Cerpen Gerson Poyk
Dimuat di Jurnal Nasional (05/16/2010)
Namaku Immanuel. Sejak kecil aku dipanggil Nuel. Aku lahir dari rahim seorang perempuan Rote, pulau paling selatan di republik ini. Ibuku kawin dengan seorang lelaki pedagang pakaian bekas berasal dari Sulawesi Selatan. Baru berumur tiga bulan, ayahku hilang ditelan ombak dan arus di selat Timor dan Rote, selat Pukuafu. Setelah berumur lima atau enam tahun, barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu.
Aku bisa mengenang ibu membawaku berjalan kaki dari kampung ke kampung, berjualan pakaian bekas. Kalau tidak dengan uang, maka pakaian bekas itu ditukar dengan jagung dan gula. Dalam perjalanan, kalau ibu membuat gula, aku diberi gula. Kalau aku haus, ibu membeli nira lontar dan aku minum sepuas-puasnya. Makanan yang paling aku suka adalah kue cucur. Itu pun bisa kumakan kalau pakaian bekas ibu laku. Akan tetapi makanan yang paling sehat adalah jaung tepung dicampur gula dan kacang ijo goreng kering tanpa minyak. Sering aku dan ibu kelelahan di perjalanan dari kampung ke kampung dan kalau sudah tak tertahan lagi, kami berbaring nyenyak di atas rumput kering di tepi jalan setapak, tidak peduli matahari membakar kulit kami.
Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah adalah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku ibu berkata, semoga anakku menjadi orang terkenal‘¦
Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, ibu meninggal dunia karena kanker paru-paru. Soalnya kalau ibu selesai memamah sirih, mulutnya diisi dengan tembakau yang tergantung-gantung di bibirnya, itulah kukira penyebab meninggalnya ibuku.
Pamanku datang dari Kupang menjemput aku karena di Rote sanak saudara sudah berpindah ke pulau Timor, bertani di pedalaman yang telah ada kampung-kampung Rote semenjak abad yang lalu. Ibu punya dua orang saudara, kakak perempuannya tinggal di Bali dan yang sulung, lelaki, tinggal di Kupang. Tanah saudara lelakinya seluas dua hektar dan di atas tanah itu ada banyak pohon lontar.
Mula-mula paman hidup sebagai penyadap lontar, memasak nira sampai menjadi gula lalu dipikulnya ke pasar di Kota Kupang. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia melihat daun lontar di pohon yang ditiup angin kemarau sehingga daun lontar itu seakan bergetar dan bernyanyi, maka idenya tergetar pula untuk membuat sesandu. Orang Jawa yang nama belakangnya selalu ada huruf ‘O‘™ suka menyebut alat musik itu sasando. Padahal orang Rote menyebut sesandu, bahkan dalam buku-buku tentang Rote dalam bahasa Inggris pun menyebut sesandu.
Pamanku bernama Eduard tetapi selalu dipanggil Edu. Paman Edu memang berbakat musik. Ia memainkan sesandu di pesta-pesta atau kalau tak ada pesta ia bermain sesandu sendiri berjam-jam. Akan tetapi setelah ia menjadi pengrajin atau pembuat alat musik itu, maka berjam-jam, berhari-hari ia sibuk membuat alat musik itu. Ada sesandu gong yang hanya memakai sembilan senar, ada sesandu biola dengan beberapa oktaf sehingga Mozart pun bisa dinyanyikan oleh alat musik etnik itu.
Aku menjadi kacungnya. Aku menjadi pemanjat pohon lontar untuk memotong daunnya, aku menggergaji kayu dan bambu, aku sering keluar membawa sesandu yang diborong orang, aku menjadi kemenakan yang paling disayang. Paman menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi pengrajin sesandu maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Dari sekolah formal aku masuk sekolah informal, sekolah sesandu. Akhirnya aku menjadi pemain sesandu dan sekaligus menjadi pengrajin sesandu. Kecil-kecil sudah bisa punya banyak uang. Selain penghasilan dari pembuatan alat musik sesandu, aku dikontrak oleh sebuah hotel berbintang di Kupang dan dengan demikian, aku tidak perlu susah-susah seperti teman-teman sebayaku yang berkantong kosong.
Akan tetapi kebanggaanku sebagai anak yang bisa memegang uang dengan mencari sendiri, hilang pelan-pelan. Ketika aku sudah berumur lima belas, aku sadar saat melihat teman-temanku yang bersekolah. Aku jadi malu karena aku anak putus sekolah di SD. Apalagi beberapa kali, kalau aku habis bermain sesandu, ada yang bertanya sekolah di mana. Seringkali aku menipu dengan mengatakan kalau aku mahasiswa. Sering para penanya menyambung; kuliah apa? Dan aku menyambung tipuku ; kuliah musik.
Tiba-tiba kakak ibuku datang berlibur dari Bali. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada paman, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kau saya bawa ke Bali saja. Tinggal di Denpasar. Bekerja di hotel saya. Setiap malam kau bermain sesandu di restoran kita. Kau dapat gaji. Di siang hari kau harus bersekolah lagi, ya! Mula-mula ikut ujian Paket A, kemudian masuk SMP dan seterusnya sampai jadi sarjana!”
Bukan main girangku.
“Hei dengar. Zaman dulu tak ada sekolah sebanyak ini sehingga saya, ibumu, dan pamanmu tidak bisa bersekolah dengan baik. Tapi sekarang, sekolah di depan mata. Hanya beberapa langkah berjalan, sampailah ke sekolah,” kata kakak ibuku.
Maka setelah puas berlibur di Rote, ia kembali ke Kupang, lalu kami berdua terbang ke Bali dengan membawa beberapa sesandu dan beberapa alat musik lainnya. Alat musik etnik Rote seperti gong dan tambur. Kami juga membawa beberapa karung dendeng asap yang disebut daging se‘™i. Tidak ketinggalan asam Jawa yang disebut tambring timor yang tumbuh liar di padang sabana.
Di Denpasar, aku kagum luar biasa atas perkembangan kakak ibuku. Kakak perempuan ibuku, tanteku, bibiku, budeku! Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar, pabrik garmen dengan seratus tukang jahit. Laba yang diperoleh dari pabrik garmen itu ditanam ke sebuah hotel yang dilengkapi kolam renang. Hotel itu juga memiliki sebuah restoran. Di restoran itu ada sebuah arena untuk musik dan berdansa. Luar biasa.
Sebelum bermain musik, aku disuruh membuat SIM. Walaupun ia sudah mempunyai sopir pribadi, ia ingin agar aku bisa membawa mobil untuk urusan ke sana kemari termasuk pergi dan pulang sekolah.
Usaha tanteku dimulai kira-kira bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Kalau ibuku mulai dengan pakaian bekas berjalan ke sana ke mari, masuk kampung keluar kampung maka tante memulainya dari sebuah jarum. Bukannya jalan ke sana kesini tapi hanya duduk sambil menyulam sarung bantal. Mula-mula dua sarung bantal, dan dua sarung bantal itu dibeli oleh seorang nyonya, tetangganya. Nyonya tetangga itu memperlihatkan kepada seorang turis Belanda. Turis Belanda itu tertarik lalu memesan beberapa lembar. Kemudian, sepuluh, lalu dua puluh, lalu seratus, dua ratus, lalu seribu. Dengan demikian, tanteku, bibiku, budeku memesan mesin jahit, mesin untuk sebuah perusahaan garmen dan butik. Mula-mula kecil, kemudian besar dan makin besar saja! Tanteku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah, dengan memulai dari sebuah jarum, sampai mempunyai pabrik dan hotel.”
Aku berpikir, pamanku juga begitu. Dia mulai dengan sebuah golok dan sebuah pisau, sebuah gergaji kecil, sebuah bor kecil. Dengan beberapa biji alat yang kecil itu, ia bisa memiliki sebuah bengkel pembuatan sesandu.
Hampir seluruh keluarga dari pihak ayah dan ibu sudah bermigrasi ke luar pulau. Hal itu terjadi sedikit demi sedikit ketika terjadi musibah besar dalam keluarga kami. Salah seorang kemenakan kakek membuat seluruh keluarga malu karena ia memberontak terhadap adat. Ceritanya menyedihkan. Ketika sepupu ayah melamar seorang gadis Rote, orangtua si gadis menuntut belis (emas kawin) terlalu banyak; empat puluh ekor kerbau, empat puluh sapi, empat puluh kuda, empat puluh gram kalung emas, dan uang empat puluh juta! Pihak keluarga sepupu ayah, termasuk ayahku memohon supaya emas kawin dicicil selama empat puluh tahun, sesuai dengan adat Rote. Tetapi pihak si gadis menolak. Harus kontan. Hal itu tidak mungkin. Pihak pria hanya memiliki sepuluh mamar (kebun tanaman keras) dan sejumlah sawah ladang tetapi tidak punya kerbau dan sapi sebanyak itu.
Karena lamaran ditolak, tidak disangka-sangka, pada suatu malam sepupu ayah membawa parang, membunuh empat puluh keluarga dari pihak tunangannya, termasuk tunangannya. Terjadi kehebohan besar. Pulau Rote jadi terkenal sebagai pulau pembunuh. Amat memalukan.
Demikianlah, maka untuk menghindar dari pembalasan dendam, maka sanak keluargaku pindah ke pulau Timor. Kebetulan pulau Timor adalah pulau tanah kosong yang telantar. Orang asli Timor suka tinggal di tempat tinggi, di lereng dan puncak bukit berangin kencang, sehingga tidak ada nyamuk. Orang Rote tidak bisa terpisah dari mata air dan sungai. Dengan air kekayaan datang berlimpah. Mereka membuat sawah, menanam pohon-pohon keras seperti kelapa, nangka, sukun, pinang, dan sebagainya. Kebun tanaman keras itu disebut mamar.
Jadi mamar adalah kebun ekologi. Sering mas kawin atau belis dalam bentuk mamar. Satu atau dua mamar yang luas bisa “ditukar” dengan seorang gadis. Keluargaku yang pindah ke Timor jadi makmur sejahtera karena memiliki mamar, sawah, ladang, dan ternak kuda, sapi, serta domba. Jangan ditanya ayamnya, banyak. Namun ada juga orang Rote yang berpindah ke Timor sangat nakal. Sapi, kerbau, dan kuda milik orang Timor yang terlepas begitu saja di padang penggembalaan selalu turun ke mata air dan sungai untuk minum. Diam-diam para manusia Rote yang nakal itu membuat stempel besi berhuruf ‘R” lalu stempel itu dibakar, kemudian distempel ke pantat hewan milik orang Timor yang datang minum itu. Jadilah hewan-hewan itu milik orang Rote. Untunglah aku tidak tinggal di kampung Rote itu walaupun aku pernah diminta untuk menjadi gembala.
Tanteku, bibiku, budeku juga diajak tinggal di kampung Rote di tengah padang sabana. Belum lama tinggal di sana, ia keburu dilamar seorang tentara asal Bali. Aku berterimakasih pada suaminya. Bukan saja aku, tetapi seluruh keluargaku berterimakasih pada suaminya karena walaupun isetrinya hanya tamatan kelas satu SD, dengan tekun diajarinya berhitung sehingga aku menjadi kagum pada tanteku karena ia bisa berhitung, menambah, mengurangi, membagi, dan sebagainya. Memang, tanteku berbakat matematika. Kepalanya adalah komputer. Itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang pengusaha yang terhitung sukses. Walaupun ia cuma sampai di kelas satu sekolah formal tetapi karyawan yang tinggal dengannya, jika sudah menikah akan berkata bahwa mereka tamatan akademi pariwisata. Mengapa? Gadis-gadis yang tinggal dengannya akan menjadi isteri yang sangat mahir dan telaten mengurus rumahtangga.
Tanteku bercerita tentang masa remajanya. Seorang nyonya kontrolir Belanda (kini bupati), mengumpulkan gadis-gadis remaja, mereka diajari menjahit, menyulam, mencuci pakaian, kelantang pakaian putih yang disabuni lalu digelar di lapangan rumput agar putih bersih, menyeterika, melipat dan menyusunnya di lemari. Mereka diajari seni menangani dapur. Dapur harus bersih. Piring mangkuk dicuci bersih lalu diletakkan di rak secara teratur. Lemari makan harus bersih, tidak dikeroyok rayap dan lalat, tembok dapur harus putih bersih, meja makan harus disikat dengan sabun dan air. Cara mengatur meja, piring, sendok, garpu, serbet, semuanya harus tertata indah. Air minum harus dimasak, sayur mayur, ikan, daging harus dicuci bersih dan tidak lupa lantai rumah harus dipel, kasur harus dijemur setiap minggu dan seterusnya. Pendeknya sebuah rumahtangga harus diurus seperti mengurus hotel berbintang.
Gadis-gadis itu akhirnya dilamar oleh para guru, pegawai kantor, polisi, tentara dan pengusaha. Itulah gadis-gadis asuhan nyonya kontrolir. Di antaranya tanteku. Walaupun ia putus sekolah di kelas satu SD tetapi pengetahuannya mengenai pengurusan rumahtangga setingkat dengan Sekolah Kepandaian Putri. Bukan pendidikan formal, tetapi pendidikan non formal, pendidikan di luar sekolah formal, pendidikan permagangan.
Melihat orang Papua yang masih memakai koteka dan hidup di hutan, tanteku terbang ke sana dan membawa pulang sepuluh anak angkat untuk ikuti pendidikan permagangan di perusahaannya. Ia mendidik mereka mandi tiga kali sehari pakai sabun, bagaimana berpakaian, bagaimana cara makan di meja makan, dan sebagainya. Karena kayu terlalu banyak di Papua maka tanteku membuka sebuah bengkel. Mereka belajar membuat honai modern yang bersih dan sehat. Mereka dianjurkan untuk nantinya membuat sendiri rumah di atas lahan yang berada di bawah mata air yang bersih, membuat WC yang bersih memakai tempat buang air leher angsa dan sebagainya. Mereka diajari membuat kincir air yang memutar dinamo, juga kincir angin untuk memompa air sumur atau sungai. Pendeknya tanteku mendidik mereka untuk menjadi pemimpin desa, kalau perlu menjadi camat, bupati, dan sebagainya.
Tanteku selalu menarik nafas, berkata, kalau di tiap kabupaten ada nyonya bupati yang meniru nyonya kontrolir itu, maka orang Papua tidak sampai satu abad akan berpendidikan seperti orang dari negeri yang sudah maju. Itulah tanteku, perempuan desa yang mulai berusaha dari jarum, dari selingkar sulaman. Tanteku putus sekolah formal di kelas satu sampai menempuh pendidikan non formal luar sekolah sehingga bisa memiliki sebuah pabrik garmen dan sebuah hotel.
Setiap pagi aku bermain sesandu di restoran hotel milik tanteku. Siang harinya aku dibiarkan tidur sampai jam sepuluh. Bangun dari tidur yang menyehatkan, aku mandi lalu menolong beberapa pekerjaan ringan, kemudian makan siang dan bersiap-siap ke sekolah. Mula-mula aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMA-ku. Tanteku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Singkat cerita aku lulus sebagai musikolog.
Tugasku di hotel tanteku masih seperti biasa. Bermain sesandu sambil bernyanyi. Saat itulah, ketika aku sedang bermain sasandu, tiba-tiba seorang wartawati Amerika memintaku untuk diwawancara. Oh, aku gembira sekali. Dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar New York Times, koran dunia yang sangat terkenal itu. Ada wajahku di sana, ada sesandu kesayanganku. Ada kalimat berbunyi, “Aku bermain dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku menjadi musik dan musik menjadi aku.” Aku merasa bukan aku yang bermain musik melainkan malaikat surgawi, Dewi Musik. Setelah sadar kadang-kadang aku tidak bisa lagi bermain seperti itu.
“Barangkali Dewi Musik lagi gambek .” Sang wartawati tertawa.
Karena koran dunia itu, aku dikenal dunia pula. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Amerika untuk mengajar. Mengajar sesandu di departemen musik etnik. Oh Tuhan, syukur Tuhan. Tanteku memeluk aku, mencium aku sambil menangis karena gembiranya.
Aku menangis tersedu-sedu karena gembira pula. Karena jalan hidupku begitu mulus diciptakan Tuhan. Aku merasakan bahwa namaku memang benar. Immanuel berarti Tuhan beserta kita. Ya, Tuhan selalu beserta Nuel. Nuel! Tuhan selalu bersamamu Nuel, kataku.
Terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, aku tak dapat menahan airmataku. Aku mengenang ibuku penjual pakaian bekas keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki telanjang. Aku ingat akan kue cucur, sepotong kue cucur. Air mataku mengucur.
“Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis.
“Tidak. Semacam homesick,” kataku.
Ia menyorong tisu tapi airmataku mengalir terus, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat pondok kecil yang dibuat ayahku setelah kami lari dari dusun karena pembunuhan empat puluh orang itu. Ayahku membuat sebuah pondok berdaun kelapa. Di dalamnya ada sebuah bale-bale tempat kami tidur. Tidak ada kursi melainkan beberapa buah batu besar untuk duduk-duduk. Waktu ayah tenggelam di selat Pukuafu, ibu tidak punya uang. Untuk makan malam, sore-sore, aku dan ibu ke pantai ketika laut surut. Kami memunggut kerang, memetik rumput laut yang dalam bahasa Rote disebut latu. Ada kepiting, ada udang, ada ikan, dan gurita remaja.
Aku mengenang pasir putihku yang selalu dijilat-jilat ombak. Di ujung lidah-lidah ombak di bawah pasir yang halus, ada berpuluh kerang di bawahnya. Kalau terinjak maka mereka menyemprotkan air sehinga aku berhenti dan mengorek pasir, memungutnya satu demi satu seperti makan kacang goreng saja. Setelah kenyang ibu telah siap dengan makanan laut satu keranjang penuh. Pulang ke pondok daun kelapa kami, ibu memasak makanan itu dan karena tak ada uang untuk membeli beras, pengganti nasi kami minum air gula lontar. Lumayan. Setelah kenyang aku melompat ke bale-bale dan tidur tertelungkup tanpa bantal. Bangun pagi-pagi karena terlalu banyak asam urat di tubuh, leherku linu kalau menoleh ke kiri dan ke kanan. Mengenang itu, aku menggeleng-geleng kepala beberapa kali. Leherku tidak linu ketika menoleh ke jendela, memandang gumpalan awan di bawah sana. Sayup dalam kenangan ada pantai di mana aku dan ibu memungut kerang ketika laut surut.
“Anda ke New York?” tanya gadis di sampingku.
“Tidak. Hanya di Los Angeles,” jawabku.
“Urusan bisnis?”
“Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.”
“O, profesor tamu,” katanya.
Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari ketika ada hari raya Home Coming, aku diundang ke rumahnya yang terletak agak di luar kota, di sebuah kota kecil. Ampun, ampun, rumahnya bak istana. Ayahnya seorang profesor fisika. Malam itu aku menginap di rumahnya, akan tetapi ketika berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk daun kelapa, bale-bale, berkeliling dengan ibu, berjalan kaki tanpa sepatu, makan kue cucur, minum air gula nira‘¦oh, walaupun mengantuk berat, aku masih menyebut namaku. Immanuel, Tuhan beserta kita, Nuel, Tuhan besertamu sampai di Amerika ini‘¦lalu aku terlelap dalam irama sesandu.***
Depok, 12-12-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar