Selasa, 29 Maret 2011

Cermin Naga

sebuah proyek perdana!
By: Sandra Frans-Ecka Anastasia-Christian Dicky Senda-Tuteh Pharmantara-Maria Pankratia-Eddie J Dea
Untuk gerakan MUDAERS NTT MENULIS

***

Aku sedang dalam kesadaran penuh, yang hari-harinya seperti terhempas ke dalam sebuah kubangan air tawar. Kosong belaka. Aku seperti sedang mencari-cari makna yang tersembunyi atau karena memang aku saja yang sadar meski rasanya begitu tawar. 
Setahun belakangan ini, aku adalah orang asing di sebuah kamar kokoh berukuran tiga kali tiga meter, dengan tetangga sebelah yang sukanya memaki di depan komputernya. Tentang hal ini, sesuatu yang berulang-ulang membuatnya menjadi tawar juga. 
Di luar masih gerimis. Gerimis yang sama seperti kemarin saat beberapa titik dunia merayakan hari yang mereka sebut hari kasih sayang. Aku yang merasa tawar, dia si pemaki komputer atau si jalang di seberang jalan sana, berada pada kotak yang berbeda dengan rasa yang sama. Rasa yang tanpa rasa. Sesuatu yang mengoyak tepian harga diri, terantuk luapan emosi dan akhirnya ada yang pergi menyisakan tanya. Kenapa harus aku yang jadi korban? Tidakkah seharusnya kau juga mengorbankan diri?
Dari jendela kamar kupandangi garis tipis gerimis malam ini. Udara lembab menyeruak. Oh, suasana seperti ini hanya akan membuatku makin terlempar jauh ke dalam kepungan sepi, rasa yang tanpa rasa. Apakah ini saatnya untuk mempertanyakan harga diri? Adakah jawaban itu dalam hatiku? Layaknya melempar sejuta tanya, lantas malu sendiri ketika dihadapkan dengan kenyataan jawaban yang sebenarnya. Sesunggunya aku adalah pemaki yang sama. Manusia kadang hanya mampu melempar kenyataan yang mungkin baginya pahit kepada orang lain. Ahh, kadang atau keseringan? Aku tersenyum. Rasanya pahit. Mungkin benar yang kusebutkan 'hambar', padahal sebenarnya aku hanya tak mau merasa bersalah apalagi disalahkan.

Sudah sepatutnya ruangan ini tak memiliki cermin! Kosong, dengan beberapa coretan lawas disana sini yang menemaniku melewati separuh malam. Goresan nama sejoli yang direkatkan dengan simbol hati seperti menari-nari diatas cat putih lusuh. Meluruhkan aku yang merasa makin hambar tiap kali sudut mataku menyapu dan otakku mengeja abjad yang membentuk nama. Mereka pernah memadu kasih disini, itu pasti. Lalu meninggalkan guratan yang akan terhapus bersama cat putih baru. Sudahlah, aku terlatih untuk paham bahwa omong kosong paling indah di dunia memang melulu soal cinta.

***
Dulu, aku punya cermin seukuran diriku dengan bingkai kayu jati. Kuno dan eksotis. Ada ukiran dua kepala naga sedang bersitatap tepat diatas kepalaku. Barangkali sepasang naga yang saling jatuh cinta namun hanya terukir untuk saling menatap. Atau naga yang rindu saling bergulat namun terpahat hanya untuk beradu pandang. Hari ketika cermin itu kusingkirkan adalah kenangan ketika kulihat mata sepasang naga itu memerah, lidahnya mendesis. Dan jendela yang terbuka mengalirkan kata kata makian, masuk kedalam telingaku. Aku marah dan merasa terbuang. Lalu kusingkirkan cermin kuno itu untuk selamanya. Tak cukup dengan itu, jendela kututup rapat rapat, kata kata itu, makian atau apalah namanya, tak boleh merayap masuk bersama udara. Litani kesalahan yang bertumpuk disuarakan kepadaku melalu bisik-bisik yang ditangkap hujan kubiarkan merembes ke rahim bumi. Aku ada di dalam kamarku dan entah mengapa meski senyap, resah dan hambar tanpa cermin, dinding dinding jujur selalu memantulkan apa yang tidak pernah kudengar dari si jalang itu. Makian. Makian tanpa suara. 


Aku mempelajarinya setahun ini dalam kamar sembilan kubik. Bahwa dunia disekitarku sudah ribut tanpa harus aku keluar dan menciptakan keributan yang sama. Pejamkan saja matamu dan berdiamlah, maka kau akan diam untuk mengenali begitu banyak kesibukan di dalammu maupun di luarmu. Suara nafas, dada yang naik turun, pkiran yang mengelana, detik jam, langkah kaki, desir angin, dahan jatuh, atau gerimis di luar sana. Bahkan alam punya cara tersendiri untuk menunjukan eksistensinya, yang kadang tertangkap bagiku seperti makian.

Aku. Manusia. Kompleks dalam segala kerumitan yang berbelit. Makhluk yang terkadang hanya bisa berdesis tanpa memagut, menggonggong tanpa menggigit, mengaum tanpa menerkam. Sampai di sini aku kembali berpikir. Jika ular dapat memagut, anjing dapat meggigit, harimau menerkam, semut mengumpulkan makanan, kuda dapat berlari, burung dapat terbang, maka apa yang dilakukan manusia? Berceloteh. Berbicara tanpa henti. Tanpa berbuat apa apa. Kulihat sekeliling, cicak mengedipkan mata.
Mungkin ia sependapat denganku. Aku hanya merasa hambar karena telah gagal mencintai dan dicintai. Dan semua yang dilakukan orang di luar sana adalah salah. Dalam situasi seperti ini, yang kulakukan adalah melepaskan pikiran ini berkelana sebebas-besanya. Membiarkan lamunanku mengobrak-abrik isi kamar yang selalu tawar. Siapa mau peduli? Toh manusia akan selalu peduli hanya pada dirinya sendiri, dan ketika tiada lagi insan lain yang sungguh-sungguh peduli padanya, manusia akan tetap dan lagi-lagi mempersalahkan seonggok daging yang kadang terbujur di hadapan rohnya. Mencoba mengenali diri sendiri dan memaknai cinta yang sesungguhnya. Cintailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri, entah di ayat mana kalimat itu bertengger aku sudah mulai pikun. Yang kusadari, mencintai diriku jauh lebih sulit ketimbang mencintai orang lain. Seandainya cermin naga itu masih ada, dia akan terpaku di sana sambil menertawakan aku keras-keras. Bahkan lahar api dari dalam tenggorokannya akan membakar emosiku dengan gesit tanpa harus kucari-cari lagi cara untuk memaki-maki diriku sendiri. Mungkin tawa sang naga penghias cermin dengan ikhlas mengiringi hangusnya segala emosi yang kemudian larut bersama lolongan perih. Tapi tidak. Tidak ada cermin di tempat ini. Ruang fana yang kurasa hambar. Terlalu hambar. Inilah kenyataan yang harus kuhadapi dengan kaki tetap berpijak pada bumi.

Semua menjadi semakin hambar tatkala potongan memori jumpalitan mencari tepian pasangan puzzle-nya. Hei… tahan! Jangan! Itu semakin menusuk sakit yang sudah terluka, menganga dan nyaris busuk! Jangan! Aku tak boleh memikirkannya lagi. Tak boleh larut dan akhirnya menyia-nyiakan diriku sendiri. Apakah pelajaran untuk lebih mencintai dan menghargai diri sendiri sedemikian sulitnya sehingga aku nyaris tak bisa melupakan ituMelupakan sebuah impian tentang… Andai dogma tak mencampuri urusan cinta. Andai cinta tak terikat dogma.

Inikah yang namanya dilematis? Dongeng Simalakama itu terkesan nyata sekarang. Aku diberi petuah “mencintai orang lain sebagaimana mencintai diriku sendiri, namun saat aku membuat pilihan untuk menyenangkan hatiku yang cukup menampung satu nama saja” aku di cap egois, tidak tau diuntung, hanya melihat dari satu sudut pandang. Kebingungan-kebingungan itu kian menyeruak. Aku terus dihantam waktu. Bersegeralah mengambil pilihan dan suatu saat jika sempat silahkan mengkaji ulang. Banyak yang mengantri dibelakangmu menunggu engkau bergumam setuju tentang yang terbaik bagimu menurut mereka”.

Hmm, cermin berhias naga itu dimanakah kau sekarang? Setidaknya ia selalu lebih beruntung, memantulkan gambar manusia yang terantuk dogma ini dan sesekali menertawakan perlahan segala kebingungan yang terjadi. Aku sesungguhnya rindu cermin naga, rindu pada kedua bayang yang bersitatap, seolah sedang berpagutan mesra. Hal terampuh yang membuatku cemburu buta. Mengapa benda mati itu begitu mudah menemukan kebahagiaan mereka sendiri sementara aku masih terus saja terperangkap dalam balutan kata dogma-dilema-pertentangan-tradisi-prinsip-ideologi dan naasnya cinta? Padahal cinta ya cuma cinta, tanpa titel. Betapa tololnya jika aku atau mereka mencoba menterjemahkan cinta pada lautan bahasa yang diseragamkan. Sesuai dengan apa apa yang dinamakan tradisi, prinsip, ideologi, hingga cinta menjadi kesepakatan, nilai, bukan lagi rasa. Cinta mewujud kaku, terpaku pada dogma. Mesti begini begitu. Yang seperti ini dan seperti itu.

Kadang pantulan tersebut tersenyum riang padaku, memberikan keyakian luar biasa yang ampuh menambah usiaku beberapa detik lagi. Kemudian lepas tengah malam saat aku mesti terguguh sendiri, cermin itu tetap memantulkan bayangan seringai yang sama. Sama menyakitkan karena harapanku rupa-rupanya hanya semu. Semu karena dikandangkan oleh yang tercipta lebih dahulu. Lalu apa guna banyak buku dan pengetahuan baru? Apakah aku yang tersesat atau mereka yang tiada kenal siapa aku sesungguhnya.
Lampu kamar kunyalakan. Silau. Aku tertunduk. Dan ada bayangan aku disana. Menari padahal aku diam. Bergerak entah menuruti siapa. Seolah dia yang sibuk sementara aku hanya pengamat. keningku berkerut. Sekarang siapa yang nyata? Bayangan berteriak: “Kau, ya kamu ayo menari bersamaku!. Aku menoleh kanan kiri, tak ada siapa siapa di sana selain aku. Mungkinkah aku yang diperintahkannya? Hei, sebegitu lemahnya aku, sehingga bayangan pun mengambil alih kendali atas kehendakku? Ahh. Ku matikan lampu. Kuperhatikan gerakan meliuk dari bayangan mulai perlahan dan kemudian menghilang. Kupejamkan mata. Sepertinya itu adalah cara terbaik dari semua solusi untuk mengerti mauku saat ini. Lamat mulutku diluar bersenandung. Pilu. Entah lagu apa yang diperdengarkannya. Pikiran sudah terlalu capek mengolah situasi. Namun hati letih selalu jadi tempat sampah segala kemauan, pikiran, kehendak, angan dan cita. Senandung itu semakin lirih. Menyayat. Menghasilkan air mata.
***

Aku ingin pulang. Kembali pada ruang dimana aku hanyalah aku yang tidak merasa perlu menyingkirkan cermin dan menutup jendela. Memerangkapkan diri dalam tradisi dan ideologi yang menyerbu turun serupa hujan,sebelum kurelakan jejak jejaknya menggenang sekeliling dan basah. Atau memaksa kuping mendengar macam macam kata yang akhirnya kupilah sendiri menjadi baik atau buruk, makian atau nyanyian. Tapi,bukankah itu dulu? Saat dimana tertawa dan menangis - yang selalu bukan karena cinta. Pada senja yang menggores jingga di ufuk barat hanyalah cerita yang terkubur bersama mimpi soal sebuah negeri yang membentang dibalik pelangi, dengan aku sebagai puteri atau pangeran atau raja atau ratu. Kadang kurcaci, atau raksasa jika aku sedang merasa berkuasa. Mungkinkah ada negeri yang begitu indah bernama pelangi?
Lalu tiba-tiba sesuatu yang keras menghantam gendang telinga. Terlalu keras sampai-sampai aku takut pintu kayu rapuh akan jebol terberai. Dengan apa aku akan menggantinya? Hasil jualan jins tak bermerek nan usang? Terbayang sosok ibu kost; rambut disanggul jamu, bedak tebal, gincu merah menyala, daster, sandal jepit dan kata-kata kejam meluncur dari lidahnya.

BRAGH BRAGH BRAGH!!! Siapa itu? Tak ada aturan!
“Frans!”
Aku terdiam. Itu Sandra. Suara Sandra kini terasa seperti pisau, menusuk luka yang sudah menebarkan aroma busuk. Suara Sandra juga berubah jadi cermin berkepala naga dengan semburan api yang pastinya… panas.
“FRANS! Kau di dalam?”
Seharusnya perempuan ini tidak pernah hadir dalam hidupku. Harusnya! Entah sejak kapan aku mulai membenci adat. “Open the door please…” Suara memelas perempuan yang sudah menghancurkan hubunganku dengan Mai… Maimunah.
Gendoran pintu semakin keras. Sedangkan aku untuk membuka mulut, rasanya tak sanggup. Kebencian terhadap perempuan di balik pintu dan rasa cintaku yang besar kepada Mai membuncah jadi satu menggelembung belum meletup, mengatupkan bibirku rapat rapat.
Aku tahu kau ada di dalam. Keluarlah, kita bicarakan baik baik’’ Sandra kembali merengek, sedikit getar terdengar dari suaranya. Haiss.... kenapa kadang kelemahan wanita justru dapat menjadi kekuatannya. Dan air mata satu dua tetes itu yang tak jarang meluluhkan kokohnya tembok yang sudah dibangun rapat.
Maaf Frans... Salahkan aku kalau kau mau, marah padaku, caci maki aku, tapi jangan diam saja
Kau kenal aku, manis. Kau tahu aku yang jarang berkata ini. Kau bahkan pernah bilang kalau kosakataku sehari tak sampai sepertiga kata dibanding cerewetmu seharinya. Aku akan tetap diam. Gedoran itu perlahan-lahan melemah dan akhirnya diam. Mungkin dia lelah karena tak ada jawaban dariku. Aku masih ingin sendiri merenung tentang semua kejadian yang akhir-akhir ini datang silih berganti sejak aku membuang cermin kuno berkepala naga itu.
Bahkan sebelumnya, ketika dogma-dilema-pertentangan-tradisi-prinsip-ideologi dan pengkhianatan cinta seakan saling berkonspirasi untuk menghancurkan diriku. Benar bahwa kini aku makin kacau tak karuan. Tiba-tiba merindukan dinginnya air di bak kamar mandi dekilku.
Oh, Tuhan betapa buruknya hidupku belakangan ini..
***
Situasi pun tenang kembali. aku mendekat ke jendela dan sedikit menyibak gorden, memastikan Sandra tak berada di luar. Mungkin aku bisa menyusulnya tapi hal itu seperti mencungkil luka lama yang sebenarnya belum pulih. Aku akan tetap diam padanya, tapi aku ingin pulang. Pulang kepada situasi dimana aku hanyalah aku yang tidak merasa perlu untuk menyingkirkan cermin atau menutup jendela. Lantas apakah ini artinya aku harus memaafkan Sandra? Pengkhianatan yang sama menyakitkan, bahkan mungkin lebih buruk dari situasi ketika aku harus mengorbankan Mai yang paling tulus kucintai demi sebuah permintaan ayah ibuku! Dua sosok hebat yang sama kuhormati lalu berusaha keras untuk tak menyentuh kata-kata pengingkaran petuah mereka. Dan sebenarnya aku pun cukup siap jika nuraniku akan memberikan stempelan pecundang saat aku tak mampu menentang satu kata pun yang terlontar dari ujung lidah mereka. Aku bisa apa?

***
Cukup sudah pertanyaan dan makian itu keluar dari mulutku. aku hanya terlalu lelah untuk mengoceh atas ketidakadilan dalam hidupku. Aku bahkan malu karena sering ditertawakan bayanganku sendiri lantas membiarkan hati ini berurai dalam kubangan sedih. atau terlalu sinis dengan sekelilingku. Bahkan ketika baru saja satu babak konseling itu terjadi, aku yang muak lantas membuat batasan yang sangat tebal dengan kenyataan. Hingga setahun lamanya, disini, di kamar sembilan kubik ini. Mungkin saja yang dikatakan psikolog itu benar, aku dengan sekelumit neurosis yang melilit. Harga yang kelewat mahal untuk sebuah litani rasa hambar yang menumpuk atas nama pengkhianatan cinta dan dogma.
Sebuah keniscayaan harus kurengkuh lagi, hari ini atau esok. Tatkala bayangan yang menyaru dalam cahaya kamar begitu lantang mengejekku. Sebegitu lemahnya aku, sehingga bayangan pun mengambil alih kendali atas kehendakku? Ada hal yang paling hakiki yang patut kuperjuangkan. Hidupku yang lebih baik.
Aku menghela nafas panjang. Benar masih banyak hal yang membutuhkan perhatian dan usaha kerasku. Lampu kunyalakan, silau. Bayangan yang biasanya mengejekku, kini seperti hati yang bersayap malaikat. Gerimis sudah reda. Aku membuka jendela lebar-lebar dan membiarkan bau tanah itu menyeruak masuk ke dalam rongga dadaku. Sekelebat bayangan yang sama memaksaku mendelik sesaat. Kali ini jauh lebih tenang. Mungkin karena kepakan sayap malaikat itu. Mereka adalah bagian dari warna pelangi hidupku. Sungguh sebuah insight yang entah dari mana datangnya. Mungkin aku harus menjadi gila dahulu untuk bisa menangkap makna yang digariskan padaku. Bahwasanya hidup cuma sekali, lalu mati.
Menjadi sendiri dan memeluk kembali apa yang belum kupahami adalah sesuatu yang mesti kujalani. Kalau bukan nasib, aku bilang itu takdir yang mewujud dalam tiap kepingan. Cerita kami hanyalah sebuah kepingan kecil dari jutaan kemungkinan yang ditawarkan kehidupan, agar aku terus hidup dan menjadi hidup untuk kehidupan yang teramat indah seindah pelangi dengan negeri dongeng dibaliknya.

Kusapukan kuas berbalur cat putih dalam hentakan liar alam yang sering kuabadikan dalam foto, tak bergerak namun hidup. Lidah komodo yang menjulur ganas, rusa yang melompat girang dengan sepasang tanduk yang mengajarinya untuk boleh pongah, atau auman harimau. Semuanya berdenyut dalam nadi yang menyapukan kuas. Coretan nama pada dinding yang sejatinya memang putih polos, satu persatu raib tersapu meninggalkan aku yang menemukan diriku kembali pada tiap nada yang melenturkan jemari. Tetap bergerak. Tetap memotret kehidupan pada tiap keping takdir, yang kelak jika telah dihentikan waktu. Menampakkan aku yang melulu putih dengan pelangi warna warni yang terbias oleh indahnya mengikhlaskan masa lalu.

***
Sungguh benar dengan apa yang aku alami, mengikhlaskan masa lalu adalah jalan terbaik untuk memuluskan masa depan. Bolehlah aku menjadi sedikit bijak atas buku hidupku kemarin. Berani menertawakan kekeliruanku supaya aku tetap pada posisi sadar bahwa jalan di depan sana akan kelewat berliku. Semua yang disadari hari ini adalah batu loncatan yang berarti yang berhasil membawaku kesini, tempat dimana aku harus siap menyatakan kembali masa depanku. 
Sebelum peristiwa pengasingan diri yang kulakukan ini terjadi, aku hanyalah seorang fotografer lepas sebuah majalah wisata sekaligus kontributor foto sebuah koran terbitan Australia. Fransiskus Antonius, si Jawa tulen yang sok misterius, begitu rekan-rekan kerja memanggilku.
Aku memutuskan untuk menerima tawaran menjadi relawan sebuah lembaga swadaya yang bekerja sama dengan PBB untuk pengentasan kemiskinan di wilayah Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Maumere. Lebih dari itu, bahwa disana aku bisa memuaskan hasrat fotografiku lagi. Surga sesungguhnya sudah di depan mata, bisik hati kecilku. 
Tentang Sandra, aku hanya ingin terus memupuk rasa maafku bagi jalan hidupnya. Itu saja. Dan Mai, seperti ribuan tanda tanya yang tak sempat dijawab, apakah entah atau mungkin yang tak terwujud, dia pergi dengan berkas yang tetap saja abu-abu di hatiku. Mai memutuskan melanjutkan kuliahnya di Universitas Al Azhar, Mesir. Bahkan ketika rezim Hosni Mobarak runtuh dan mengakibatkan pergolakan, aku tiba-tiba mengingat senyum tulusnya. Semoga dia baik-baik saja disana.
Tentang ayah-ibuku, aku masih tetap menaruh sejuta hormat dibawah telapak kaki mereka, aku rasa demi kemudahan jalan hidupku. Kali ini mereka bahkan sudah jauh dari kesan menuntut keinginan yang harus sama orang tua dan putra semata wayangnya. Hari tua yang kurasa cukup membahagiakan  bagi mereka disela usaha kebun bunga yang luas di utara Ambarawa.

***
Tok tok tok!!
Aku terlempar kembali dari langit-langit kamar. Rasanya kosong.
''Kak Fraaaans....ka'eeee...pesanannya sudah diantar...'' lengkingan yang sangat kukenal.
Kubuka pintu lebar-lebar dan membiarkan sekumpulan energi merasuk naluriku. Sesuatu yang seperti pernah dekat denganku. Sudah kusiapkan mentalku matang-matang untuk hal ini. Cermin seukuran diriku dengan bingkai kayu jati di depan mataku. Dengan dua kepala naga yang bersitatap dalam kobaran cinta.

Rasanya aku pun ingin jatuh cinta lagi…

***********************************

Jogjakarta-Denpasar-Ende-Malang, 1 Maret 2011

NB: cerpen ini awalnya hanya sebuah keisengan saya pasca membaca kumpulan cerpen 1 Perempuan 14 Laki-laki yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu dan 14 penulis pria. Menarik. Maka saya pun menulis 'kalimat umpan'nya di wall Facebook dan langsung direspon kak Tuteh di ende, berikutnya Sandra di malang, Marsi di denpasar, Ecka di ende dan Eddie dan ende jg. selamat membaca semoga berkenan di hati. mengingat ini proyek perdana para MuDAers NTT dalam menulis cerpen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar