sebuah cerpen, karya Christian Dicky Senda
untuk MuDAers NTT Menulis
Suatu malam, di rumah tuanya yang berdiding pelepah lontar, pria 81 tahun itu bercerita tentang masa lalunya kepada ketiga cucu lelakinya. Sayup-sayup musik keroncong dari radio-tape butut terdengar dari kamar tidur sang kakek. Ketiga bocah itu pun tak kuasa menyembunyikan ekspresi kagumnya kepada sang kakek. “Disini tak ada tulang, tapi besi! Besi yang membuatku perkasa,” katanya bangga sambil menyingsingkan lengan baju. Kata-kata itu begitu merasuk otak kecil kami. Bayangkan jika cerita heroik semacam itu diceritakan oleh kakek tua delapan puluhan tahun dan ia sungguh nyata di depan kami. Waktu itu, ketika terjadi pertempuran di kota Semarang, lengan kanannya tertembus pelor Jepang. Nyaris buntung meski akhirnya sepotong besi kecil membaharui kekuatan dan semangatnya. Untung. Belakangan, bocah-bocah itu tahu, bahwa kakek mereka memang sakti karena kakaluk¹ yang dimilikinya untuk bertahan sebagai tentara di medan perang.
***
Meski berusia senja, kakek dan nenek masih betah tinggal di rumahnya sendiri ketimbang berkumpul di rumah ibu, anak perempuan mereka. Ibu pun tak memaksa. Toh, jarak antara rumah kami dan rumah kakek tak seberapa jauhnya, kira-kira satu kilometer jaraknya. Anak mereka satu-satunya yah ibu, untung saja Tuhan baik dan memberi mereka cucu yang banyak. Karena dulu ayah sering berpindah-pindah tempat tugas, anak-anak selalu dititipkan pada kakek dan nenek. Biar sekolahnya lancar, begitu alasan kakek. Setelah ayah pensiun, kami bisa selalu berkumpul dan sering-sering bertandang ke rumah kakek. Kami bahkan bisa bergiliran menginap di rumah kakek. Rutinitas yang menyenangkan bagi kami. Sungguh. Rasanya, cerita masa lalu kakek dan nenek tak ada habisnya untuk dibahas. Tanpa sadar, ada kebanggan mengendap di hati kami. Kelak, ketika kami besar, cerita-cerita lawas itu pula yang menjadi lonceng yang setia mengingatkan kami untuk optimis dalam hidup.
***
Nama kakekku Soleman. Lahir di sebuah lembah subur bernama Manesat Anen tahun 1909, delapan tahun setelah kelahiran Soekarno. Di sana, air berlimpah mengalir dari bukit-bukit kapur Mollo, dengan Mutis sebagai raja dari segala bukit. Kakek bercerita bahwa ia dilahirkan dibawah pohon tambaring² yang rindang lagi manis rasanya, kiu mina, orang Timor menyebutnya. Ayahnya, Leu Mnasi, dukun sakti bermata kucing yang rabun, selalu berdoa semoga kehidupan anaknya kelak seperti manisnya tambaring.
Soleman muda kemudian hijrah ke Kupang dan bergabung dengan kesatuan tentara Kerajaan Hindia-Belanda, het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau KNIL. Saat itu usianya 27 tahun. Tiga tahun kemudian, ia ditugaskan ke Magelang lantas pindak ke kota Semarang hingga akhirnya KNIL dibubarkan pada tahun 1950. Kakek pensiun.
“Waktu itu tanggal 26 Juni 1950, aku ingat betul hari Kamis, nenekmu baru saja pulang dari rumah sakit habis memeriksakan ibumu, Rika, yang lagi panas tinggi. Saat itu usia ibu 3 tahun. Situasinya memang sedang tak kondusif. Kakek memutuskan untuk pulang saja ke Timor,” Seperti biasa, kakek selalu bercerita dengan baiknya, seperti seorang aktor yang sedang bermonolog. Penuh ekspresi dan kami menikmatinya.
Nenekku, Yohana, sebenarnya nama barunya. Dulunya bernama Siti Aminah Binti Rajimin, namun setelah menikah dengan kakek, ia yang dulunya muslim, kemudian dibaptis dan berganti nama. Dulunya sewaktu di Semarang, nenek adalah wanita pekerja rumah tangga pada sebuah keluarga Belanda bernama Buurman van Vreeden. Tugasnya adalah mengasuh dua anak tuan Vreeden, Wilhelmina dan Ludwig, selain membuat roti.
“Selalu ada roti setiap hari” jelas nenek kepada kami. Itulah kenapa hingga kini, nenek paling piawai membuat berbagai jenis roti dan masakan khas negeri kincir angin itu.
***
Semarang, 21 Februari 1942
Dari berita di radio aku mendengar bahwa tanggal 20 Februari kemarin, 23 ribu tentara Jepang dibawah komandan Koichi Fukumi telah mendarat di mulut sungai Paha. Disebutkan bahwa sebenarnya Kupang sudah dijaga sekitar 600 tentara KNIL. Hanya 600 tentara saja untuk berhadapan dengan ribuan tentara Jepang? Oh, tidak. Tiba-tiba saja aku ingat keluargaku di Timor. Untunglah KNIL dibantu pasukan Sparrow Force dari Australia yang sudah tiba dua hari sebelumnya. Meski dua hari kemudian harus aku ralat sendiri hatiku, tak untung. Balatentara Sekutu sudah dipukul mundur Jepang sehingga kini makin terdesak di hutan-hutan di daerah Camplong, 30 kilometer dari Kupang. Padahal setahuku ada ratusan bungker yang tersebar Kelapa Lima, Oebufu hingga perbukitan di Penfui. Nyatanya itu tak cukup. Peristiwa Pearl Harbour mungkin telah membuat mereka besar kepala. Jepang bahkan menggunakan jalur udara dengan menerjunkan ratusan parasutnya ke Usau untuk memotong jalur mundur Sekutu. Aku makin kalut saja. Seperti mimpi buruk, kenyataan ini mungkin akan menghambat rencanaku untuk melamar Aminah, si tukang masak di rumah keluarga tuan Vreeden. Jika perang ini benar-benar meletus, mungkin takdir yang akan meralat semua rencana baikku. Kini, yang ada hanyalah bayang-bayang buram wajah aminah dan keluarga di Timor yang menari-nari dalam ketakutanku ini. Takut akan kehilangan orang-orang yang dicintai.
***
Memang terlalu lama untuk melewati semua ini, diantara ketidakpastian peperangan melawan Jepang. Kadang aku mengingat Aminah dan menuliskan semua perasaanku diatas kertas-kertas tipis lalu kutaruh didalam map coklat besar. Disana pula, aku tulis rupa-rupa rencana nekatku menikahinya dan kembali ke Timor.
Tanggal 20 Desember 1943, akhirnya aku menikahi Aminah yang sudah berganti nama menjadi Yohana. Tak ada resepsi istimewa. Aku menikah disaat lengan kananku ini sebenarnya belum pulih benar. Tuan Vreeden bisa datang sehari kemudian ke barak kami dan mengucap selamat kepada kami. “Wel gefeliciteerd! Selamat, yah,” katanya sambil terus membujukku agar istriku bisa tetap bekerja di rumah mereka. Si kecil Ludwig terus-terus menanyakan kabar Aminah istriku. “Ia sedang terserang cacar sekarang, kuharap kau mau mampir ke rumah, yah?” Sang tuan masih saja berharap.
Setelah dua bom atom jatuh di negeri mereka, banyak serdadu-serdadu pendek dengan topi anehnya itu mulai meninggalkan kota Semarang, dan aku malah hafal sekali dengan lagu Kimigayo. Lucu. 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Sebulan kemudian, lagi-lagi istriku mengalami keguguran. Dua kali sudah aku memupus kenyataan memiliki anak.
***
“Tanggal 23 Februari 1947, jam 5 pagi, nenek melahirkan ibu kalian di rumah sakit santa Elisabeth. Dua suster dari ordo Fransiskan yang baik itu yang membantu persalinan nenek,” kenang kakek. Sejam kemudian, seorang diantaranya menanyakan kepada kakek, “Siapa namanya?”.
“Elizabeth!” Kakek menyahut dengan sigap. Tanpa rencana, hanya detik itu yang menyadarkannya bahwa ia beserta istri dan putri mungilnya sedang berada di dalam sebuah kamar yang bersih di rumah sakit Elizabeth. Ia lantas merenung sejenak untuk mengingat lagi sebuah nama perempuan yang sudah ia simpan sejak lama. Aha, Ferderika. Mooi, indah. Ferderika Elizabeth. Dan bayi itu pun merengek seketika, seolah ingin mengiyakan bahwa benar itu namanya.
***
Berdasarkan keputusan Konfrensi Meja Bundar, KNIL dibubarkan kerajaan Belanda pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun. Mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serika (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Kakek kemudian bergabung dengan Apris lantas pensiun. Ia tentu masih ingat dengan keinginannya untuk memboyong nenek dan ibu pulang ke Timor. Pada Juni 1954 doanya terkabul. Dengan menumpang kapal Victory II mereka kembali ke Timor. Saat itu usia ibu baru 7 tahun.
***
“Aku senang akhirnya kau pulang, Sole,” Leu Mnasi begitu bahagia menyambut anak lelakinya. Ia bahkan terang-terangan memuji keberhasilan putranya meminang gadis Jawa. Ia membunuh beberapa ekor babi dan sapi untuk merayakan kepulangan anaknya, juga menantu dan cucunya yang cantik. “Kau juga yang empunya tanah ini, sawah dan kebun kelapa, kebun apel dan jeruk juga sapi dan babi-babi di kandang adalah juga milikmu,” Leu Mnasi selalu mempersiapkan harta warisan untuk orang-orang yang dikasihinya. Meski kelak, warisan itu pulalah yang mengakibatkan perpecahan di dalam keluarga kakek, karena selalu saja ada yang maruk diantaranya.
Tak betah di lembah Manesat Anen, akhirnya Soleman pamit pada Leu Mnasi.
“Aku harus pindah ke Kapan saja. Mungkin akan jauh lebih baik disana. Rika bisa bersekolah, apalagi Yohana kan pandai memasak, kami bisa saja mendirikan warung makan disana,”
“Aku mendengar, banyak papalele³ dari Kupang selalu singgah ke Kapan setiap minggunya untuk berburu sayur-mayur, buah dan bawang putih,” jelas Soleman pada ayahnya.
Hidup memang selalu manis baginya, semanis kiu mina. Semuanya mulus. Kelak, di kota Kapan, ia melihat matahari-matahari muncul dari rahim Rika, anaknya.
***
“Kau tahu Kimigayo?”
Kami hanya mampu menggeleng.
“Kimigayo wa Chiyo ni yachiyo ni ” ia mulai mendendangkannya.
“Sazare-ishi no Iwao to narite, Koke no musu made...”
“Apa artinya?” tanyaku
“Kira-kira artinya adalah sebuah harapan orang Jepang agar kekuasaan Yang Mulia berlanjut lama, sampai beribu-ribu generasi, sampai kerikil berubah jadi batu karang hingga diselimuti lumut”
Kelak, ia pun paham, tak semestinya mengingat lagu ini adalah sebuah kelucuan belaka.
Kau pun tau, doa dan harapan mereka sepanjang hidup Akhirnya, ia sendiripun mengakui kehebatan yang tercermin dari karakter para serdadu pendek itu. Jika kau ingin melakukan sesuatu, lakukanlah dengan segala daya dan upaya hingga batas terakhir kemampuanmu, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik. Gambaru. Dari kursi beranyamkan tali temali karet itu, ia menyihir bawah sadar kami.
Sudah jam sebelas. Aku masih mencium wangi minyak rambut Tancho dari sisinya.
“Mari tidur...”
Jogja, 20 April 2011
21:33 WIB
¹ Jimat
² Asam/asam Jawa,jenis yang ini berbuah kecil-kecil dan manis rasanya.
³ Sebutan untuk para pedagang yang biasanya berburu hasil-hasil pertanian dari kampung-kampung untuk kemudian dijual lagi di Kupang. Kebanyakan mereka adalah orang-orang suku Sabu atau Rote.