Sabtu, 14 Mei 2011

Sakura dari Fujikawaguchiko

(Untuk MuDAers NTT Menulis)


"Suatu pagi buta kami sedang menangis, ketika seorang mantri kampung memandikan tubuh kakek dengan air seduhan daun teh. Hal pertama yang membuatku jatuh dalam perasaan kehilangan yang amat dalam. Aku hanyalah bocah ingusan yang merasa menjadi bagian dari jiwanya. Tujuh belas jarum formalin telah menembus kulitnya. Sejam kemudian kulihat ia sudah necis dengan jas hitam dan harum minyak rambut Tancho yang menyengat, berseliweran dengan aroma formalin yang bikin mata perih. Mungkin seekor kucing bisa saja melewati kolong peti sehingga kakek bisa hidup lagi. Ini cuma sebuah imajinasi rahasia kecil yang selalu kupendam rapat-rapat."

***

Jika ditanya apa yang paling aku syukuri dari hidup ini maka aku akan menjawab, hidup bahagia bersama istriku, Kimiko, dan menjadi seorang Nokanshi.  Berpuluh-puluh tahun sudah aku ada di sini,  di kota permai dengan jendela pagi yang melukiskan indahnya liukan sungai Sagami. Nun jauh di barat, puncak Fuji nampak pucat. Aku selalu menantikan momen seperti ini di penghujung Maret, selalu betah disisi jendela saat sakura mulai berguguran. Seperti sayap kupu-kupu kuning pucat nyaris putih yang dikepak angin cepat,  ia berjuntai turun dengan gemulai menyentuh tanah. Ia ada diantara rinai hujan yang mengharumkan tanah, jatuh membelai kedamaian di hati.
“Sayang, sore ini kau tak sibuk? Aku ingin mengajakmu ke hanami di  Fujikawaguchiko.” Sepertinya Kimiko sedang bahagia.
“ Aku sudah menelpon Tatsuo dan Yukari. Mereka ingin bergabung. Sedang kupersiapkan sake dan dango untuk kita.” Lanjutnya bersemangat. Aku menangkap bahagia itu dari suaranya di ujung telepon.
Kimiko adalah sakuraku. Ia seindah sakura dimusim dingin. Hanya saja ia indah sepanjang waktu. Kami selalu melakukan pertemuan hanami setiap gugurnya sakura.



***

Seperti sakura, kematian itu indah. Di bawah rinai hujan yang dingin ia jatuh. Tapi indah. Ia mati terbawa angin, tapi hal itu indah. Musim adalah gerbang menuju pada proses hidup selanjutnya. Ia gugur namun sekaligus menebar energi hidup, eros.  Hanya sakuralah yang mengajarkan bangsa ini untuk memaknai kematian dengan indah, dengan damai.
Hanya ada pada alam semesta, seperti roda ia berputar dan mengaitkan cerita hidup satu dengan yang lainnya. Ketika musim dingin datang mengabarkan akan gugurnya sakura, orang-orang akan menari dan minum sake di bawah pohon-pohonnya. Hanami, mereka menyebutnya demikian. Kematian hanya akan membawa kebahagiaan karena ada kepercayaan di hati mereka, kelak dimusim berikutnya, haru, tunas-tunas akan memunculkan kehidupan baru lagi. Begitu seterusnya semesta ini bekerja. Kau sudah belajar dari sakura, makanya tak perlu kau risaukan kematian itu.


sumber gambar: tripadvisor.com

Tiga tahun sudah aku bekerja sebagai seorang Nokanshi, pemandi dan perias jenazah. Dulu aku hanyalah seorang buruh pabrik komponen-komponen mobil di Tokyo Lantas terbiasa menghabiskan malam minggu dengan ngamen bersama kelompok musik bernama Taishogoto. Aku bisa bermain biola, cello atau meniupkan saxophone. Namaku Kazuko, tapi juga bukan nama kecilku dan satu lagi aku bukanlah orang Jepang! Aku hanya sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jepang dan merasa seperti orang Jepang. Di negeri sandalwood jauh tempat rembulan mengawini bayangan pohon-pohon lontar, itulah tempat lahirku. Toh, secara fisik aku bisa diterima dan diakui orang-orang Jepang sendiri. Dan bahwa akhirnya aku bekerja sebagai seorang Nokanshi pun seperti sebuah keajaiban. Mungkin pula karena faktor bahwa aku mirip orang Jepang tulen, bahwa segala tindak-tandukku adalah khas orang Jepang. Satu yang pasti karena aku mencintai sakura, dan istriku adalah sakura.

Kadang aku berpikir, mungkin juga ada keterkaitan dengan masa laluku, tentang sang kakek yang pernah mencecoki otak kecilku dengan nilai-nilai hidup orang Jepang. Kimigayo sampai gambaru. Bahkan aku melihat sendiri jenazahnya dimandikan dengan air seduhan daun teh. Sampai aku takut untuk menyeduh teh, seperti akan menghirup aroma kematian dari gelasnya. Tapi di sini, ketika menemukan sakuraku, aku menjadi lebih tenang melihat kematian itu. bahkan kebahagiaan dan keindahan sekaligus. Tiga tahun lewat sudah.


***

Sore ini kebahagiaanku adalah keindahan anak-anak sungai Sagami. Sukacitaku adalah desiran angin haru yang menusuk hingga sum-sum tulang. Damaiku adalah sakura-sakura putih yang patah dari kelopak dan rantingnya, menjuntai seribu makna hidup yang kami hirup bersama sake di tangan. Hiruplah dengan tawa sukacitamu, jika para dewa mengijinkan mungkin salah satu dari ribuan makna hidup itu akan jatuh ke dalam cawanmu. Hiruplah terus karena itu berkah. Hiruplah lama karena kau pun akan melihat bayangan sakura yang jatuh dari permukaan cawanmu. Sesungguhnya keindahan bisa dilihat dari mana saja. Sesungguhnya aku tak sendiri. Hati puluhan manusia yang hadir di taman ini pun ikut bermekaran.
Tatsuo lalu memainkan gitarnya, sebuah melodi yang sedikit konyol ia mainkan. Kami pun hanya bisa menertawakan suaranya yang makin kedengaran fals.

“cherry blossoms, just floating to the ground
believing one day they'll be reborn
Don't cry my friend, It's a shame but it's time to go
with that unadorned smile...”


Ahh.
Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Aku langsung merasa ada sesuatu hilang dari peredaran. Gugur seperti sakura. “Ibu Ryoko pemilik Onsen langgananmu telah meninggal dunia sejam yang lalu, keluarga membutuhkan bantuan anda, pak Kazuko,” terdengar datar dan bergetar dari ujung telepon.
Aku ingat betul kala lalu itu, suatu sore yang diselimuti salju aku baru saja memulai pekerjaanku sebagai nokanshi, pemandi dan perias jenazah tradisional Jepang. Aku hanya mencoba menjadi asisten yang baik dari pak Yamamoto dan hal tersebut cukup membuatku mual minta ampun. Kami harus membasuh tubuh seorang pria tua yang ketahuan melakukan seppuku atau harakiri di kamar sewaannya. Pengalaman pertamaku untuk berhadapan langsung dengan tubuh yang mulai membusuk, nyaris membuatku putus asa. Tapi aku butuh pekerjaan. Aku hadapi saja tantangan itu. Dua jam kemudian aku seperti sedang berperang dengan jiwaku sendiri di ruang ganti Onsen milik ibu Ryoko, yang murah senyum itu. Aku bersikeras untuk memastikan bahwa aku tak akan lagi mencium bau mayat dari sekujur tubuhku. Tak boleh sedikit pun. Karena sejak dulu aku terlalu takut dengan aroma kematian. Sesaat setelah tubuhku benar-benar terendam di kolam hangat itu, barulah terasa tentramnya. Tentram yang mengalirkan kejernihan darah ke sekujur tubuh telanjangku.
Di luar butir-butir salju tak hentinya menerpa bumi yang kesepian. Yang kadang menyaru dengan sayap-sayap kerapuhan dan kematian.


***

Pada akhirnya aku pun makin paham dengan profesi nokanshi. Kadang aku berpikir bahwa aku mulai menemukan jalan untuk mengiklaskan diri melayani sesama. Sampai pada hal yang tak melulu menjadi monopoli anak manusia yang masih hidup. Di sini tubuh mereka telah kaku dan pucat tapi selajutnya gerbang baru menanti senyum mereka. Seperti sakura, hidup menawarkan berlapis-lapis kesempatan. Musim ini adalah saatnya gugur tapi musim depan hidup baru akan ditawarkan dari sela-sela ruas batang. Layaknya sakura yang memukau rasa dan logika manusia, maka kehidupan atau pun kematian bolehlah kurasakan sebagai sebuah keagungan, keindahan, seni. Mungkin ini yang mau ditunjukkan nenek moyang bangsa Jepang bahwa nokanshi akan membantu mewujudkan manusia yang sudah mati menuju ke gerbang kehidupan selanjutnya dengan bersih, indah dan agung. Kematian kini tak lagi menakutkanku.

“Kau tahu apa artinya hidup dan mati, Kimiko?” tanyaku. Sebuah kepura-puraan saja. Bukan itu yang kumaksud, sayangku. Aku hanya ingin memeluk punggungmu lalu menjilat pusarmu.
Ia menggeleng pelan tapi tak kupedulikan.

Kematian memang tak lagi menakutkanku, tapi yang kutakutkan adalah bahwa suatu saat nanti kita terpisah gerbang menuju kehidupan selanjutnya. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya dari balik dinding rahimmu. Seperti bumi yang menyerap kesepian dari salju-salju yang tumpah, yang kadang menyaru dengan sayap-sayap kerapuhan. Aku ingin melewati semua musim sakura bersamamu dan menjadi jiwa yang berdiam pada pohon-pohon sakura di taman Fujikawaguchiko. Kau mau?

*****


Gang Wora-Wari, 15 Mei 2011
00:10 WIB
  1. Nokashi: proses tradisional masyarakat Jepang yakni memandikan dan merias jenazah dengan teknik-teknik tertentu.
  2. Sake: minuman beralkholol khas Jepang, berasal dari kata Sake-Mizu artinya 'air kemakmuran'. Terbuat dari hasil farmentasi beras.
  3. Dango: kue khas Jepang, dibuat dari tepung beras, berbentuk bulat disajikan dengan tusuk sate mirip sate telur puyuh. Dimakan dengan saus kacang atau wijen.  
  4. Hanami: tradisi tahuna masyarakt Jepang untuk menikmati keindahan bunga sakura di musim semi, dengan duduk-duduk minum sake di bawah pohon sakura.
  5. Seppuku atau Harakiri: artinya 'merobek perut' tradisi para pemimpin Jepang sejak dulu yang merobek perut mereka sendiri demi memulihkan nama baik atas kesalahan menjalankan tugas atau kesalahan menjalankan tanggungjawab atas orang lain/rakyat.
  6. Haru: musim semi
  7. Sandalwood: cendana



BACA JUGA, "Sajak untuk Masahiro Motoki" disini 

Apa Kata Mereka Tentang Antologi Puisi Cerah Hati? disini 


CERAH HATI. Antologi Puisi Christian Dicky Senda. Indie BOOK Corner Jogjakarta. ISBN 9786029149074. Soft Cover IDR 35.000 (belum termasuk ongkos kirim). pesan: 085 228315722 (Senda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar