Rabu, 11 Mei 2011

Di Persimpangan Itu...




Terhenti aku lelah
Di persimpangan itu…
dimanakah Engkau wahai….
tak ada Engkau kucari pada malam tepat ia berganti dini…
tak jumpa juga Engkau kudatangi di senja kala rembulan muda  mengusir sang tua matahari…..
jika Engkau tak ada pada pusaran waktu…dan kapankah bisa aku temui…?
tak pernah  aku berpapasan dengan Engkau di lorong-lorong sempit kota yang berpadat manusia ini..
tak jua Engkau kulihat di bawah teduh bayang pohon-pohon  alun-alun lenggang pada siang-siang yang terik..
jika Engkau tak ada pada dimensi ini ..dan dimanakah bisa aku temui..?


“Tak ada Ia disini”…


tiga suara berbeda dari tiga asal yang tak searah mendadak serempak menjawab….
pertama kuperhatikan suara yang datang dari depanku,mendahului sosok rapuh dan lusuh yang datang terbungkuk-bungkuk ke arahku menghampiri.Dia lelaki yang telah tua. Janggut tak terurus menyembunyikan pasang pipi yang telah kemput. Setelan Amerika  dari masa-masa musik perlawanan perang Vietnam membalut tubuhnya yang tetap terkesan ringkih. Betapa ia tak pernah berganti. Dia bau. Gitar tua tergantung pada selempang bahunya.Kedua tangan kurusnya masing-masing membawa benda berbeda beban, selinting rokok tersulut,atau mungkin ganja,  di kiri dan harmonika murahan yang telah berkarat di kanan. Dylan-kah dia ????..tapi tidak..Pasang kacamata hitam pada wajahnya. Ia buta kukira.Baguslah ia buta, tak nampak olehnya aku menutup hidungku,sebab aku tak tahan pada baunya saat ia mendekat untuk berbicara. Tapi..Oh..betapa merdu suaranya…Datanglah penghormatanku setinggi- tingginya padanya. Dari anggapanku dia Si Tua Bau..mendadak jadi Si Tuan Pemusik. Aku turunkan tanganku dari hidungku.

“Berbicaralah selama-lamanya padaku Tuan Pemusik, sebab demikian suaramu merdu, dan dan aku  mendengarkan.”
dan ia pun mulai sambil tersenyum , senyuman berteman serupa senyum seorang karib lama pulang dari perantauan sedang bercerita.
” Marilah ikut anak muda. Telah kudengar keluh-mu. Dan aku-pun segera tahu. Bahwa kau tak lain seperti kami waktu dahulu. Kami menemukan Dia di sana. Di tempat kami tinggal sekarang. Tempat dimana disana tak ada apa, hanya keindahan. Hanya keindahan. Mari….”
“Ah.. inilah jalanku…. betapa nikmatnya hidup bertemankan keindahan. Hanya keindahan. Ya itulah Engkau..engkau tak lain dari keindahan yang ingin kunikmati. Hanya keindahan “
Lelaki itu tersenyum
” Kau bisakah mainkan harmonika anak muda?
” Tidak  Tuan..tapi sedikit bisa aku bermain gitar”
Dilepaskan selempangnya dan Ia menyerahkan gitarnya padaku.
” Marilah kita bernyanyi sepanjang jalan ke sana.Sayang lintinganku tinggalah sebatang. Tapi bolehlah kita berbagi jika engkau ingin tentu. Mainkan nada-nada riang, nyayian kebahagian bagi kau yang telah menemukan jalan untuk pencaharianmu”
Belum hendak kuselempangkan gitar itu,…
” Sebentar jejaka…!!”…

suara dari kiri-ku menyela.Ditariknya tanganku,dan tanpa kusadari ia mendekapku .Tubuhnya rapat padaku, berhadapanlah aku padanya. Mata ketemu mata..dada ketemu dada. Aku tak berdaya. Tiba-tiba bibirnya menemui bibirku. Dan semuanya menjadi gelap. Tak kusadari gitar si Tuan Pemusik lepas lalu jatuh,mungkin rusak.

lalu  perlahan citranya hadir kembali  kembali.Satu demi satu potongan gambar menyatu dan  semakin lama merupa sebentuk wujud. Kaki yang jenjang dibalut celana kulit ketat merah muda, berujung hak tinggi yang menyangga tumit. Mengangkat dia hampir setinggi aku. Rambut hitam yang gemulai menjuntai pada lengan mulus berujung jari-jari terawat berkuku panjang. Kesepuluhnya diwarnai merah muda pula serasi celana ketatnya itu. Dan tak begitu kuperhatikanlah wajahnya demi mataku terhenti pada dadanya yang masing-masing sekepal namun menguncup indah tanpa ada pengahalang. Dia telanjang dada. Oh…. Aku ingat dada ini. Pada dada ini pertama kali aku memuntahkan nafsu remajaku. Ya ..aku tak mungkin salah. Persis dengan sepasang dada yang bergoyang-goyang terguncang milik pemain film porno jepang itu. Inilah sepasang dada yang sama…aku ingat betul..saat-saat ia disetubuhi dan berteriak-teriak, karena waktu itulah aku pertama kali mengalami sang tabu masturbasi. Pastilah ini dia. Akhirnya bertemu jua aku denganya.

” Kau tak juga melihat wajahku wahai jejaka..Pastilah betapa rindu engkau pada susu Ibumu”.
suaranya mengangkat pandanganku tertuju pada wajahnya..tapi.. suara ini bukan suara yang beteriak-teriak itu…suara yang merintih semakin keras saat aku memacu kejantananku semakin cepat. Ini bukan dia. Tapi dia begitu mirip bahkan wajahnya jauh lebih sempurna baru kuperhatikan.
” Berceritalah selama-lamanya padaku..wahai perempuan pemerah cairan kejantanan..sebab demikian cantik engkau, dan aku menyaksikan”

dan iapun mulai sambil tersenyum ,senyum menawarkan serupa senyum para gadis tukang promosi produk.
sumber: bojalinuxer.blogspot.com
” Aku dengar tadi kau inginkan kenikmatan. Dan aku yakinkan kau wahai jejaka..tiada bisa kau nikmati keindahan yang dibualkan si Pemusik Tua yang bau  itu. Keindahan mereka hanya pada mimpi-mimpi serta khayalan yang mereka ciptakan sendiri. Dan jika mimpi indah itu tak kunjung datang. Mereka undang mimpi-mimpi itu dengan cara gila mereka .Cara yang sedikit-sedikit mengisap sari-sari tubuh mereka sendiri.Dan perlahan-lahan mereka akan mati sia-sia. Ah..mengertilah kau pasti kukira. Pemabuk sinting mereka itu. Wahai jejaka.betapa liurmu menetes pada dadaku kuperhatikan. Mari..ikutlah kau denganku. dan dada ini ,seluruh diriku serta akan menjadi milikmu.Di tempat kami tak ada mimpi,.tak ada esok..yang ada hanya kenikmatan hari ini untuk kau nikmati sepuasnya. Dan jika kau masih bangun esok pagi. Esok akan menjadi hari ini lagi bagimu dimana hanya ada kenikmatan untuk kau nikmati. Hanya kenikmatan.Mari…”

” Maafkan aku wahai Tuan  Pemusik..aku tak bisa ikut padamu. Aku tak berdaya…kukira memanglah ini jalanku. Aku dambakan keindahanmu. Tetapi aku tak yakin akan menemukan Dia pada keindahanmu. Mungkin benar bahwa memang pada kenikmatan yang ditawarkan Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan inilah aku dapat menemukan Dia. Karena inilah yang kuinginkan sekarang. Hanya kenikmatan.

Si Tua itu ,kecewa kembali menyandang gitarnya yang entah rusak tak kutahu dan tak begitu kupeduli lalu pergi diiring tertawaan lepas si Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan. Aku berbalik padanya. Ia menantapku .Dia memang luar biasa. Dia tak lain daripada Dewi Kenikmatan itu sendiri.Ia mendekat padaku. Tiba- tiba tak kusadari celanaku telah turun dan ia menggenggam kejantananku pada tanganya kananya.

“Mari….”
Hina seperti binatang ternak aku hendak digiringnya, dengan  kejantananku sendiri sebagai tali kekangnya. Kami keduanya telanjang, perempuan itu dan aku  itu, tetapi kami tidak merasa malu. Aku percaya padanya  inilah jalan kenikmatan. Tapi baru hendak perempuan itu menyeretku..
Saudara..!!
Demikian suara itu menyapaku.Suara itu datang dari sisi kananku.Dan suara itu sangat akrab. Siapakah orang ini kiranya..Aku tak kenal dia lagi aku tak punya saudara. Tapi jika bukan aku yang disapanya lalu siapa, perempuan itu-kah? ..Tidak…ia bilang saudara bukan saudari. mestilah aku yang disapanya.
” Ya saudara…Engkau yang kusapa..Engkau Saudaraku.

Memang ia menyapaku. Tidak jijik-kah Engaku padaku Tuan. Aku ini yang hina merelakan diri digiring seperti ternak hanya demi kesempatan sehari mencucup susu perempuan itu. Tidak hinak-kah engkau padaku?.Ia baca pikiranku.Dengan senyum hangat yang menyenangkan ia menghampiriku. Ia mengulurkan tangan hendak berjabat. Dia menenangkan aku yang gelisah dan penuh nafsu. Ia seperti punya kekuatan yang menarik perhatianku. Bahkan seketika itu hilang sudah perhatianku pada Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan itu. Kejantananku tak lagi bersemangat ,Sang Ular kembali menjelma lintah, liat , licin dan lolos begitu saja dari genggamanya. Siapakah orang  yang begitu asing tapi juga begitu karib ini. Begitu aku penasaran padanya. Kujabat tanganya , baru tersenyum membalas senyum yang sejak tadi Ia berikan.

“Ya Tuan, saya begitu tidak pantas Tuan datang kepada saya…tapi,  Bersabdalah engkau padaku wahai Tuan, sebab Engkau begitu bijak dan begitu aku  mendengar”
dan Ia pun mulai sambil tersenyum, senyuman bijak serupa senyum pengertian para guru taman kanak-kanak.
” Padamu engkau perempuan. Berkali-kali kalian kubela dari para munafik yang hendak merajam kamu. Sungguh kalian telah menjadi begitu buta. Tapi  engkau pergilah. Ini kali engkau tak hendak dirajam, tak perlulah engkau kubela.

Perempuan itu menjadi begitu malu. Tertunduk dan mulai terisak-isak. Berlari lalu, menjauh dengan ketelanjanganya. Akupun sadar bahwa aku masih telanjang. Entah kemana pakaianku dibuang perempuan itu.

“Siapakah sebenarnya orang ini”

“Anak muda., aku tak tau siapa Dia yang kau cari. Tapi mungkin kau bisa bertemu dengan Dia setelah matamu terbuka akan kebenaran. Akulah jalan kebenaran. Mari ikutlah aku”
Hanya itu yang dia bilang namun sungguh satu kalimat itu jauh lebih mempengaruhi aku untuk mengikuti dia. Daripada berkalimat-kalimat kisah  si Tuan pemusik maupun rayuan si Perempuan pemerah cairan kejantanan tadi. Haruskah kuikuti dia?

” Engkau begitu  bimbang kulihat anak muda.  Tak percayakah engkau padaku?, Ah..jaman ini… begitu membingungkan kalian. Tak hanya engkau yang bimbang begini.
Ada kutangkap kesedihan pada rautnya.

“Baiklah aku pergi dahulu. Jika sewaktu-waktu Engkau ingin,. Datanglah, ikuti jalan ini. Dan pada hari aku melihatmu di pintu gerbang rumah-ku,akan ada pesta sukaria dengan seruling dan nyanyian tari-tarian, seekor anak lembu tambun akan disembelih,dan Engkau yang dipestakan akan mengenakan jubah terbaik untuk menutupi ketelanjanganmu ini,cincin pada jarimu serta sepatu pada kakimu.
Begitukah aku istimewa bagimu Tuan. Aku yang hanya seorang telanjang yang terhenti kelelahan di persimpangan. Sungguh aku tidak pantas.

“Aku berkata kepadamu anak muda, Demikian akan ada sukacita karena satu orang berdosaa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan”


Ia tersenyum dan berlalu


Seketika mataku terbuka. Pernah sekali aku mengenal Dia. Dia yang dulu pernah dekat lalu kujauhi.
Seperti perempuan pemerah cairan kejantaan itu. Aku menjadi begitu malu.
Tertunduk  dan mulai terisak-isak aku,
Di persimpangan itu…


19 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar