Senin, 16 Mei 2011

Cerita Bata

 Sandra Olivia Frans untuk komunitas sastra Daun Lontar dan forum Mudaers NTT Menulis


Ini hanya ungkapan hati sebuah bata yang kutemukan teronggok, dia sudah tak lagi berwarna merah bata sebagaimana seharusnya. Tidak lagi berbentuk padat dan kotak. Dia nyaris hancur.

Susah payah dia bercerita. Kadang meloncat loncat arah ceritanya. Kadang dia terdiam seolah memikirkan banyak hal. Kadang dia tersenyum mengingat semua kenangan. Dan sempat ku tangkap getar sedih bercampur amarah dari suaranya ketika menceritakan bagaimana dia rusak dan terlempar dari bangunan.

Aku tak pernah meminta akan ditempatkan di mana. Pikirku semua gedung sama saja. Fungsiku sama saja dimanapun aku ada. Sehingga ketika aku diangkut serta disusun disini aku tak ada perasaan apa apa. 

Ruangan tempat aku ditempatkan adalah ruang paling luas dalam gedung ini. Bentuknya memanjang. Pintu utamanya besar. Jendelanya banyak. Di dalam ruangan itu ada bangku bangku panjang berbaris menghadap ke depan. Dan di paling depan dibagian tengah, lantainya agak meninggi dan ada semacam meja tinggi. Di tembok di belakang meja tersebut di pasang sebuah kayu seolah sebagai hiasan utama. Kayu? Ya benar. Seperti dua kayu yang saling menyilang. Kayu yang panjang memanjang dan kayu yang pendek melintang pada seperempat bagian atas kayu yang panjang.
Ilustrasi: flickr.com

Ruangan ini tak selalu ramai setiap hari. Paling ramai hari minggu. Saat itu, mulai pagi akan datang banyak orang. Mereka datang bersama keluarga. Ada juga yang bersama teman-teman, ada juga yang sendiri. Pakaian mereka rapih. Rambut mereka dirapihkan dengan baik, memakai sepatu dan membawa sebuah buku tebal. Anehnya mereka tak banyak bicara di gedung ini. Mereka masuk, mencari tempat duduk diantara bangku bangku panjang itu, menundukkan kepala seraya menggenggam tangan. Setelah itu mereka diam menunggu. Hanya sesekali bercakap. Lalu ada seseorang datang dan berdiri di balik meja tinggi tersebut, kemudian berbicara dengan lantang dan semua yang ada memperhatikan dia.

Apa yang mereka lakukan di ruangan itu?
Aku tak begitu mengerti, yang kulihat mereka banyak bernyanyi, kemudian dipimpin oleh orang yang didepan mereka menundukan kepala, sedangkan orang tersebut mengucapkan kata-kata. Yang kelak ku tahu, mereka menyebutnya doa.

Beberapa minggu berjalan, barulah aku menangkap sesuatu. Ritual hari minggu itu adalah tentang seseorang. Mereka menyebutnya Tuhan. Rangkaian acara selama dua jam di hari minggu itu adalah tentang Dia. Nyanyian mereka, doa mereka, dan khotbah yang disampaikan orang dibelakang meja tinggi itu.  Kadang ada yang maju dan menyanyi di depan, bisa sendiri, berempat, atau berkelompok dengan memakai baju yang sama. Suara mereka merdu. 

Yang ku tunggu adalah di akhir acara. Ketika mereka semua berdiri dan menyalami satu sama lain, seraya berucap 'Selamat Hari Minggu, Tuhan Berkati'. Ahh betapa damai melihat mereka rukun seperti itu. Sukacita terpancar dari muka mereka. 

Sepertinya itu adalah kegiatan rutin mereka setiap minggu. Ruangan ini selalu ramai setiap minggu. Kadang ada acara lain yang khusus. Misalnya pada bulan desember. Ruangan ini dihias dengan cantik, dominan warna merah dan hijau. Dipinggir ruangan ditempatkan sebuah pohon cemara tinggi. Dibalut oleh lampu warna warni, digantungi hiasan macam-macam, atasnya di pasang bintang keemasan. Lalu ada semacam acara perayaan. Anak-anak kecil akan memainkan drama. Lucu dan menggemaskan. Lagu lagu mereka bertemakan kelahiran seseorang yang kalau aku tidak salah bernama Yesus. Di puncak acara mereka akan mematikan seluruh lampu dan menyalakan lilin di mulai dari orang pertama di depan sampai seluruh orang dalam ruangan menyalakan lilin. Kemudian dengan syahdu mereka menyanyikan lagu merdu bertemakan malam, dan mereka berdoa.

Ahh temanku, ada banyak sekali cerita tentang ruangan ini. Semuanya baik-baik saja. Sampai hari ini. Ketika kudengar di luar ada ribut ribut. Lalu sekawanan orang masuk, aku tak mengenali wajah mereka. Mereka berteriak teriak tak jelas seolah sangat mengamuk. Mereka membanting bangku bangku panjang itu. Meja tinggi di depan mereka tendang dan menghancurkannya. Kemudian kayu yang menjadi hiasan utama itu, mereka turunkan dan patahkan. Ada yang berusaha menghentikan mereka dan dia dipukul tanpa ampun. Salah seorang dari mereka membawa jerigen dan menumpahkan isinya di sekeliling ruangan. Dan mereka serempak meninggalkan ruangan, ada yang menyalakan api.

Tak sampai lima menit ruangan ini penuh api. Api mulai menjalar ke tubuhku tanpa dapat ku tahan. Aku menangis. Bukan karena sakit, tapi karena aku sedih memikirkan perasaan orang orang yang setiap minggu ada di ruangan ini. Aku tahu, ada yang menganggap tempat ini lebih dari rumah mereka sendiri. Aku saksi mati atas keterikatan mereka terhadap tempat ini.  Gedung ini penuh kasih jika kau dapat merasakannya. 

Entahlah, aku tak mengerti mengapa gedung ini dirusak dan dihancurkan sehingga aku terpisah. Aku hanya sebuah bata, yang kata orang hanya benda mati. Aku yang benda mati saja dapat merasakan kesedihan mereka, lantas bisakah kamu membayangkan perasaan mereka yang mempunyai gedung ini. Mereka kecewa, mereka menangis, mereka bersedih. Yang ku tahu mereka akan tetap berdoa. Walau tersakiti mereka akan tetap menundukan kepala dan mengucapkan doa.

Ahh semoga mereka dikuatkan oleh Seseorang yang mereka sebut Yesus.

Sampai disini batu bata diam. Diam dan tidak berkata lagi. Maka tahulah aku, curhat nya sudah berakhir.  Aku menyimpannya dengan hati hati. Sambil termangu. Sambil berdoa.

Konon gedung itu bernama Gereja.

8 Feb 2011

Tulisan sederhana buat mereka yang hari ini tersakiti, yang terluka, yang tak bersalah tapi dianiaya.

2 komentar: