(Sebuah Cerpen Karya Ave Loca Pasa a.k.a John Paul)
Bang…
“Bang..sudah jam 6 nih..” suara yang tidak asing itu membangunkan saya.
Masih dalam posisi tidur, mencoba menggerakan tubuh yang masih belum 100% sadar...,
Saya mencoba membuka mata, lalu melihat kearah jendela yang sedang dibuka Pak Ketut, salah satu Office Boy di tempat saya bekerja.
“makasih Pak Tut..”
kataku dengan suara yang masih kelelahan setelah semalam membantu Panitia, menggelar acara Final Party KOBASMA Kompetisi Basket Smakerz.
Dengan sisa tenaga yang masih ada saya mencoba bangkit dan membereskan tempat tidurku, tiga buah kursi yang kususun di pojok ruang Tata Usaha, belakang meja Mba Indah, bendahara sekolah.
Setelah semua beres saya langsung keluar, menghampiri Mio kesayangan hasil jerih payahku. Kuhidupkan mesinnya, dan memanaskan untuk beberapa menit.
Sembari menunggu Mio, Lucky Strike biru kukeluarkan, cukup satu batang sekedar memanaskan paru-paruku juga.
‘Hhhmmm..sepertinya ini sudah jadi rutinitas”
Yahhh begitulah,,,,,,,,kalau saya menginap di sekolah, jarang tidur di kamar pojok rumah kontrakan pamanku, kamar itu hanya jadi tempat persinggahan dan penampungan barang-barang milikku, yang sampai saat ini pun masih berantakan.
“Pak Tut,,,saya pulang mandi dulu”
“Oke,,,,hati-hati bang”
Kupacu DR 4510 BE itu seperti biasa, lawan jalur, kemudian menyeberang jalan, lewat belakang lebih cepat tiba di rumah.
Saat melewati jembatan Majeluk aku terperangah,
“Anjiiitttt…setan,,,” teriakku dengan suara yang cukup kencang.
Gila ni orang….mungkin begitulah pikiran Pak Tua yang sedang melintasi jembatan bersama cucunya’ga mungkin anaknya…ga tau deh tanya sendiri sama Pak Tua tuh’
Saya hanya tersenyum melihat Pak Tua dengan ‘cucu’nya yang kaget mendengar teriakan saya.
Gilaa…benar-benar gila….’bukan saya lho, Sunrise-nya”
“Keren Sunrise-nya…” kataku dengan suara pelan.
’Haaahhhh???? Jam segini Sunrise??? Ga salah????
Yahhh….pokoknya selama matahari masih bergerak naik, itu namanya Sunrise menurut saya ‘kalo menurut loe enggak, tu urusan loe’
Saya memang penggila Sunrise dan Sunset,
dulunya Sunset saja, tapi setelah mengenal dia saya menjadi tergila-gila dengan Sunrise,
katanya dia Sunrise itu symbol kehidupan,,,brand new day gitu dehh
dan memang Sunrise tuhh benar-benar keren.
‘siapa dia???..aw..awww..awwwww…ga usah disebut dehh, sudah menjadi kenangan, biarlah tetap menjadi kenangan’
Saya menahan laju sepeda motorku, dengan perlahan menikmati indahnya matahari yang mulai menanjak. Bundar tanpa lekukan, merah sedikit orange, menyala, seperti hendak menghanguskan bumi.
Wwaahhhhh…sebentar!! jam segini??
Sepertinya hari ini terlalu tinggi mataharinya,
Terlalu cepat melek mataharinya.
Apa tidak ada yang memperhatikan?
Mba itu...biasa aja,
Mas itu sama,
Pak guru itu juga, apa lagi anak kecil dua tuhh…
ahh..sudahlah, dari pada saya terlambat.
Karena masih sepi, lampu merahpun saya terobos, lurus terus pertigaan belok kiri, setelah belok saya menoleh, kembali memperhatikan sang surya.
Waow, kali ini lebih putih, cahayanya mulai menyebar, tapi masih terlihat bentuk bundarnya yang sangat sempurna.
Saya kemudian mengalihkan perhatian pada orang-orang yang ada disekitar saya ,
yang sibuk dengan pekerjaan rutin mereka,
yang berlalulalang dengan kendaraannya.
Seorang bapak yang sedang menyapu halaman,
Ibu penjual sayur yang asyik duduk dibonceng pak tukang ojek,
Seorang ibu yang menggendong anaknya, sambil menyuapi sarapan untuk sang anak.
Pasangan PNS yang melaju dengan sepeda motornya.
Seorang ibu pedagang nasi bungkus yang sibuk dengan kerumunan pelanggannya.
Bahkan orang gila itupun sibuk membetulkan bajunya yang sudah koyak.’pengecualian, yang ini memang sudah wajar’
Semua tidak merasakan apapun, kecuali saya.
Kenapa saya merasa ada yang aneh dengan hari ini,
Mataharinya.
Masih dengan matahari,
cepat banget melek-nya.
Apa saya yang benar-benar gila???
Ahh...nggak mungkin^o^..saya masih normal.
Saya kemudian berhenti dipinggir jalan, meroggoh saku celana, mengambil HP dan mencoba mengabadikan sang surya yang masih membuat saya penasaran.
Klik…’memori anda tidak cukup untuk menyimpan’ tulisan di layar HP saya.
Bangke oros…sial memory card-nya ketinggalan di kamar.
Saya lalu memarkirkan sepeda motor,
mengotak-atik HP yang memang tidak rusak, kemudian menyeberang jalan,
lalu pura-pura membeli nasi bungkus, tempat ibu pedagang yang tadi dikerumuni pelanggannya.
Hmmm…aksi tambahan, biar tidak terlihat bego dengan HP yang sudah terlanjur saya keluarkan.
‘Sial’….keluhku dalam hati, tidak biasanya saya beli nasi bungkus pagi-pagi begini.
Saya memang tidak terbiasa sarapan dengan menu berat.
Biasanya hanya roti, donat, atau kue-kuean yang berisi tentunya, ditambah kopi atau teh panas sudah cukup.
“Nasi dagingnya satu Bu” kataku sambil mengeluarkan uang dari dompet
Setelah selesai, kuambil nasi bungkusnya dan kupacu kembali sepeda motorku menuju rumah.
Sesampainya dirumah, saya langsung menghabiskan nasi bungkus yang sudah terlanjur mengurangi persediaan isi dompet.
Selesai makan, saya bergegas mengambil handuk yang sudah sehari semalam menggelantung di tali jemuran belakang rumah.
Mandi, prepair, siap berangkat.
Tetapi masih ada yang mengganjal,
Masih,
Dan masih yang sama,
Tentang matahari yang terlalu cepat melek.
Selama menghabiskan nasi bungkus, mandi, sampai dengan ritual-ritual prepair kecil lainnya, saya masih memikirkan tentang sang surya yang begitu aneh ‘setidaknya menurut saya’ hari ini.
Ada yang berbeda dari sinarnya, juga waktu munculnya yang lebih cepat.
Kembali kupacu Mio-ku, kali ini lebih cepat karena matahari yang aneh itu sudah membuat keadaan lebih terang, dan saya tidak mau terlambat.
Selama perjalanan belum ada yang terlihat aneh,
Setelah melewati bundarana AI ‘Amaq Inaq’, persis didepan Mataram Mall saya kembali kaget.
‘Anjrriiitttt…apa ga ada yang ngrasa aneh dengan matahari ni”, pikirku sambil memperhatikan kembali orang-orang disekitar yang sibuk dan juga yang sok sibuk, seolah-olah mereka yang lebih sibuk dan tertekan daripada saya.
Ingin rasanya saya berteriak, ‘whooiiiii…apa kalian nggak liat??? Perhatiin tuhh mataharinya!!! Sudah lebih terang, lebih panas, dekat lagi…’
Memang pemandangan yang saya lihat seperti itu, bulatan sinarnya lebih besar, dan jaraknyapun lebih dekat dari biasanya. Sangat terasa, panasnya berbeda, sinarnya juga berbeda.
Apa hanya saya saja yang bias melihat ini??? Saya berpikir kembali.
Setelah tiba di sekolahpun keadaanya sama, siswa-siswi sibuk dan sok sibuk dengan diri masing-masing.
Karena bel sudah berbunyi, ada yang begitu saja memarkirkan sepeda motornua, ada yang berlari-lari menuju halaman tengah tempat upacara karena hari ini hari senin, Pak Pelegoh yang berdiri disamping gerbang juga meneriaki siswa yang terlambat agar segera masuk, pemandangan biasa setiap harinya.
Sama sekali tidak ada yang merasa, ada sesuatu yang aneh,
aneh dengan matahari yang sudah membuat pikiran saya kacau.
Setelah memarkirkan sepeda motor, saya langsung bergegas menuju ruang tata usaha, meletakan tas saya yang lengkap berisi perlengkapan mandi, baju dan celana cadangan ‘jadi bukan hanya pemain, tapi baju dan celana juga ada cadangannya lho’
Handycam dan Camdiq kukeluarkan, langsung menuju halaman tengah, tugas wajib menanti, dokumentasi kegiatan sekolah.
Hari ini upacara special diadakan untuk siswa-siswi yang sukses melaksanakan KOBASMA, kompetisi basket pertama dalam sejarah SMA Katolik Kesuma Mataram,
selain itu Tim Basket Putra juga sukses meraih juara pertama, setelah mengalahkan SMAN 1 Praya Juara DBL wilayah NTB.
Saya kembali ke ruang TU setelah sibuk dengan dokumentasi dan kepikiran dengan matahari yang aneh itu, ‘mohon diingat!!! saya benar-benar sibuk, bukan sok sibuk…..dan benar-benar kepikiran bukan sok kepikiran’
Setelah berada di ruang TU, sejenak saya memperhatikan semua yang ada didalamnya.
Om Rius, Mba Indah, Mba Yuyun, Om Bagus, Pak Gede,
semuanya santai seperti biasa, sibuk juga sih,
tapi kali ini sepertinya mereka benar-benar sibuk bukan sok sibuk. ‘whuahahahaaa…takut salah prediksi’
Saya kemudian mencoba mengungkapkan ‘ceiilleehhh…serius banget’, maksudnya menyampaikan apa yang saya pikirkan pada Om Rius,
“Om, kayaknya mataharinya tinggi sekali, padahal baru jam segini” kataku membuka perbincangan.
Om Rius-pun menjawab dengan santai,
“iya sihh,,,,sekarang kan mataharinya agak ke selatan, makanya siangnya lebih panjang”
‘adduuuhhhh…Om ini, memang sih lebih panjang siangnya, tapi apa nggak aneh jam segini mataharinya sudah segini panasnya’ pikirku mendengar jawaban dari OM Rius.
“iya Om, tapi agak aneh”
saya menyahut jawaban Om Rius, meski belum puas dengan jawabannya.
Saya kemudian berbalik, dan langsung keluar ruangan menuju ruang guru di lantai dua, ke arah washtafel..saya harus cuci muka, mungkin ini efek kelelahan ditambah kurang tidur, jadinya pandangan saya lebih nggak jelas.
Setelah membasuh muka, saya kembali ke ruang TU, dan masuk ke gudang arsip, ruang kecil di pojok yang memang tersedia cermin,
Dengan seksama saya memperhatikan setiap sudut dari permukaan wajah saya yang kusut melalui cermin,
Tidak ada yang aneh, masih seperti biasa, hanya kurang tidur.
Baru saja, saya menoleh dan hendak keluar TIBA-TIBA :
…..brrruuuuaaagggkkkkhhh….
Terdengar suara keras dari arah timur,
Para guru dan siswa langsung berhamburan keluar, dan berusaha menuju gerbang sekolah yang masih terkuci.
Dengan berlari siswa-siswi dari lantai dua, tiga dan empat berusaha turun dan menyaksikan apa yang terjadi,
Sementara Pak Pelegoh berusaha membuka gerbang yang memang terkunci selama upacara, meski ditengah desakan dan ramainya siswa-siswi,
kendaraan yang melaju di jalan utama depan sekolah terhenti dan mulai macet, bunyi klakson mobil dan sepeda motor silih berganti.
Suasana tak terkendali, siswa-siswi dan para guru berusaha keluar dari area sekolah,
Sementara itu dari dalam ruang audio control, Pak Barman mencoba mengarahkan penghuni sekolah agar kembali ke tempatnya masing-masing.
“Semuanya mohon kembali ke tempatnya, jangan ada yang keluar dari halaman sekolah, mohon bapak, ibu guru mengarahkan siswa-siswinya”
Sepertinya peringatan Pak Barman dari pengeras suara dengan volume yang cukup keras tidak diperhatikan oleh siswa-siswi dan juga para guru.
Sayapun berusaha keluar dan berdiri di pintu loby sekolah, memperhatikan keadaan yg semakin kacau.
“Wahh...kalo sudah begini susah diatur om”
kata Bu Wirati yang persis berdiri disebelah saya.
Saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, karena masih penasaran juga dengan apa yang terjadi.
Pak Rino, Pak Guntur, Bu Suli, dan Pak Gede juga berdiri di teras persis depan saya, mencoba menghalangi siswa-siswi yang keluar lewat loby dengan menutupi jalan dari pintu depan.
Saya masih belum tenang, dan berusaha mencari posisi yang lebih nyaman,
Melewati beberapa sepeda motor yang diparkir, sayapun akhirnya berdiri disamping gerbang sekolah,
sementara itu siswa-siswi sudah berhamburan didepan gerbang sekolah dengan pandangan tertuju ke arah timur, berusaha mengetahui apa yang terjadi.
Saya kemudian mengalihkan perhatian kearah matahari yang aneh itu.
‘Astaga!!! Ternyata benar apa yang saya pikirkan, Ya Tuhan…Tuhan…bantulah kami Tuhan,,,,apakah sudah tiba saatnya, ampunilah kami Tuhan’
Sejenak saya hanya terdiam, terpaku melihat matahari yang bergerak turun mendekati bumi, pikiran saya melayang, pertama yang saya ingat adalah kedua orang tua saya, kakak-adik, sanak keluarga di kampung halaman saya, Flores, jauh di timur, apa yang terjadi dengan mereka?
Hati saya meringis, seperti tersayat.
KIAMAT,,,dan saya terpisah jauh dengan mereka….
Braaggkkkkhhh……sebuah sepeda motor menabrak bamper belakang sebuah mobil mengagetkan saya.
Refleks…..sayapun langsung naik dan berusaha berdiri diatas pagar sekolah, beberapa guru dan siswa-siswi hanya tertawa melihat tingkah saya.
Dengan sekuat tenaga dan rasa sedih saya lalu berteriak;
“Whooooiiiiiii……Heeiiiii….kalian semua, coba lihat mataharinya…lihat baik-baik,,,, perhatiin…mataharinya turun”
Serentak semua kepala mengarah tertuju ke matahari, dan merekapun menyadari ada yang aneh dan berbeda, mataharinya benar-benar bergerak turun dan mendekati bumi.
Sinarnya memancar terang, putih, jernih, dan sangat silau.
Semua pengendara yang masih terhalang macet di jalanpun berusaha memperhatikan.
Suasana lalu berubah jadi hiruk-pikuk, siswa-siswi berlari menyebar,
ada yang mengambil sepeda motor, berusaha keluar dari gerbang sekolah dan keluar dari kemacetan di jalan depan sekolah,
ada yang berlari kearah yang tidak jelas, sepeda motor dan mobil di tengah jalan pun berusaha berbalik arah namun tetap saja tidak mudah keluar kemacetan.
Saya masih berdiri tegak di atas pagar sekolah, berpegangan pada tiang pintu gerbang, dan hanya memandangi ramainya manusia yang hiruk-pikuk di sekitar jalan.
wwweeerrrrRRRRRGGGGHHH……
bumi menghentak….GEMPA
hanya satu goncangan namun sangat keras,
saya hanya melompat turun dan berdiam disamping pagar.
kaca Rumah Sakit Risa yang persis berada di sebelah sekolah pecah berhamburan, begitu juga kaca sekolah dan beberapa ruko yang ada di seberang sekolah….
Kali ini manusia yang berhamburan lebih banyak,
dari arah SPMK Kesuma yang berhadapan dengan RS. Risa siswa-siswipun mulai berhamburan,
sama halnya dengan pasien, dokter, perawat dan pengunjung RS. Risa.
Etah dari mana saja datangnya, tiba-tiba saja Jalan Pejanggik yang persis dihadapan saya berubah menjadi lautan manusia,
Mobil dan sepeda motor yang awalnya berusaha berbalik arah kini ditinggalkan pengendara dan penumpangnya.
Ada yang berlari diatas atap mobil, berusaha mencari tempat yang aman, entah kemana arahnya tidak jelas.
Semua menuju kearah barat, menghindari matahari yang semakin terang dan semakin panas.
Pak Vincent, Pak Rino, Pak Gede dan beberapa guru berlari kearah utara, meninggakan motor yang semula sudah dikeluarkan didepan gerbang.
Mereka menuju SDK dan TK yang tidak jauh diseberang jalan, berusaha menyelamatkan putera mereka.
Sementara Pak Barman, Om Rius, Mba Yuyun, Pak Sony, dan beberapa guru lainnya masih dengan kendaraannya berusaha menerobos dan mencari jalan keluar, melewati trotoar dan bahu jalan.
Sepertinya mereka harus menyelamatkan keluarganya yang masih dirumah, atau mungkin di tempat lainnya.
Sekolah sudah mulai sepi, hanya tertinggal beberapa siswa, guru dan karyawan yang masih bertahan,
entah karena mereka menggangap tempat ini masih aman,
entah menunggu diselamatkan, atau mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan,
namun semuanya terlihat sedih dan pandangan yang kacau.
Saya sendiri hanya berusaha menyingkirkan sepeda motor yang tergeletak di tempat parkir, membuka jalan bagi mereka yang membutuhkan.
Kadang saya menoleh kearah timur, memperhatikan matahari yang sudah tidak aneh lagi itu, tetapi malah semakin panas dan mendekati bumi.
WWWWEEERRRRRRRRRRGGGGGGGGHHHHH…….
bumi kembali bergoncang….
Kali ini lebih lama dan lebih keras,
Semua yang berdiri dihalaman sekolah langsung berlari keluar, menghindari gedung sekolah yang mungkin saja runtuh karena guncangan gempa.
Mba Indah, Bu Wirati dan anaknya, Pak Lalu dan beberapa siswa berlari menuju halaman parker Ruby.
Brrruggghhh…
RS. Risa roboh, diikuti gedung timur sekolah yang rata dengan tanah, lalu menyusul gedung utara yang menyisakan lantai satu.
Dijalan manusia sudah seperti barisan semut yang berlarian menuju ke barat.
Sedang saya masih tidak jauh dari gerbang sekolah, berlindung di balik sebuah pohon.
Saya terus menatap matahari, mencoba memahami dan mencari jalan keluar apa yang harus saya buat.
Namun alam tak dapat dilawan, sudah tiba waktunya…
dalam hati saya merenung
‘inikah yang disebut HARI KIAMAT??? Tuhan ampunilah kami umat-Mu’
saya duduk bersandar pada pohon tempat saya berlindung, sambil mengingat keluarga dan sahabat kenalan saya, entah seperti apa jadinya mereka, saya, kami semua.
Tiba-tiba saya teringat Pak Ketut, orang yang membangunkan saya tadi pagi,
‘di mana Pak Ketut???
Selama saya di gerbang Pak Ketut tidak pernah keluar,
Pak Ketut masih di sekolah,
Tidak…tidak mungkin…Pak Ketut pasti selamat’.
Pikiran saya mencoba menemukan dimana posisi Pak Ketut biasanya berada.
Saya lalu berlari kearah sekolah, kearah barat melewati kantin, terus kebelakang menuju dapur,
Pak Ketut tidak ada,
Saya menuju kehalaman tengah sekolah yang sudah porak-poranda, penuh dengan runtuhan gedung.
“Pak Tut…Pak Tut….”
Dengan suara yang masih cukup keras saya berusaha memanggil dan menemukan Pak Ketut.
‘mungkin di TU” pikirku.
Baru saja hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba dari timu asap mengepul dan api mulai menyala,
Mataharinya….
Mataharinya mulai membakar,
Tanpa berpikir panjang, saya berlari menuju ruang TU, melewati loby yang ternyata penuh dengan runtuhan lantai dua.,
Ternyata ruang TU-pun sama, dari luar terlihat didindingnya masih kokoh, namun didalam penuh dengan tumpukan reruntuhan lantai dua dan tiga.
‘Saya harus berlindung’
Hanya itu yang saya ingat,
Melihat cela dibalik reruntuhan sepertinya saya bisa menyelinap,
Dan akhirnya saya menemukan tempatnya, persis di samping tempat tidur saya tadi malam,
Dilantai penuh dengan batu, sedangkan dinding triplek penyekat roboh ke utara, persis tertahan diatas meja Mba Indah.
Saya mencoba menyelinap dan masuk kedalam cela diantara meja Om Rius dan Mba Indah.
Kursinya masih tertinggal dua, kursi Mba Indah dan Om Rius, tidak terlalu kotor, hanya sedikit batu dan pasir, sambil menunduk saya langsung kedua kursi itu dan merapatkannya.
Haahhhh….lumayan aman, setidaknya untuk tempat berlindung.
Walau hanya dengan dua kursi saya mencoba meletakan posisi tubuh agar sebisa mungkin nyaman.
Posisi yang pas, menghadap dinding triplek yang roboh, punggung dan kepala saya letakan diatas kedua kursi tadi. Untuk sementara tidak ada ancaman yang berbahaya.
Beberapa menit berselang,,,,
TIBA-TIBA…
***
“Bang…
“Bang..sudah jam 6 nih..” suara yang tidak asing itu membangunkan saya.
Masih dalam posisi tidur, mencoba menggerakan tubuh yang masih belum 100% sadar...,
Astaga!!!...
sakitnya badan saya, semalaman tidur hanya dengan dua kursi….
“makasih Pak Tut..” kataku perlahan.
THE END
*berdasarkan khayalan setelah melihat Sunrise, ditulis pada Pkl. 16.40 WITA 22 Sept – 23 Sept 2011 Pkl. 01.50 WITA*