Jumat, 29 April 2011

Jendela

karya: Umbu Spiderno dan Christian Dicky Senda

dalam angan serupa senja, aku menulis;
semoga bertemu di jendela, kala kita renta
saat mata kita samasama coklat pupus.
sudah semestinya itu terjadi. 
jari jemari hati kita kembali melukis
lembaran silam yang paling manis, 
tentang sebuah rumah mungil 
dengan banyak jendela juga sebuah 
cerobong asap di atapnya.
 aneh, karena kita tak memilih 
satu pun pintu untuknya. 
karna kau dan aku tak butuh pintu. 
hanya merindu jendela 
yang aku bingkai dengan lafaz Tuhanku.
satusatunya yang menyerupai pintu hanyalah senyummu:
malaikat jatuh yg selalu ingin kubuka dengan kunci hatiku


Jogjakarta-Denpasar, 29 April 2011

Kamis, 28 April 2011

KALA LALU (sebuah puisi)


karya Umbu Spiderno dan Maria Pankratia
untuk MuDAers NTT Menulis



Lewat tengah malam
Saat suasana kelam
Hanya ada ratapan masa silam

Semua terasa suram
Berkhayalpun haram
Saat hati beku keram

Datang laba-laba hitam
Menawarkan kebisingan dan kesenangan yang diperam
Lampu kamar makin temaram
Diam-diam aku hanyut terus kedalam
Lempengan tabir hidup yang entah kapan tersulam

Dan ku memilih di kamar ini
Bercerita dengan bungkus rokok
pengat pengat harum air seni
sambil menunggu jago berkokok
membangunkan embun fajar
pudarkan siluet silam sangar
yang belum berhenti membakar

Pernah ada Sabtu yang jeli
Saat Perjumpaan dengan seorang sahabat hari
Dia kemudian tulus bertukar isi hati
Selorohnya tajam mengguncang nadi
'Kau perlahan Membungkuk
seperti hendak mencium tanah dan berlalu ke pojok
Napasmu terdengar gemuruh sesak
Bau tubuhmu makin gegabah dan goblok
Kau seperti Lansia di panti jompo
Pengap menunggu mati dan kadang bertingkah bodoh'

Kala kisah lalu benar benar menyengat
Sang Segala Sang diingat
Padanya ada harap berhenti disengat
Oleh badai masa lalu yang penat

Ada lembaran yang menanti aksara bercerita
Ada tenang laut menanti semburan kata

Kakipun merangkak rintih menuju ruang berdaun pintu kembar
Menyeruak duduk di atas lutut kasar
Dan hati langsung berteriak besar

“Tuhan…. Tuhan…..
“Bapa… bapa…
‘’Bunda.. bunda….

Ku berikan muara cair di mataku
Untuk membasuh lantaiMu…
Sebuah sogokan ampuh berbalut doa....


Waktu akan berputar putar
Cahaya “guru” akan berpendar pendar
Semangat akan menderu deru

Jika rasio menemukan kaki
Kemudian mengantarkan diri bertemu mimpi-mimpi

Untuk kesekian kali
Tiada lagi maki dan daki
Hanya ada ucap puji
Dan laku kata Terima Kasih

Saat kenyamanan tak terbeli itu merengsek halus
Saat ketentraman hati menggerogoti pilu kalbu yang tandus
Saat kerinduan yang memuncak akan kelegaan dan tawa lepas
Saat kekuatan diri berpijar seolah semburat senja di sore 

langit lazuardi yang membekas

sumber: www.dieselcrew.com
Membantu malam menemukan siapa lagi aku yang dulunya kuat dan keras

Saat itu aku berharap bisa kembali....


Denpasar, 28 April 2011

Selasa, 26 April 2011

Nafsuku Pada Sumba (sebuah puisi)

karya Umbu Spiderno
untuk MuDAers NTT Menulis

Aku sangat mencintai kekeringanmu
Ingin memeluk setiap ketandusanmu
bercinta dengan karang kokohmu
dan mencium bibir pantaimu


lekuk tubuh sandlewoodmu mempesonaku
membuatku selalu berhayal
beronani dengan kenagan masa kecil
menyemburkan sperma yang penuh nafsu tentang kelaparanmu


terimalah cintaku
peluklah aku dalam gelombang perbukitanmu
laksana payudara aphrodite
yang slalu telanjang tanpa hutan


aku sangat mencintaimu
bernafsu bila memikirkanmu
dan berhasrat bercinta denganmu
lepaskanlah seluruh baju mu
biar terlihat keaslian tubuhmu yang penuh borok
dan kau akan tau sebesar apa aku mencintaimu



home sweet home, 12 November 2009

Sabtu, 23 April 2011

MuDAers NTT Menulis: Seperti Cendana, Mari Wangikan NTT!


Beberapa orang teman bertanya kepada saya bagaimana caranya bergabung dengan kelompok MuDAers NTT Menulis setelah melihat postingan-postingan kami tentang gerakan baru ini. Saya pun tahu betul, mereka yang mengajukan pertanyaan adalah orang-orang yang juga sering menulis di facebook bahkan punya blog pribadi. Terima kasih banyak sejauh ini sudah ada banyak perhatian dan dukungan postif dari banyak teman MUDA NTT sendiri. Saya percaya di luar grup ini, ada banyak sekali anak MUDA NTT yang punya bakat menulis dan suka menulis. Kami bahkan masih baru tapi semangat ini sudah mengajarkan kami untuk memulainya dengan apa adanya. Toh masih ada banyak waktu kedepannya yang bisa kami gunakan untuk saling mendukung, saling belajar, membagi ilmu dan saling mengkoreksi satu sama lain. 

Kebetulan sekali bahwa jauh sebelum gerakan ini muncul, saya dan teman-teman di MuDAers NTT memang sudah saling kenal, bahkan dekat sekali. Misalnya, Maria Pankratia, Ecka Anastasi dan Doddy Nai Botha, saya mengenal mereka sejak SMA di Syuradikara Ende tahun 2002 dan saya tahu betul mereka adalah pribadi-pribadi hebat, juga yang punya kebiasaan baik yakni menulis. Maria, misalnya, yang dulunya paling aktif menghidupkan majalah dinding Syuradikara. Begitupula dengan kak Tuteh, yang awalnya saya kenal hanya lewat suaranya di radio Gomezone FM di Ende, belakangan ketika di Jogja, saat sedang nonton Kick Andy, nama Tuteh Pharmantara muncul disana. Saya kaget. Ini karena buku cerfet (cerita estafet) yang ia tulis bersama 3 orang teman di dunia maya diterbitkan oleh penerbit yang gak tanggung-tanggung besarnya, Gramedi Pustaka Utama! The Messenger, buku cerfet itu. 

Teman saya, Yoyarib K Mau, juga adalah penulis produktif terutama untuk topik-topik politik. Ada juga Abdul M Djou, sarjana dari fakultas sastra Undana ini adalah salah satu pegiat di komunitas sastra Rumah Poetica Kupang. Ia adalah penulis sastra Muda NTT yang hebat, paling tidak terlihat ketika saya membuka google.com, disana ada beberapa analisis atau kritik terhadap perkembangan dunia sastra di NTT dan ada namanya disana, yang mewakili penulis karya sastra muda, bersama Rene Patiradjawane, Charlemen Djehadael dari Rumah Poetica. Mereka bahkan disejajarkan dengan Maria Matildis Banda dan Mezra Pellondou. 

Nama lain yang turut mendukung misi MuDAers NTT Menulis, adalah Sandra Olivia Frans dan Eddie Djea. Sandra memang gak asing karena saya sudah mengenal nama itu bahkan sejak SMP ketika beberapa kali sama-sama mengikuti pekan ilmiah remaja se-kabupaten TTS. 

Kedepan, gak menutup kemungkinan ada lagi MuDa2 berikutnya yang bergabung. Dengan senang hati.
Saat ini, karena kami berada di kota-kota berbeda, puji Tuhan , dengan adanya fasilitas internet hal ini sangat membantu interaksi kami satu sama lain. Via internet kami melakukan yang namanya menulis estafet entah berdua atau borongan sekelompok he he. Dari Facebook atau chat box, dari sekedar obrolan ringan, siapa sangkat berujung ke sebuah puisi atau cerita pendek. Satu yang lebih penting yang saya rasakan, kami bahkan bisa saling memotivasi dan saling belajar dari gaya penulisan teman. 

Pada akhirnya, tak lupa juga berterima kasih kepada Komunitas Blogger NTT, yang sudah turut membantu lahirnya grup MuDA NTT. Hingga saat ini, Komunitas Blogger NTT tetaplah ibu dari grup MuDA NTT! 

Percayalah, akan ada Gerson Poyk atau Umbu Landu Paranggi berikutnya yang selalu mewangikan nama NTT, seperti cendana ia akan menebar pesonanya! Are You Ready??

Salam MuDA NTT!

Kamis, 21 April 2011

Soleman


 sebuah cerpen, karya Christian Dicky Senda
untuk MuDAers NTT Menulis

Suatu malam, di rumah tuanya yang berdiding pelepah lontar, pria 81 tahun itu bercerita tentang masa lalunya kepada ketiga cucu lelakinya. Sayup-sayup musik keroncong dari radio-tape butut terdengar dari kamar tidur sang kakek. Ketiga bocah itu pun tak kuasa menyembunyikan ekspresi kagumnya kepada sang kakek. “Disini tak ada tulang, tapi besi! Besi yang membuatku perkasa,” katanya bangga sambil menyingsingkan lengan baju. Kata-kata itu begitu merasuk otak kecil kami. Bayangkan jika cerita heroik semacam itu diceritakan oleh kakek tua delapan puluhan tahun dan ia sungguh nyata di depan kami. Waktu itu, ketika terjadi pertempuran di kota Semarang, lengan kanannya tertembus pelor Jepang. Nyaris buntung meski akhirnya sepotong besi kecil membaharui kekuatan dan semangatnya. Untung. Belakangan, bocah-bocah itu tahu, bahwa kakek mereka memang sakti karena kakaluk¹ yang dimilikinya untuk bertahan sebagai tentara di medan perang.

***

Meski berusia senja, kakek dan nenek masih betah tinggal di rumahnya sendiri ketimbang berkumpul di rumah ibu, anak perempuan mereka. Ibu pun tak memaksa. Toh, jarak antara rumah kami dan rumah kakek tak seberapa jauhnya, kira-kira satu kilometer jaraknya. Anak mereka satu-satunya yah ibu, untung saja Tuhan baik dan memberi mereka cucu yang banyak. Karena dulu ayah sering berpindah-pindah tempat tugas, anak-anak selalu dititipkan pada kakek dan nenek. Biar sekolahnya lancar, begitu alasan kakek. Setelah ayah pensiun, kami bisa selalu berkumpul dan sering-sering bertandang ke rumah kakek. Kami bahkan bisa bergiliran menginap di rumah kakek. Rutinitas yang menyenangkan bagi kami. Sungguh. Rasanya, cerita masa lalu kakek dan nenek tak ada habisnya untuk dibahas. Tanpa sadar, ada kebanggan mengendap di hati kami. Kelak, ketika kami besar, cerita-cerita lawas itu pula yang menjadi lonceng yang setia mengingatkan kami untuk optimis dalam hidup.

***

Nama kakekku Soleman. Lahir di sebuah lembah subur bernama Manesat Anen tahun 1909, delapan tahun setelah kelahiran Soekarno. Di sana, air berlimpah mengalir dari bukit-bukit kapur Mollo, dengan Mutis sebagai raja dari segala bukit. Kakek bercerita bahwa ia dilahirkan dibawah pohon tambaring² yang rindang lagi manis rasanya, kiu mina, orang Timor menyebutnya. Ayahnya, Leu Mnasi, dukun sakti bermata kucing yang rabun, selalu berdoa semoga kehidupan anaknya kelak seperti manisnya tambaring.
Soleman muda kemudian hijrah ke Kupang dan bergabung dengan kesatuan tentara Kerajaan Hindia-Belanda, het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger, atau KNIL. Saat itu usianya 27 tahun. Tiga tahun kemudian, ia ditugaskan ke Magelang lantas pindak ke kota Semarang hingga akhirnya KNIL dibubarkan pada tahun 1950. Kakek pensiun.
“Waktu itu tanggal 26 Juni 1950, aku ingat betul hari Kamis, nenekmu baru saja pulang dari rumah sakit habis memeriksakan ibumu, Rika, yang lagi panas tinggi. Saat itu usia ibu 3 tahun. Situasinya memang sedang tak kondusif. Kakek memutuskan untuk pulang saja ke Timor,” Seperti biasa, kakek selalu bercerita dengan baiknya, seperti seorang aktor yang sedang bermonolog. Penuh ekspresi dan kami menikmatinya.
Nenekku, Yohana, sebenarnya nama barunya. Dulunya bernama Siti Aminah Binti Rajimin, namun setelah menikah dengan kakek, ia yang dulunya muslim, kemudian dibaptis dan berganti nama. Dulunya sewaktu di Semarang, nenek adalah wanita pekerja rumah tangga pada sebuah keluarga Belanda bernama Buurman van Vreeden. Tugasnya adalah mengasuh dua anak tuan Vreeden, Wilhelmina dan Ludwig, selain membuat roti.
“Selalu ada roti setiap hari” jelas nenek kepada kami. Itulah kenapa hingga kini, nenek paling piawai membuat berbagai jenis roti dan masakan khas negeri kincir angin itu.

***

Semarang, 21 Februari 1942
Dari berita di radio aku mendengar bahwa tanggal 20 Februari kemarin, 23 ribu tentara Jepang dibawah komandan Koichi Fukumi telah mendarat di mulut sungai Paha. Disebutkan bahwa sebenarnya Kupang sudah dijaga sekitar 600 tentara KNIL. Hanya 600 tentara saja untuk berhadapan dengan ribuan tentara Jepang? Oh, tidak. Tiba-tiba saja aku ingat keluargaku di Timor. Untunglah KNIL dibantu pasukan Sparrow Force dari Australia yang sudah tiba dua hari sebelumnya. Meski dua hari kemudian harus aku ralat sendiri hatiku, tak untung. Balatentara Sekutu sudah dipukul mundur Jepang sehingga kini makin terdesak di hutan-hutan di daerah Camplong, 30 kilometer dari Kupang. Padahal setahuku ada ratusan bungker yang tersebar Kelapa Lima, Oebufu hingga perbukitan di Penfui. Nyatanya itu tak cukup. Peristiwa Pearl Harbour mungkin telah membuat mereka besar kepala. Jepang bahkan menggunakan jalur udara dengan menerjunkan ratusan parasutnya ke Usau untuk memotong jalur mundur Sekutu. Aku makin kalut saja. Seperti mimpi buruk, kenyataan ini mungkin akan menghambat rencanaku untuk melamar Aminah, si tukang masak di rumah keluarga tuan Vreeden. Jika perang ini benar-benar meletus, mungkin takdir yang akan meralat semua rencana baikku. Kini, yang ada hanyalah bayang-bayang buram wajah aminah dan keluarga di Timor yang menari-nari dalam ketakutanku ini. Takut akan kehilangan orang-orang yang dicintai.

***

Memang terlalu lama untuk melewati semua ini, diantara ketidakpastian peperangan melawan Jepang. Kadang aku mengingat Aminah dan menuliskan semua perasaanku diatas kertas-kertas tipis lalu kutaruh didalam map coklat besar. Disana pula, aku tulis rupa-rupa rencana nekatku menikahinya dan kembali ke Timor.
Tanggal 20 Desember 1943, akhirnya aku menikahi Aminah yang sudah berganti nama menjadi Yohana. Tak ada resepsi istimewa. Aku menikah disaat lengan kananku ini sebenarnya belum pulih benar. Tuan Vreeden bisa datang sehari kemudian ke barak kami dan mengucap selamat kepada kami. “Wel gefeliciteerd! Selamat, yah,” katanya sambil terus membujukku agar istriku bisa tetap bekerja di rumah mereka. Si kecil Ludwig terus-terus menanyakan kabar Aminah istriku. “Ia sedang terserang cacar sekarang, kuharap kau mau mampir ke rumah, yah?” Sang tuan masih saja berharap.
Setelah dua bom atom jatuh di negeri mereka, banyak serdadu-serdadu pendek dengan topi anehnya itu mulai meninggalkan kota Semarang, dan aku malah hafal sekali dengan lagu Kimigayo. Lucu. 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Sebulan kemudian, lagi-lagi istriku mengalami keguguran. Dua kali sudah aku memupus kenyataan memiliki anak.

***

“Tanggal 23 Februari 1947, jam 5 pagi, nenek melahirkan ibu kalian di rumah sakit santa Elisabeth. Dua suster dari ordo Fransiskan yang baik itu yang membantu persalinan nenek,” kenang kakek. Sejam kemudian, seorang diantaranya menanyakan kepada kakek, “Siapa namanya?”.
Elizabeth!” Kakek menyahut dengan sigap. Tanpa rencana, hanya detik itu yang menyadarkannya bahwa ia beserta istri dan putri mungilnya sedang berada di dalam sebuah kamar yang bersih di rumah sakit Elizabeth. Ia lantas merenung sejenak untuk mengingat lagi sebuah nama perempuan yang sudah ia simpan sejak lama. Aha, Ferderika. Mooi, indah. Ferderika Elizabeth. Dan bayi itu pun merengek seketika, seolah ingin mengiyakan bahwa benar itu namanya.


***

Berdasarkan keputusan Konfrensi Meja Bundar, KNIL dibubarkan kerajaan Belanda pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun. Mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serika (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Kakek kemudian bergabung dengan Apris lantas pensiun. Ia tentu masih ingat dengan keinginannya untuk memboyong nenek dan ibu pulang ke Timor. Pada Juni 1954 doanya terkabul. Dengan menumpang kapal Victory II mereka kembali ke Timor. Saat itu usia ibu baru 7 tahun.

***
“Aku senang akhirnya kau pulang, Sole,” Leu Mnasi begitu bahagia menyambut anak lelakinya. Ia bahkan terang-terangan memuji keberhasilan putranya meminang gadis Jawa. Ia membunuh beberapa ekor babi dan sapi untuk merayakan kepulangan anaknya, juga menantu dan cucunya yang cantik. “Kau juga yang empunya tanah ini, sawah dan kebun kelapa, kebun apel dan jeruk juga sapi dan babi-babi di kandang adalah juga milikmu,” Leu Mnasi selalu mempersiapkan harta warisan untuk orang-orang yang dikasihinya. Meski kelak, warisan itu pulalah yang mengakibatkan perpecahan di dalam keluarga kakek, karena selalu saja ada yang maruk diantaranya.
Tak betah di lembah Manesat Anen, akhirnya Soleman pamit pada Leu Mnasi.
“Aku harus pindah ke Kapan saja. Mungkin akan jauh lebih baik disana. Rika bisa bersekolah, apalagi Yohana kan pandai memasak, kami bisa saja mendirikan warung makan disana,”
“Aku mendengar, banyak papalele³ dari Kupang selalu singgah ke Kapan setiap minggunya untuk berburu sayur-mayur, buah dan bawang putih,” jelas Soleman pada ayahnya.
Hidup memang selalu manis baginya, semanis kiu mina. Semuanya mulus. Kelak, di kota Kapan, ia melihat matahari-matahari muncul dari rahim Rika, anaknya.

***
“Kau tahu Kimigayo?”
Kami hanya mampu menggeleng.
Kimigayo wa Chiyo ni yachiyo ni ” ia mulai mendendangkannya.
Sazare-ishi no Iwao to narite, Koke no musu made...”
“Apa artinya?” tanyaku
“Kira-kira artinya adalah sebuah harapan orang Jepang agar kekuasaan Yang Mulia berlanjut lama, sampai beribu-ribu generasi, sampai kerikil berubah jadi batu karang hingga diselimuti lumut” 

Kelak, ia pun paham, tak semestinya mengingat lagu ini adalah sebuah kelucuan belaka. 

Kau pun tau, doa dan harapan mereka sepanjang hidup Akhirnya, ia sendiripun mengakui kehebatan yang tercermin dari karakter para serdadu pendek itu. Jika kau ingin melakukan sesuatu, lakukanlah dengan segala daya dan upaya hingga batas terakhir kemampuanmu, bahkan yang terpahit sekalipun, untuk mencapai yang terbaik. Gambaru. Dari kursi beranyamkan tali temali karet itu, ia menyihir bawah sadar kami.
Sudah jam sebelas. Aku masih mencium wangi minyak rambut Tancho dari sisinya.
“Mari tidur...”

Jogja, 20 April 2011
21:33 WIB

¹ Jimat
² Asam/asam Jawa,jenis yang ini berbuah kecil-kecil dan manis rasanya.
³ Sebutan untuk para pedagang yang biasanya berburu hasil-hasil pertanian dari kampung-kampung untuk kemudian dijual lagi di Kupang. Kebanyakan mereka adalah orang-orang suku Sabu atau Rote.

Rabu, 20 April 2011

Dua Puluh Enam

cerpen estafet karya Ecka Anastasia (Ende) dan Christian Dicky Senda (Jogja)
untuk MuDAers NTT Menulis




“Selalu di ujung jalan itu, laki-laki tua
dengan keriput nyaris di sekujur wajah berdiri.
Hanya berdiri menatap sebuah tanah kosong yang
terbentang di depan matanya. Pada kedua tangannya,
sapu tangan biru tergenggam erat. Seolah itu bukan
saputangan, tapi permata biru yang mesti dijaga
dari pencuri nakal.”


Aku sudah sering mengamati laki laki itu dari tepi jalan yang berlawanan. Rumahku. Tiap tanggal duapuluh enam pada kalender matahari, laki-laki tua itu sudah ada disitu, dari subuh. Berdiri hingga tengah hari, kemudian pergi untuk kembali lagi jelang senja sampai tengah malam. Keesokan harinya laki-laki tua itu akan lenyap. Dan kembali lagi bulan depan, tanggal dua puluh enam. Kebetulankah?


Dua puluh enam. Mungkin tanggal keramat baginya. Aku menduga, hal ini tentu ada kaitannya dengan sebuah memori masa lalu yang mengaduk-aduk perasaanya. Mungkin itu sebuah pengalaman indah atau yang menyakitkan sekaligus, tapi seolah tak rela untuk lenyap begitu saja. Ah, aku terlalu banyak menduga. Mestinya aku sudah menemukan jawaban pastinya sejak lama, pasalnya kejadian ini bukan baru pertama kalinya aku ketahui. Aku ingat betul kejadian yang terjadi sehari setelah jamuan makan malam Natal tahun lalu di rumahku ketika kami hampir saja bertabrakan badan di pojok taman kira-kira dua blok dari rumahku. Aku yang sedang melakukan lari pagi buta itu pun tak menyangka akan bertemu laki-laki tua tinggi semampai yang berlawanan arah denganku di balik tikungan. Aku ingat betul, wajah pucat nan keriput dengan kantong mata cekung pernah mendiamkan ritme jantungku sepersekian detik. Horor pagi buta yang membuatku pucat pasi.


Kukira kota kecil ini tak punya tunawisma.


Laki laki itu pun tak tampak seperti tunawisma. Aku mengakui bahwa rupanya sedikut kusut karena keriput, dan kantong matanya yang cekung -mungkin karena digerogoti macam-macam penyakit orang tua- menegaskan profilnya yang kurus. Tapi pakaiannya terurus. Dia rapih juga bersih.
Tunawisma biasanya tak rapih apalagi bersih. Hanya satu masalahnya. Dia berdiri sendirian pada tanggal yang sama, yang kukira berasal dari kenangan masa lalu, di tepi lahan kosong itu. Menatap setiap sudut tanah, seolah sedang menghitung berapa biaya untuk membangun sebuah rumah masa depan yang megah. Sesekali mengitari, seolah menatap sebuah rumah kasat mata.


Masalahku juga cuma satu. Aku penasaran, namun enggan bertanya. Takut tebakanku meleset. Takut saputangan biru yang digenggamnya bak permata cuma saputangan tanpa kenangan. Takut mata cekung yang pernah membuatku pucat pasi, melompat dari kelopaknya untuk menelanjangi kenekatanku bertanya soal urusan orang lain. Tapi kali ini, tidak bisa tidak lagi. Aku sudah mempersiapkan diri untuk bertanya kepadanya. Setelah pada tanggal dua puluh enam desember lalu, sehari sesudah Natal, ibu yang datang berkunjung menggelengkan kepalanya sembari berujar:
“Tidak kenal. Mungkin orang stress”
“Yakin?”
“Kau pikir aku ini pikun?”
Aku bertanya pada ibu. Sebab rumah yang kini kutempati adalah rumah yang dulu ditempati seluruh keluargaku, sebelum ibu pindah menetap bersama kakak perempuanku di kota yang lain. Aku belum mampu mengurusinya dengan baik. Aku laki-laki. Perempuan akan lebih telaten dalam merawat orang lain, begitu alasan ibu. Setelah kurenungkan, mungkin itupula sebabnya, Tuhan lebih dulu mengambil ayahku saat aku berusia sembilan tahun, belasan tahun silam. Mungkin Dia tahu, jika ibu yang dipanggilnya lebih dulu. Aku dan kakak perempuanku tak akan terawat dengan baik, sampai kini kami balik merawatnya.


Ibuku sedikit pikun. Jawabannya tak bisa kupercaya sebagai sebuah kebenaran. Untuk mencari kebenaran, aku harus nekat menghampiri laki-laki tua itu. Sekarang. Dengan langkah perlahan, aku menatap lurus ke punggungnya yang sedikit bungkuk. Aku berjalan terus lalu berdiri tegak disampingnya. Kami sesama lelaki. Pantang bagiku untuk terlihat takut, meski hatiku kecut
''Ma...aaafkan aku soal kejadian kali lalu itu, pak...'' kataku dengan sangat gugup. kupastikan ucapanku dengan ayunan tangan kananku ingin bersalaman.


''Hhmm....'' katanya singkat tanpa menoleh sedetikpun. kutatap lagi sudut matanya. Sorotan mata yang kurasakan jauh menembus semak kecil di depan kami.


''Maafkan aku. aku cuma ingin mampir saja dan sedikit ingin tahu tentangmu. kupikir kau butuh teman ngobrol. Oya, besok ulang tahun ibuku. Kau bisa mampir dan makan malam bersama kami, disana…’’ Aku menunjuk ke arah bangunan dua lantai bergaya kolonial itu. Rasa gugup kadang membuatku nampak bodoh dan ceroboh dalam berkata-kata
Besok kan tanggal 27, gak mungkin dia masih mematung disini.


''Maaf? kenapa harus maaf? Seperti tajam dan agak meninggi.
Aku terdiam. Rasanya orang tua ini makin aneh saja.


Tiba-tiba ia mengajak bersalaman. Kulihat sorot matanya yang tajam, seperti harta karun yang tak terjamah. Banyak rahasia tersimpan di dalam sana, pikirku. Tangannya dingin sekali. Naluri penasaranku seolah terbangkitkan lagi. Tapi sesuatu yang aneh terjadi seketika. Ia menutup matanya sambil memegang tanganku erat-erat. Makin bergetar dan terasa dingin sekali. Kira-kira sepuluh detik ia memegang erat tanganku lalu menghempasnya kuat, eskpresinya kembali normal. Giliran aku yang makin pucat pasi.
Ingin rasanya aku pergi saja detik ini juga. Kejadian barusan makin mempertebal keyakinanku bahwa orang ini sungguh aneh.
Aku pun mundur dua langkah dan ingin pergi saja secepatnya dari situ. Tapi sesuatu kembali menghentikan niatku.


“Ken, aku melihat wajah murung wanita tua berbaju ungu…kukira ia menyembunyikan sesuatu di balik payudaranya. Banyak darah!. Ken, aku melihat akan ada tangisan…’’ Perkataan yang awalnya kencang dan berakhir sayup-sayup hampir tak kudengar.
Aku makin bingung dan memutuskan pergi meninggalkannya begitu saja. kurasakan denyutan di kepalaku kian membesarkan diameter kepalaku. Aku berlari kencang kembali ke rumah. Yang kuingat seperti mimpi yang menenggelamkanku diatar kasur. Rasanya pening.


***


Aku terbangun delapan jam kemudian. Apakah ini mimpi? Aku bergegas menuju jendela dari kamar yang berada di lantai atas, dari sana tentu akan mampu menjangkau tanah kosong dan pak tua tanpa nama itu. Tak ada seorangpun ada disana. Kulihat jam tanganku, sudah jam 10 malam dan ini masih tanggal 26! Oh, mungkin saja ia sudah ngantuk atau lapar dan kembali ke rumah entah berantahnya. Kenapa aku tak menguntitnya saja selama ini? Aku mungkin terlalu bodoh dan penakut.


Teringat ibu. Kenapa dengan ibu? Dari mana ia tahu kalau ibu suka sekali dengan warna ungu? Hei, ia memanggil namaku dengan jelas, Ken. Dari mana ia mengetahui ini semua? Apa ia hanya pura-pura berada di depan sana tapi ternyata ia sendiri adalah si licik yang kerap menguntit keluargaku? Apa ia penyihir jahat? Aku memang selalu khawatir dengan keluargaku.


Besok kakak perempuanku dan keluarganya akan tiba di rumah untuk merayakan ultah ibu kami. Aku jadi ingat lagi jika aku sudah mengundangnya untuk makan malam bersama. Sepertinya aku sudah melihat kesedihan itu di tepian sana…


Dua puluh tujuh. Aku menunggu setahun untuk bertemu. Apa ibu akan memakai baju ungu? Apa aku akan menatap payudaranya dan melihat darahnya merembes lantas histeris. Atau seperti biasa kami akan duduk kaku melingkari meja kayu dengan sepotong kue ulang tahun. Ah.. selamat ulang tahun ibu, ibuku. Aku membuka jendela. Menghirup udara pagi. Pukul empat dinihari. Rejekiku akan berlipat ganda jika aku bangun lebih pagi suara si jantan. Begitulah kata ibu. Kata yang sudah tak pernah kudengar lagi semenjak dia tinggal bersama Ida, kakak perempuanku, juga satu-satunya kakakku.


“Kau kakakku. Mengapa tidak tinggal di rumah ini saja. Mengapa membawa ibu? “
“Aku suka mencintai suamiku. Ibu tidak akan sanggup lagi mengurus diri sendiri. Kau belum sanggup mengurus ibu. Jelas?“
Cukup jelas nyonya muda.


Aku ingat betul keributan kami lima tahun silam. Sebelum kakak, dan akhirnya ibu pergi. Kakakku ingin pindah selepas menikah dan membawa ibu. Aku tak terima. Masih ada aku yang akan mengurusnya. Tapi kakakku akhirnya memenangkan ibu. Jujur, Aku merasa kehilangan. Untungnya mereka tak benar-benar pergi. Tiap Natal dan hari ulang tahunnya mereka selalu kembali kesini, rumah tua warisan almarhum ayah. Juga hari ini.


Lantai dan perabotan sudah bersih dari debu, seperti baru. Kakakku alergi debu. Jika dia bersin-bersin setiba disini, aku tak ragu dia akan mengangkat kopernya lalu pulang seketika. Sudah sering dia bertingkah begitu.
“Huh, makin kurus saja kau “
Seperti biasanya Kakakku bahkan enggan mengucapkan kalimat manis di awal pertemuan.
“Kamarku bersih seperti ruang tamu ini kan ?“
Dia mengira aku ini babu
“Ibu minta sekamar denganmu “
Ibu mengangguk. Ibuku dengan baju warna ungu. Kakakku berlalu. Aku menatap wajah ibu yang kian layu termakan usia ketika matanya menerawang.
“Dua puluh enam tahun, kamu, Ken”
“Selamat ulang tahun, ibu. Lima puluh tahun. Masih akan ada lima puluh selamat ulang tahun.”
Ibu tersenyum kecut. Aku merangkulnya. Senyum ibu memang selalu kecut setelah ayah tiada.


***


Tepat seperti yang kukira sebelumnya. Kami bertiga, aku, ibu dan ida kakakku, duduk melingkar pada meja kayu di ruang makan. Ibu menerawang. Ida sibuk dengan kue ulang tahun. Aku menatap ke luar jendela. Akankah dia datang. Suara ketukan dari pintu memecahkan kebekuan. Apakah itu dia? Sungguh sungguh pak tua itu?
Aku membuka pintu. Bukan dia. Tapi seorang perempuan seumuran ibu, sahabatnya, tante Maria.
“Ibumu ada, Ken?”


***


Tak pernah kubayangkan akan seperti ini sebelumnya. Bahwa tante Maria akan datang membawa sepotong surat yang diselipkan dalam sebuah saputangan biru, surat yang mengharu biru. Surat yang bercerita tentang asal usul, aku. Surat yang membuat mata kelam ibu menjadi sepucat langit abu-abu. Sejenak melihat saputangan biru itu, rasanya seperti sebuah de javu meski samar-samar.

Elizku,
Aku kembali. Setelah berpuluh tahun menghilang. Anakku itu, Ken, dia sangat tampan. Dia mewarisi kenekatan yang aku miliki juga sedikit keberanianmu yang bercampur keraguan. Aku menunggumu, namun kau tak juga muncul dari balik pintu. Kau harusnya tahu, kau tak pernah cinta laki laki itu, suamimu. Kau harusnya tahu, dua luka tembak pada dadanya tak cukup membayar malam kita yang terampas. Kau harusnya tahu, aku melakukannya untuk Ken, anakku. Untuk harga diriku. Untuk kehormatanmu. Untuk kita. Sebagai keluarga. Meski aku harus menunggu sekian lama di balik tembok dingin, penjara. Sepertinya sudah menjadi takdir bahwa harus ada berkali-kali tanggal dua puluh enam untuk sampai pada keberanianku mengirimkan biru ini padamu. Akhirnya aku bisa menyentuhnya lagi meski dalam sebuah perjumpaan dan percakapan yang sama sekali rahasia, kemarin. Tapi malam ini rasanya rahasia itu tak perlu lagi sekarat dalam bungkusan sapu tangan biru ini. Aku bukan lagi pria tua tanpa nama di ujung tanah lapang sana, tapi aku yang terlalu rindu untuk memeluk Ken, kebangganku. Aku kembali.

JANUS
***


Ibu tersedu, sementara aku rasanya ingin tidur dan tak pernah kembali bangun. Kali ini de javu itu benar-benar nyata, tak lagi samar. Rasanya dada ini kian sesak dan terdesak untuk siap meledak. Ida kakakku memelototi surat itu, dan tak henti-hentinya memberiku tatapan aneh dari sudut meja.
Raut kita memang tak sama. Kita hanya berbagi ibu, bukan ayah. Apa pedulimu?


Sementara Tante Maria cuma berkata, laki-laki itu, ayahku yang baru kuketahui namanya, menginap sementara di rumahnya.


****


Sebuah ketukan terdengar dari arah pintu. Ibu makin tersedu. Aku bingung. Ida bangun dan mendesis, kau anak pembunuh! Sungguh, aku tak ingin membuka pintu. Aku ingin tidur dan memeluk ibu, ibuku.


Ketukan itu terdengar lagi dan kami semua yang berada di ruang makan ini masih larut dalam kebisuan. Kulihat tatapan Ida makin mengkilat seperti pedang yang terhunus. Beranjaknya ibu dari kursinya sontak memecah kebisuan seketika. Tak ada yang melerai. Rasanya itu pilihan tepat untuk situasi seperti ini. Lama sekali kebisuan tercipta luar sana. Tiba-tiba aku menjadi sedikit khatawir dan tatapan mata pedang di depanku ini lantas membuyarkan hal itu. Samar-samar kudengar percakapan kecil dimulai di luar sana.


***
“Kenapa kau kembali?”
“Aku hanya ingin bertemu anakku, Ken”
“Kenapa baru sekarang? Kenapa harus dengan cara seperti orang gila di seberang tanah kosong sana?”
Si pria menunduk.
“Liz, maafkan aku…” parau dan dalam sekali.
“Sejak dulu pun, aku sudah memaafkanmu. Toh, itu juga salahku, yang sadar bermain api padahal sudah punya Ida dari John. Meski aku mengenalmu lebih dulu ketimbang mengenal John.”


“Tapi kau selalu bilang kau mencintaiku dan ingin bersamaku”


“Yah, aku sudah memikirkan sebuah perceraian namun sayangnya pelor keburu menembus dada John sebelum aku benar-benar melakukannya. Terlalu naif memang. Kau!”


Ia kembali diam. Dalam situasi seperti ini, yang terpenting adalah diam. Diam untuk menenangkan. Ia bahkan tahu bagaimana caranya untuk memenangkan hati wanita di depannya ini, wanita yang tak pernah sedetikpun ia lupakan, pikirnya. Dan, nyatanya masih ada seutas akar hidup di dalam dadanya yang mulai menunas bahkan di detik pertama ia membukakan pintu tadi. Seperti roh terhembus dari antara dua saluran di dalam hati mereka. Sesuatu yang becampur dengan kejujuran dan akhirnya merubah suasana rumah malam ini. Kadang berakhir dengan manis diluar kuasaku, dia atau siapapun manusia di dunia ini. Seringnya itu mewujud mimpi.


***

Mungkin malam itu perjamuan terindah yang aku dan keluargaku alami. Hidup kita memang sudah ada alurnya sendiri-sendiri. Dan seperti air, semua mengalir apa adanya. Melalui dan membentuk seturut apa yang sudah digariskan. Seperti juga yang terjadi kini. Sesuatu yang dulu terasa kosong di jiwa ini kini penuh sudah. Aku bahkan ingin mencium tangan ayah setiap saat. Aku bahkan baru tahu rasa dan artinya sebuah kehilangan, ketika sesuatu yang kudamba baru saja menyentuh jiwaku. Ayahku sendiri. Rasanya aku tak rela melepaskannya.


Mereka mungkin sudah ditakdirkan benar-benar akan bersatu meski hal itu baru kesampaian di usia senja. Dan sebenarnya hal ini kurang disambut meriah oleh kakakku Ida. Apa pedulimu? Toh dia selalu saja jadi si sulung yang egois.
Ibu akhirnya kembali ke rumahnya, tinggal lagi bersamaku dan ayah. 


Kebersamaan yang kelak menumbuhkan kepercayaan diriku: harusnya aku cepat-cepat saja melamar Deasy. Mereka butuh suara anak-anak di rumah ini. Cucu-cucu yang siap meramaikan senja mereka, dalam hati aku tersenyum.
Angin kencang menyibakkan tirai putih dari sebalik bingkai jendela, seperti sebuah misteri yang melayang, menyaru dalam dingin dan samasekali tak kupahami. Sesuatu yang mulai membusuk dan samar!


***

Malam ini kulihat sesuatu mengganjal di ruang makan. Tak ada orbolan panjang, tak ada tawa renyah atau kerlingan mesra antar ayah dan ibu. Teringat pula Ida yang sudah lama sekali tak menelpon.


“Ada yang ingin ayah bicarakan denganmu sekarang”


Aku tak bergeming sedetikpun. Kuturuti saja langkahnya. Sedangkan ibu tiba-tiba saja menghilang di balik pintu kamarnya.


“Apa kau masih ingat dengan apa yang pernah kukatakan padamu dulu tentang ibumu?”
Aku diam saja, setengah berpikir.
“Yeah, spontanitasku yang sempat membuatmu pucat pasi. Baju ungu…wanita tua…” lanjutnya.
Aku mengangguk yah meski tak sepenuhnya mengerti.
“Aku harap kau kuat. Melihatmu saat ini, seperti sedang bercermin, aku membayangkan diriku sendiri di detik-detik penangkapanku oleh pihak kepolisian, dulu.” Ia menyodorkan sebuah amplop coklat dengan kop nama sebuah rumah sakit.


Aku bahkan baru tahu rasa dan artinya sebuah kehilangan, ketika sesuatu yang kudamba baru saja menyentuh jiwaku. Ayahku sendiri. Rasanya aku tak rela melepaskannya. Aku hanya memikirkan hal ini.


Kubuka saja amplopnya dan beberapa detik kemudian yang kurasakan adalah kepalaku bak ruang kosong serba putih menyolok mata, membuat pening dan perih hingga pecahnya tangisan benar-benar mendarat di pundak ayah.


Ken, aku melihat wajah murung wanita tua berbaju ungu…kukira ia menyembunyikan sesuatu dibalik payudaranya. Banyak darah!. Ken, aku melihat tangisan…


Ia benar-benar melihat tangisan. Bahkan merasakan sendiri air mata anak lelakinya membasahi pundaknya.
Ibu benar-benar menyembunyikan rapi penyakit kanker di payudaranya dari aku dan Ida. Tapi tidak dengan ayah. Ayah sudah mendapatkan tanda itu dari banyak mimpi sejenis belakangan ini. Bahwa ternyata lorong hati mereka masih menyatu. Dan jika terjadi pada belahan jiwanya, ia sungguh percaya itu. Toh memang demikian adanya. Stadium empat yang diperkirakan sudah mencapai paru-parunya.


“Kau tahu kenapa aku suka mampir setiap tanggal 26?” tanyanya penuh selidik.
Aku menggeleng. Aku malas berpikir. Aku hanya ingat ibu.
“Tak ada yang spesial. Cuma kebetulan saja. Lagipula aku menyukai berbagai kebetulan dalam hidup. Tuhan pun mencintai kebetulan makanya diciptakannya kebetulan itu.” seloroh ayah. Seperti tertulis, jika kebetulan-kebetulan terjadi terlalu banyak dan cocok satu sama lain, apakah kita tetap percaya bahwa itu serangkaian kebetulan belaka?¹


“Kau lahir tanggal 26. Aku dan ibumu juga. Cuma beda bulan saja kita. Aku membunuh ayah Ida juga di tanggal 26. Aku melihatmu setiap tanggal 26. Akhirnya aku dan ibumu juga menikah di tanggal 26. Ah, apa lagi yah?” ia berusaha keras untuk memikirkan apapun terkait tanggal 26. Tapi aku tetap ingat ibu.
“Ayah, berapa lama lagi usia ibu?” Sebab aku tahu betul dalam kondisi stadium seperti itu memang hanya ada dua hal, mujizat dan kerelaan kita untuk melepasnya pergi.
“26 hari lagi..” selorohnya seperti baru saja tersambung dengan lorong hati ibu dan juga Tuhannya.




***

Jogjakata-Ende, 18 April 2011, 23:33 WIB


¹ Ayu Utami dalam novel Manjali dan Cakrabirawa, hal.18

Senin, 18 April 2011

Sesandu

Cerpen Gerson Poyk
Dimuat di Jurnal Nasional (05/16/2010)

Namaku Immanuel. Sejak kecil aku dipanggil Nuel. Aku lahir dari rahim seorang perempuan Rote, pulau paling selatan di republik ini. Ibuku kawin dengan seorang lelaki pedagang pakaian bekas berasal dari Sulawesi Selatan. Baru berumur tiga bulan, ayahku hilang ditelan ombak dan arus di selat Timor dan Rote, selat Pukuafu. Setelah berumur lima atau enam tahun, barulah aku bisa mengingat atau mengenang segala sesuatu.

Aku bisa mengenang ibu membawaku berjalan kaki dari kampung ke kampung, berjualan pakaian bekas. Kalau tidak dengan uang, maka pakaian bekas itu ditukar dengan jagung dan gula. Dalam perjalanan, kalau ibu membuat gula, aku diberi gula. Kalau aku haus, ibu membeli nira lontar dan aku minum sepuas-puasnya. Makanan yang paling aku suka adalah kue cucur. Itu pun bisa kumakan kalau pakaian bekas ibu laku. Akan tetapi makanan yang paling sehat adalah jaung tepung dicampur gula dan kacang ijo goreng kering tanpa minyak. Sering aku dan ibu kelelahan di perjalanan dari kampung ke kampung dan kalau sudah tak tertahan lagi, kami berbaring nyenyak di atas rumput kering di tepi jalan setapak, tidak peduli matahari membakar kulit kami.

Kesadaran kedua atau ingatan yang bisa disebut kenangan indah adalah ketika aku dibawa ke sekolah. Gembiranya luar biasa. Sayup-sayup dalam kenanganku ibu berkata, semoga anakku menjadi orang terkenal‘¦

Akan tetapi ketika sampai ke kelas empat, ibu meninggal dunia karena kanker paru-paru. Soalnya kalau ibu selesai memamah sirih, mulutnya diisi dengan tembakau yang tergantung-gantung di bibirnya, itulah kukira penyebab meninggalnya ibuku.

Pamanku datang dari Kupang menjemput aku karena di Rote sanak saudara sudah berpindah ke pulau Timor, bertani di pedalaman yang telah ada kampung-kampung Rote semenjak abad yang lalu. Ibu punya dua orang saudara, kakak perempuannya tinggal di Bali dan yang sulung, lelaki, tinggal di Kupang. Tanah saudara lelakinya seluas dua hektar dan di atas tanah itu ada banyak pohon lontar.

Mula-mula paman hidup sebagai penyadap lontar, memasak nira sampai menjadi gula lalu dipikulnya ke pasar di Kota Kupang. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia melihat daun lontar di pohon yang ditiup angin kemarau sehingga daun lontar itu seakan bergetar dan bernyanyi, maka idenya tergetar pula untuk membuat sesandu. Orang Jawa yang nama belakangnya selalu ada huruf ‘O‘™ suka menyebut alat musik itu sasando. Padahal orang Rote menyebut sesandu, bahkan dalam buku-buku tentang Rote dalam bahasa Inggris pun menyebut sesandu.

Pamanku bernama Eduard tetapi selalu dipanggil Edu. Paman Edu memang berbakat musik. Ia memainkan sesandu di pesta-pesta atau kalau tak ada pesta ia bermain sesandu sendiri berjam-jam. Akan tetapi setelah ia menjadi pengrajin atau pembuat alat musik itu, maka berjam-jam, berhari-hari ia sibuk membuat alat musik itu. Ada sesandu gong yang hanya memakai sembilan senar, ada sesandu biola dengan beberapa oktaf sehingga Mozart pun bisa dinyanyikan oleh alat musik etnik itu.

Aku menjadi kacungnya. Aku menjadi pemanjat pohon lontar untuk memotong daunnya, aku menggergaji kayu dan bambu, aku sering keluar membawa sesandu yang diborong orang, aku menjadi kemenakan yang paling disayang. Paman menyekolahkan aku sampai di kelas lima tetapi karena aku lebih senang menjadi pengrajin sesandu maka aku selalu bolos dan akhirnya putus sekolah. Dari sekolah formal aku masuk sekolah informal, sekolah sesandu. Akhirnya aku menjadi pemain sesandu dan sekaligus menjadi pengrajin sesandu. Kecil-kecil sudah bisa punya banyak uang. Selain penghasilan dari pembuatan alat musik sesandu, aku dikontrak oleh sebuah hotel berbintang di Kupang dan dengan demikian, aku tidak perlu susah-susah seperti teman-teman sebayaku yang berkantong kosong.

Akan tetapi kebanggaanku sebagai anak yang bisa memegang uang dengan mencari sendiri, hilang pelan-pelan. Ketika aku sudah berumur lima belas, aku sadar saat melihat teman-temanku yang bersekolah. Aku jadi malu karena aku anak putus sekolah di SD. Apalagi beberapa kali, kalau aku habis bermain sesandu, ada yang bertanya sekolah di mana. Seringkali aku menipu dengan mengatakan kalau aku mahasiswa. Sering para penanya menyambung; kuliah apa? Dan aku menyambung tipuku ; kuliah musik.

Tiba-tiba kakak ibuku datang berlibur dari Bali. Ketika ia mengetahui aku putus sekolah di kelas lima SD, ia mengomel. Mengomel pada paman, mengapa pendidikan formalku jadi telantar. Maksudnya mengapa pendidikanku telantar di masa sekolah ada di mana-mana. Lalu ia berkata, “Kau saya bawa ke Bali saja. Tinggal di Denpasar. Bekerja di hotel saya. Setiap malam kau bermain sesandu di restoran kita. Kau dapat gaji. Di siang hari kau harus bersekolah lagi, ya! Mula-mula ikut ujian Paket A, kemudian masuk SMP dan seterusnya sampai jadi sarjana!”

Bukan main girangku.

“Hei dengar. Zaman dulu tak ada sekolah sebanyak ini sehingga saya, ibumu, dan pamanmu tidak bisa bersekolah dengan baik. Tapi sekarang, sekolah di depan mata. Hanya beberapa langkah berjalan, sampailah ke sekolah,” kata kakak ibuku.

Maka setelah puas berlibur di Rote, ia kembali ke Kupang, lalu kami berdua terbang ke Bali dengan membawa beberapa sesandu dan beberapa alat musik lainnya. Alat musik etnik Rote seperti gong dan tambur. Kami juga membawa beberapa karung dendeng asap yang disebut daging se‘™i. Tidak ketinggalan asam Jawa yang disebut tambring timor yang tumbuh liar di padang sabana.

Di Denpasar, aku kagum luar biasa atas perkembangan kakak ibuku. Kakak perempuan ibuku, tanteku, bibiku, budeku! Kini dia telah memiliki sebuah bangunan besar, pabrik garmen dengan seratus tukang jahit. Laba yang diperoleh dari pabrik garmen itu ditanam ke sebuah hotel yang dilengkapi kolam renang. Hotel itu juga memiliki sebuah restoran. Di restoran itu ada sebuah arena untuk musik dan berdansa. Luar biasa.

Sebelum bermain musik, aku disuruh membuat SIM. Walaupun ia sudah mempunyai sopir pribadi, ia ingin agar aku bisa membawa mobil untuk urusan ke sana kemari termasuk pergi dan pulang sekolah.

Usaha tanteku dimulai kira-kira bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Kalau ibuku mulai dengan pakaian bekas berjalan ke sana ke mari, masuk kampung keluar kampung maka tante memulainya dari sebuah jarum. Bukannya jalan ke sana kesini tapi hanya duduk sambil menyulam sarung bantal. Mula-mula dua sarung bantal, dan dua sarung bantal itu dibeli oleh seorang nyonya, tetangganya. Nyonya tetangga itu memperlihatkan kepada seorang turis Belanda. Turis Belanda itu tertarik lalu memesan beberapa lembar. Kemudian, sepuluh, lalu dua puluh, lalu seratus, dua ratus, lalu seribu. Dengan demikian, tanteku, bibiku, budeku memesan mesin jahit, mesin untuk sebuah perusahaan garmen dan butik. Mula-mula kecil, kemudian besar dan makin besar saja! Tanteku selalu berbangga, “Saya ini putus sekolah di kelas satu SD, tetapi itulah, dengan memulai dari sebuah jarum, sampai mempunyai pabrik dan hotel.”

Aku berpikir, pamanku juga begitu. Dia mulai dengan sebuah golok dan sebuah pisau, sebuah gergaji kecil, sebuah bor kecil. Dengan beberapa biji alat yang kecil itu, ia bisa memiliki sebuah bengkel pembuatan sesandu.

Hampir seluruh keluarga dari pihak ayah dan ibu sudah bermigrasi ke luar pulau. Hal itu terjadi sedikit demi sedikit ketika terjadi musibah besar dalam keluarga kami. Salah seorang kemenakan kakek membuat seluruh keluarga malu karena ia memberontak terhadap adat. Ceritanya menyedihkan. Ketika sepupu ayah melamar seorang gadis Rote, orangtua si gadis menuntut belis (emas kawin) terlalu banyak; empat puluh ekor kerbau, empat puluh sapi, empat puluh kuda, empat puluh gram kalung emas, dan uang empat puluh juta! Pihak keluarga sepupu ayah, termasuk ayahku memohon supaya emas kawin dicicil selama empat puluh tahun, sesuai dengan adat Rote. Tetapi pihak si gadis menolak. Harus kontan. Hal itu tidak mungkin. Pihak pria hanya memiliki sepuluh mamar (kebun tanaman keras) dan sejumlah sawah ladang tetapi tidak punya kerbau dan sapi sebanyak itu.

Karena lamaran ditolak, tidak disangka-sangka, pada suatu malam sepupu ayah membawa parang, membunuh empat puluh keluarga dari pihak tunangannya, termasuk tunangannya. Terjadi kehebohan besar. Pulau Rote jadi terkenal sebagai pulau pembunuh. Amat memalukan.

Demikianlah, maka untuk menghindar dari pembalasan dendam, maka sanak keluargaku pindah ke pulau Timor. Kebetulan pulau Timor adalah pulau tanah kosong yang telantar. Orang asli Timor suka tinggal di tempat tinggi, di lereng dan puncak bukit berangin kencang, sehingga tidak ada nyamuk. Orang Rote tidak bisa terpisah dari mata air dan sungai. Dengan air kekayaan datang berlimpah. Mereka membuat sawah, menanam pohon-pohon keras seperti kelapa, nangka, sukun, pinang, dan sebagainya. Kebun tanaman keras itu disebut mamar.

Jadi mamar adalah kebun ekologi. Sering mas kawin atau belis dalam bentuk mamar. Satu atau dua mamar yang luas bisa “ditukar” dengan seorang gadis. Keluargaku yang pindah ke Timor jadi makmur sejahtera karena memiliki mamar, sawah, ladang, dan ternak kuda, sapi, serta domba. Jangan ditanya ayamnya, banyak. Namun ada juga orang Rote yang berpindah ke Timor sangat nakal. Sapi, kerbau, dan kuda milik orang Timor yang terlepas begitu saja di padang penggembalaan selalu turun ke mata air dan sungai untuk minum. Diam-diam para manusia Rote yang nakal itu membuat stempel besi berhuruf ‘R” lalu stempel itu dibakar, kemudian distempel ke pantat hewan milik orang Timor yang datang minum itu. Jadilah hewan-hewan itu milik orang Rote. Untunglah aku tidak tinggal di kampung Rote itu walaupun aku pernah diminta untuk menjadi gembala.

Tanteku, bibiku, budeku juga diajak tinggal di kampung Rote di tengah padang sabana. Belum lama tinggal di sana, ia keburu dilamar seorang tentara asal Bali. Aku berterimakasih pada suaminya. Bukan saja aku, tetapi seluruh keluargaku berterimakasih pada suaminya karena walaupun isetrinya hanya tamatan kelas satu SD, dengan tekun diajarinya berhitung sehingga aku menjadi kagum pada tanteku karena ia bisa berhitung, menambah, mengurangi, membagi, dan sebagainya. Memang, tanteku berbakat matematika. Kepalanya adalah komputer. Itulah yang menyebabkan ia menjadi seorang pengusaha yang terhitung sukses. Walaupun ia cuma sampai di kelas satu sekolah formal tetapi karyawan yang tinggal dengannya, jika sudah menikah akan berkata bahwa mereka tamatan akademi pariwisata. Mengapa? Gadis-gadis yang tinggal dengannya akan menjadi isteri yang sangat mahir dan telaten mengurus rumahtangga.

Tanteku bercerita tentang masa remajanya. Seorang nyonya kontrolir Belanda (kini bupati), mengumpulkan gadis-gadis remaja, mereka diajari menjahit, menyulam, mencuci pakaian, kelantang pakaian putih yang disabuni lalu digelar di lapangan rumput agar putih bersih, menyeterika, melipat dan menyusunnya di lemari. Mereka diajari seni menangani dapur. Dapur harus bersih. Piring mangkuk dicuci bersih lalu diletakkan di rak secara teratur. Lemari makan harus bersih, tidak dikeroyok rayap dan lalat, tembok dapur harus putih bersih, meja makan harus disikat dengan sabun dan air. Cara mengatur meja, piring, sendok, garpu, serbet, semuanya harus tertata indah. Air minum harus dimasak, sayur mayur, ikan, daging harus dicuci bersih dan tidak lupa lantai rumah harus dipel, kasur harus dijemur setiap minggu dan seterusnya. Pendeknya sebuah rumahtangga harus diurus seperti mengurus hotel berbintang.

Gadis-gadis itu akhirnya dilamar oleh para guru, pegawai kantor, polisi, tentara dan pengusaha. Itulah gadis-gadis asuhan nyonya kontrolir. Di antaranya tanteku. Walaupun ia putus sekolah di kelas satu SD tetapi pengetahuannya mengenai pengurusan rumahtangga setingkat dengan Sekolah Kepandaian Putri. Bukan pendidikan formal, tetapi pendidikan non formal, pendidikan di luar sekolah formal, pendidikan permagangan.

Melihat orang Papua yang masih memakai koteka dan hidup di hutan, tanteku terbang ke sana dan membawa pulang sepuluh anak angkat untuk ikuti pendidikan permagangan di perusahaannya. Ia mendidik mereka mandi tiga kali sehari pakai sabun, bagaimana berpakaian, bagaimana cara makan di meja makan, dan sebagainya. Karena kayu terlalu banyak di Papua maka tanteku membuka sebuah bengkel. Mereka belajar membuat honai modern yang bersih dan sehat. Mereka dianjurkan untuk nantinya membuat sendiri rumah di atas lahan yang berada di bawah mata air yang bersih, membuat WC yang bersih memakai tempat buang air leher angsa dan sebagainya. Mereka diajari membuat kincir air yang memutar dinamo, juga kincir angin untuk memompa air sumur atau sungai. Pendeknya tanteku mendidik mereka untuk menjadi pemimpin desa, kalau perlu menjadi camat, bupati, dan sebagainya.

Tanteku selalu menarik nafas, berkata, kalau di tiap kabupaten ada nyonya bupati yang meniru nyonya kontrolir itu, maka orang Papua tidak sampai satu abad akan berpendidikan seperti orang dari negeri yang sudah maju. Itulah tanteku, perempuan desa yang mulai berusaha dari jarum, dari selingkar sulaman. Tanteku putus sekolah formal di kelas satu sampai menempuh pendidikan non formal luar sekolah sehingga bisa memiliki sebuah pabrik garmen dan sebuah hotel.

Setiap pagi aku bermain sesandu di restoran hotel milik tanteku. Siang harinya aku dibiarkan tidur sampai jam sepuluh. Bangun dari tidur yang menyehatkan, aku mandi lalu menolong beberapa pekerjaan ringan, kemudian makan siang dan bersiap-siap ke sekolah. Mula-mula aku lulus ujian paket A, sehingga aku bisa masuk SMP. Dalam tiga tahun lagi aku menyelesaikan SMA-ku. Tanteku menganjurkan aku untuk menjadi sarjana musik. Singkat cerita aku lulus sebagai musikolog.

Tugasku di hotel tanteku masih seperti biasa. Bermain sesandu sambil bernyanyi. Saat itulah, ketika aku sedang bermain sasandu, tiba-tiba seorang wartawati Amerika memintaku untuk diwawancara. Oh, aku gembira sekali. Dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Lalu tidak lama kemudian wartawati itu membawa suratkabar New York Times, koran dunia yang sangat terkenal itu. Ada wajahku di sana, ada sesandu kesayanganku. Ada kalimat berbunyi, “Aku bermain dengan seluruh jiwa dan ragaku. Aku menjadi musik dan musik menjadi aku.” Aku merasa bukan aku yang bermain musik melainkan malaikat surgawi, Dewi Musik. Setelah sadar kadang-kadang aku tidak bisa lagi bermain seperti itu.

“Barangkali Dewi Musik lagi gambek .” Sang wartawati tertawa.

Karena koran dunia itu, aku dikenal dunia pula. Tiba-tiba ada tawaran dari sebuah universitas di Amerika untuk mengajar. Mengajar sesandu di departemen musik etnik. Oh Tuhan, syukur Tuhan. Tanteku memeluk aku, mencium aku sambil menangis karena gembiranya.

Aku menangis tersedu-sedu karena gembira pula. Karena jalan hidupku begitu mulus diciptakan Tuhan. Aku merasakan bahwa namaku memang benar. Immanuel berarti Tuhan beserta kita. Ya, Tuhan selalu beserta Nuel. Nuel! Tuhan selalu bersamamu Nuel, kataku.

Terbang di atas lautan Pasifik, melayang di atas dataran awan bergumpal, aku tak dapat menahan airmataku. Aku mengenang ibuku penjual pakaian bekas keliling kampung. Aku mengikutinya berjalan kaki telanjang. Aku ingat akan kue cucur, sepotong kue cucur. Air mataku mengucur.

“Anda sakit?” tanya tetangga yang duduk di sebelah kananku. Seorang gadis.

“Tidak. Semacam homesick,” kataku.

Ia menyorong tisu tapi airmataku mengalir terus, menitik terus karena tiba-tiba aku mengingat pondok kecil yang dibuat ayahku setelah kami lari dari dusun karena pembunuhan empat puluh orang itu. Ayahku membuat sebuah pondok berdaun kelapa. Di dalamnya ada sebuah bale-bale tempat kami tidur. Tidak ada kursi melainkan beberapa buah batu besar untuk duduk-duduk. Waktu ayah tenggelam di selat Pukuafu, ibu tidak punya uang. Untuk makan malam, sore-sore, aku dan ibu ke pantai ketika laut surut. Kami memunggut kerang, memetik rumput laut yang dalam bahasa Rote disebut latu. Ada kepiting, ada udang, ada ikan, dan gurita remaja.

Aku mengenang pasir putihku yang selalu dijilat-jilat ombak. Di ujung lidah-lidah ombak di bawah pasir yang halus, ada berpuluh kerang di bawahnya. Kalau terinjak maka mereka menyemprotkan air sehinga aku berhenti dan mengorek pasir, memungutnya satu demi satu seperti makan kacang goreng saja. Setelah kenyang ibu telah siap dengan makanan laut satu keranjang penuh. Pulang ke pondok daun kelapa kami, ibu memasak makanan itu dan karena tak ada uang untuk membeli beras, pengganti nasi kami minum air gula lontar. Lumayan. Setelah kenyang aku melompat ke bale-bale dan tidur tertelungkup tanpa bantal. Bangun pagi-pagi karena terlalu banyak asam urat di tubuh, leherku linu kalau menoleh ke kiri dan ke kanan. Mengenang itu, aku menggeleng-geleng kepala beberapa kali. Leherku tidak linu ketika menoleh ke jendela, memandang gumpalan awan di bawah sana. Sayup dalam kenangan ada pantai di mana aku dan ibu memungut kerang ketika laut surut.

“Anda ke New York?” tanya gadis di sampingku.

“Tidak. Hanya di Los Angeles,” jawabku.

“Urusan bisnis?”

“Tidak. Saya mengajar di sana, di universitas.”

“O, profesor tamu,” katanya.

Perkenalan itu membuat aku bersahabat dengannya. Suatu hari ketika ada hari raya Home Coming, aku diundang ke rumahnya yang terletak agak di luar kota, di sebuah kota kecil. Ampun, ampun, rumahnya bak istana. Ayahnya seorang profesor fisika. Malam itu aku menginap di rumahnya, akan tetapi ketika berbaring di kamar mewah di rumah itu, aku membayangkan gubuk daun kelapa, bale-bale, berkeliling dengan ibu, berjalan kaki tanpa sepatu, makan kue cucur, minum air gula nira‘¦oh, walaupun mengantuk berat, aku masih menyebut namaku. Immanuel, Tuhan beserta kita, Nuel, Tuhan besertamu sampai di Amerika ini‘¦lalu aku terlelap dalam irama sesandu.***

Depok, 12-12-2009