Jumat, 23 September 2011

Ilusi Senja Tentang Perawan Bernama Sri Devi

(Oleh Dicky Christian Senda)

Pada dasarnya aku dilahirkan senja, makanya selalu jatuh cinta padanya.
mengingat dan melihatnya adalah menginginkan wajah yang bersahaja itu disapu angin
raksasa biar jadi lukisan emas berlapis ungu pupus yang kerap menawan bola-bola mata
dan menempatkannya pada bungkusan yang rasanya sama,
dengan desiran, aliran dan degupan yang sama pula

selalu disini. di atas bongkahan karang pejal kujilat habis pesonanya
menunggu hingga tiris cakrawala redup sehingga pada saat yang sama, aku bisa buru-buru menghidupkan
selubung-selubung ilusi tentang mercusuar putih kusam yang kesepian menjaga
yang berhalamankan guguran daun randu kering
suasana yang lebih cepat bikin hati haru biru
karena biasanya disitu perempuan muda berbando merah jambu bersembunyi dari nasib
yang tak sememesona senja di pelupuk mata bolanya
tentang teluk yang setia memanggil ikan-ikan segala rupa warna
yang bersekongkol dengan masa kawin untuk mendatangkan sekelompok paus kasmaran

ia kunamai perawan senja yang terbawa angin senja Lahore
jadilah ia senja dengan bando merah jambu yang tertawan angin dan gelap
jadi kunang-kunang bisu di sela waktu malam yang kian merayap
ia adalah kunang-kunang bisu berhidung panjang dengan lentik bulu-bulu yang rapi memagari kedua
bola matanya
tempat sepi larut bersama desir sederet lontar di tenggara teluk
gincunya tipis
setipis siklus reinkarnasi yang merayap bak bekicot dalam mimpi
dalam banyak selubuk sepi yang menusuk sembilu
pahit macam sedang memakan sebutir peria

dan ilusiku tentangnya
tak sampai pada pertanyaan siapa namanya
tapi kunamai ia Sri Devi (bagusan Parvati juga...)

karena tiba-tiba anganku hanya tentang wangsit yang turun dari lapisan ke tujuh
tentang si mata bola penjaga senja di bibir teluk
bertahi lalat besar di lengan kanan tempat tuah bermukim: tentang keselarasan hidup, tentang bayi-bayi yang
akan selamat karena mulut dan tangannya
karena tiba-tiba anganku hanya tentang jimat akar bahar dari puncak gunung seribu
di selatan teluk
yang kukira mampu menawar hatinya dari kefanaan lama
mungkin saja karena aku kunciannya
makanya sejak rupa wangsit itu deruku makin mengukir kekosongan
yang ia bilang semadi

di sana senja hampir roboh
biar gegas kuhirup saja
berharap kilau yang lebur tumpah dalam setiap nadi setiap yang hidup
lagi-lagi ini hanya tentang keselarasan hidup
tentang tangisan orok yang pecah tapi abadi
tak melulu termakan sepi

kukira kini namaku Arya Dewa

Teluk Kupang, 15 September 2011

1 komentar: