aku diperlakukan sebaliknya. Hidup keras, nak.
***
Terminal Ubung sore ini, lengang. Mengantri tiket lalu duduk sendiri di ruang tunggu sambil memikirkan satu anggota keluarga yang sekarat dan dia IBUKU. Bukanlah situasi yang menyenangkan. Kusarankan sebaiknya bawalah bahan bacaan jika kau suka membaca, perhatikan lebih banyak orang jika kau suka mempelajari gerak/ik dan karakter manusia, berusahalah menikmati tayangan apa saja yang ditayangkan di televisi ruang tunggu atau bawalah mp3 player yang berisi jenis musik seleramu. Mungkin saja lumayan ampuh meringankan kegalauan stadium menakutkan seperti yang sedang aku alami sekarang. Sayangnya semua saran diatas tidak tidak samasekali berlaku untukku saat ini. Waktu seperti lama bergerak.
Ketika bus yang kutumpangi perlahan bergerak, kelegaan sedikit menghampiriku. Dalam hitungan jam aku akan bertemu dengan ibu lagi. Aku tidak ingin menghantui pikiranku dengan berbagai kemungkinan yang buruk, diantaranya mungkinkah ini perjumpaan yang terakhir dengan ibu? Sanggupkah aku merelakan ibu pergi dan meyakini diriku sendiri bahwa ini adalah yang terbaik untuk ibu? Apabila ibu benar-benar telah tiada, aku masih mampu melewati sisa hidupku tanpa ibu disisiku? Akhirnya aku tertidur lemas setelah semua pikiran-pikiran tak sehat itu menggerogoti otakku dan tenaga yang tersisa.
***
RKZ Surabaya pagi ini, riuh gawat sebagaimana rumah sakit dimana saja. Sudah dari tiga jam lalu hampir 30 pesan menjadi penghuni baru inbox handphoneku dengan isi yang semuanya nyaris sama.
“Yang tabah yah, Fon”                                                                                                  
“Berpikir bahwa ini yang terbaik untuk Ibumu
“Tuhan selalu tau yang terbaik untuk hambanya”
Dan 15 panggilan tak terjawab yang sengaja tidak ku acuhkan. Aku bukan muak, aku hanya sedang bingung – kacau, ngantuk dan sedikit letih. Tepat pukul sembilan ku masuki ruangan berisi jasad-jasad manusia itu, dan disana ibu. Membisu dan mengeras. Pakaian adat sikka menempel longgar membalut tubuhnya yang ringkih. Aku harus apa. Menangis sajakah? Kurasa wajar tapi tak sekarang, saat ayah datang dan memelukku sambil membisikkan sesuatu
“Ia tak mau menunggumu, Ia tak mau melihat kau sedih akan kesakitan yang ia alami. Maafkan Ibumu”
Aku tak akan bertemu dengannya lagi, semua kemungkinan dan pikiran buruk itu sudah sungguh terjadi. Saat ini. Pada titik ini aku benar-benar merasa rapuh dan hancur.
***

Bandara Selaparang senja ini menghitam. Pandangan mataku mengabur. Berbagai ucapan dukacita datang dari segala penjuru, ayah memelukku erat. Sepupu-sepupuku akhirnya berhasil mengeluarkan jenazah ibu dari cargo pesawat. Iringan berjalan lambat menuju rumah. Wah semua sudah dipersiapkan! Tenda besar dan kursi-kursi didepan rumah, lahan parkir di halaman tetangga yang sukarela diberikan. Sebuah baliho besar berisi jadwal doa hingga *jadwal misa requim serta jadwal pemakaman dan jadwal malam ketiga dengan latar belakang photo ibu. Juga baju kaos hitam ber-sablon wajah ibu yang akhirnya diberikan padaku satu untuk kupakai.
“jangan membuat kematianku sebagai sidang perkabungan yang penuh rintihan dan dukacita. Aku ingin semuanya meriah layaknya sebuah pesta. Semua harus menerima ini sebagai kehidupan baru bagiku.”
Ingatanku masih jelas!
***
Kawan-kawan kuliahku dari Bali tiba malam itu. Mereka berdua belas, sahabat-sahabat seperjuangan yang tak mengenal jarak dan waktu yang diistilahkan ‘sempat’ mereka hanya mengenal ‘keharusan untuk melawatiku.’ Aku tak sendiri!
Dan seperti biasa, saat aku berkumpul dengan orang-orang istimewa ini aku benar-benar tidak akan merasakan kesedihanku. Kami hanya akan tertawa dan terus tertawa, aku menangkap sinar haru di mata ayah saat beliau mencuri kesempatan memperhatikanku. Entah apa yang singgah dipikirannya saat itu, semoga hal baik yang tentu saja melegahkan ibu yang sudah berbahagia diatas sana. Ayahku adalah sosok yang sederhana, memiliki caranya sendiri untuk menunjukan eksistensinya sebagai seorang kepala keluarga, penanggung jawab rumah tangga dan pengayom sejati. Hingga ibu menghembuskan nafas terakhirnya, ayah masih melakukan pilihan bijaksana untuk tidak memberitahukan kesedihan ini langsung kepadaku. Beliau menunggu saat yang tepat, saat dimana anaknya sudah bisa menerima semua ini dengan akal sehat seorang anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga. Aku yakin, tak banyak yang akan mengalami kehidupan yang sama denganku. Jelasnya aku harus mensyukuri ini.
***
Dan siang ini di upacara pemakamannya, tak ada awan hitam atau duka mendalam diantara yang hadir. Aku menangis dalam diamku dan ayah hanya sesekali menyeka keringat didahinya dengan tatapan yang tetap tenang. Semua yang hadir mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan dengan ikhlas berucap
“Selamat Jalan Mama Yovita, Semoga Engkau tenang disana dan senantiasa mendoakan kami di bumi, Amin
***
#In Memoriam
R.I.P Mama Yovita Marcelina Balela
Lombok, 27 June 2011
(*Misa requim : Perayaan Ekaristi untuk mengenang arwah yang meninggal dalam gereja katolik)
Dedicate for all strong and independent woman

1 komentar:

  1. Hebat!!
    Cara menyampaikan cerita ini membawa pembaca seakan2 hadir di setiap langkah tokoh utama...
    salut... cerpen yang hebat!

    BalasHapus