Minggu, 29 Mei 2011

Secarik Kertas Usang (sebuah puisi)

 sajak karya Maia Letor (untuk Mudaers NTT Menulis dan Komunitas sastra #daunlontar

Mata mulai terasa berat, ingin aku membaringkan badan dan tertidur lelap
Namun ada yang menggelitik, kisah siang tadi mengusik pikiran
dan mengalahkan rasa kantuk ini.

Siang yang terik, di bawah sinaran matahari dan langit Surabaya
dengan berlindung dibalik jaket merah
aku berjalan menyusuri lorong-lorong gang Kedung Tarukan Baru
untuk membeli lauk makan siang
selayaknya anak kosan lainnya

Mataku terusik dengan segumpalan kertas usang yang diremas-remas pemiliknya,
mungkin saja maksudnya ingin membuang remasan kertas usang tersebut
di tempat sampah yang tidak jauh dari situ, tetapi sayang salah sasaran...
tidak tepat masuk ke dalam tong sampah berwarna kuning yang terbuat dari ban mobil.

Entah mengapa aku tertarik untuk memungut dan membuka remasan kertas itu dan melihat apa isinya,
sejenak aku terkesima saat membuka remasan kertas itu perlahan.
Kertas berwarna coklat tua, mirip dengan kertas hasil daur ulang
yang pada beberapa bagian tepinya terdapat bekas terbakar.
Bekas terbakar itu begitu rapi sehingga saya berpikir mungkin saja pemiliknya hendak memberikan aksen tersendiri sehingga sengaja membakar beberapa bagian dari kertas itu.

Pada kertas itu ada tulisan menggunakan bolpoin tinta hitam yang tintanya hampir habis....
sehingga bagian akhir dari tulisan tersebut ditulis dengan tinta hitam yang tersisa

Aku menulis:

Aku takut pada malam
Malam selalu gelap dan sakit bagiku
Sendiriku dan malam
Aku takut

Tak kuasa kuhardik pagi mendekat
Tuk temani sakitku

Tertatih kuterbang
Kubawa perih hingga jauh
Hilang dan lenyap ditengah malam
Hingga malaikat pagi menggendongku
dalam dekapannya

Tulisan dari penulis yang tak kukenal
dan malam ini aku mau menemani kesendirian malamnya

Surabaya, Mei 2011 

Sabtu, 28 Mei 2011

Mata (sebuah cerita pendek)

 karya Ephie Taga, untuk forum MuDAers NTT Menulis dan komunitas sastra #daunlontar



Benci sekali melihat seringai di wajahnya. Ia tak pernah hangat padaku, seperti ayah-ayah lainnya. Ayah, begitu aku harus memanggilnya. Ayah, yang aku tau hanya hadir dalam sosoknya saja. Entah kapan ia hadir, tapi seingatku aku masih berumur 9 tahun kala itu. Ibu hanya mengajarkanku untuk memanggilnya seperti itu.
Namaku Intan Permatawati. Umurku 14 tahun. Aku meminta dipanggil “Mata”, boleh kan?? Beberapa saat sejak kehadirannya, terlebih sejak kehadiran adik, aku selalu ingin menjadi mata yang bisa awas terhadap setiap gerak geriknya. Bisa menjadi mata bagi ibu dan adik. Sayangnya aku tak mampu menjadi mata bagi diriku sendiri.

Kadang ingin kucongkel mataku sendiri. Kemudian mulai mengomel dan mencaci maki diri sendiri. “bodoh, tolol!! kenapa kau biarkan ini?” atau terkadang menghadap pada cermin, mulai mengamati setiap jengkal tubuh dan mulai merasa jijik sendiri. “perempuan anj*ing!!! Tidak lelah juga kau rupanya!” Aku tau siapa yang aku maki, aku dan aku sendiri.

....Dimana kau? Dimana kau? Kadang aku mencari diriku sendiri. Kadang aku berteriak meminta mataku untuk tetap awas. demi orangorang terkasih....

Beberapa bulan aku akan merasa aman. Sangat nyaman. Ketika ayah tak di rumah. Sepertinya gampang sekali memunculkan tawa riang dan canda kala itu. Ibu akan selalu menertawai gerak-gerik kami yang menggelikan. Tidak seperti kala ayah disampingnya. Ia akan menjadi orang yang sangat berbeda. Seperti saat itu. Hanya duduk diam setelah mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Kemudian tertunduk. Hanya melirik kami sesekali. Ia seperti hidup dengan dua kepribadian.
                         
Jujur saja, kebencian ini awalnya muncul bukan karena seringainya. Seperti juga namaku. Awalnya aku sangat senang dipanggil “intan”. Kata guruku, aku kaya. Bayangkan saja, dalam nama saja sudah ada intan dan permata, bagaimana dalam kehidupan nyata? Bagaimana? Tidak ada, tentu saja tidak ada. Jangankan intan permata, uang 50ribu saja sampai seumur begini baru sekali kurasakan dalam genggaman tanganku, ketika ibu menyuruhku membayarkan utangnya pada ibu lurah, ia malu untuk berhadapan langsung karna sudah berbulanbulan ia mencoba menghindar. Jadi lembaran itu hanya singgah sementara lalu berpindah ke tangan orang lain. Tidak sampai 10 menit malah.

Suatu malam, diharihari pertama aku memanggilnya ayah, tanpa sengaja aku mendengar mereka saling berteriak, memaki satu dengan yang lain. Malam itu juga pertama kalinya aku mengetahui bahwa segala macam binatang bisa keluar dari mulut seorang lakilaki. Ibu sempat berteriak “berhenti, aku tidak mau intan mendengarnya...”, tapi apa mau dikata, rumah sekecil ini hanya dengan dinding yang mungkin siap runtuh kalau memang niat menubrukkan diri, mana mungkin tidak terdengar. Ketika itu ibu sedang hamil tua. Aku tidak pernah tau rasanya, aku hanya merasa bahwa sebentar lagi akan ada suara bayi, yang paling tidak bisa mengimbangi suara ribut-ribut ini. Setidaknya bukan hanya ribut-ribut ini saja yang bisa aku dengar. Bosan!!

Diharihari pertama itu juga pertama kali aku melihat bayangan ayah memegang pisau dengan kalapnya. Ia berlari menuju ibu seolaholah ingin membunuhnya. Ibu hanya terdiam. Bu, mengapa lemah sekali?? Mataku panas...mataku mulai tergenang...kenapa orang seperti ini yang harus hadir dirumah ini? Kalau bisa memilih, aku lebih bahagia tanpa ayah, seperti tahuntahun sebelumnya. Meski harus mendengar omongan miring tentang ibu dan tentu saja berimbas padaku, aku lebih bahagia kala itu. Ibu tidak selemah ini. Sekejap aku berlari menahan tangan ayah. Ini tak boleh, ini tak boleh...hanya itu yang ada di otakku. Aku tak merasa takut padanya, sampai sekarangpun masih begitu.

Sehari setelahnya ayah mendatangi aku, sepertinya ia tau benih keberanian yang ada dalamku. Setengah berbisik ia mengancamku. “kau akan lebih menderita jika berani melawanku”. Seringai pertamanya terlihat. Ia terlihat seperti seekor srigala yang siap memakan anaknya sendiri. Aaahhhh tidak, aku tidak sedarah dengannya.
Sejak itu aku berjanji menjadi mata. Bagi ibu dan adikku. Mataku harus tetap mengawasinya.
                              
Kehadiran adik tidak terlalu membawa perubahan. Malah aku merasa masing-masing kami menjadi dua kepribadian yang berbeda. Ketika ayah ada dan ketika ia pergi. Pekerjaannya sebagai supir truk pada sebuah perusahaan plastik mengharuskan ia untuk pergi setidaknya selama seminggu dan bisa bersenangsenang selama 2 hari. 2 hari kesenangannya menjadi pesakitan kami.
Malam kemarin, seperti biasa, ia datang tanpa jadwal pastinya itu. Ribut-ribut yang aku takutkan sama skali tidak terjadi. Tidak satupun suara terdengar. Aku bisa tidur dengan tenang..
                               
Sore pertama kedatangan ayah, di bulan juni, setahun lalu...
Ia tenang..kami biasabiasa saja. Seperti yang sudahsudah, ia mengoceh tentang pekerjaannya, sepanjang perjalanannya, sepanjang ia duduk di belakang kemudinya. Aku teruskan bacaanku, hanya ibu yang betah mendengarnya.
Malam menjelang, dan trima kasih Tuhan tidak menghujani hariku dengan teriakanteriakan tak bergunanya.

Malam ini aku yang berteriak, ibu tak mendengarnya. Ayah menutup mulutku dengan tangannya. Ia leluasa melakukannya, ditolong gelap kamarku. Hitam itu hanya menolongku sedikit, memperlihatkan seringai ayah. Sejak saat itu aku membencinya.
Panggil aku Mata. Karna meski malam ini mataku tak menolongku, aku akan tetap menjadi Mata.










Denpasar, 29 Mei 2011 






 

Kamis, 26 Mei 2011

PENDAPAT JIWA-JIWAKU (sebuah sajak)

karya Voltaire Talo at http://amavolta.wordpress.com (twitter @amavolta)

untuk forum MuDAers NTT Menulis dan komunitas sastra #daunlontar








Ketika purnama mulai tak kuasa menyaingi gulitanya malam, aku pun rebah dalam kelembutan tilam.  Seketika aku tersadar bahwa aku bukan satu melainkan banyak dan saat itu pun pertanyaan yang paling manusiawi muncul dalam benakku “apakah aku waras?”



Pertanyaan ini yang mengganggu tidurku. Aku semakin cemas ketika mendengar suara berbisik lembut dalam kamar yang sepi. Apakah diriku terbagi? Apakah aku seorang Schizophrenia? Tak kuasa menahan ketidaksinkronan ini aku mulai memberanikan diri untuk mencari sumber suara lembut itu dan ternyata aku temukan berasal dari diriku sendiri.
Dalam diriku aku menemukan bahwa jiwa-jiwaku sedang bercakap dan beradu argumen layaknya orang berdebat. 
 
Jiwaku yang satu menyuarakan dengan lantang tentang kecantikan seorang perempuan muda yang energik, jiwa yang lain dengan lebih tenang dan lebih pesimis berkata bahwa ada kelembutan seorang perawan yang menunggu di batas fatamorgana, meskipun dia tidak tahu pasti dimana batas fatamorgana.
 
Jiwa ketiga juga tidak mau kalah, dengan sedikit rohani jiwa ini mengatakan bahwa aku harus menunggu waktu Ilahi untuk mendapat wanita Ilahi.
Mendengar pendapat mereka aku muak dan marah…
Namun apa pun pendapat mereka, keputusan tetap ada di tanganku…
Dan sekarang aku memutuskan untuk kembali pada kelembutan tilamku

Selamat malam jiwa-jiwaku



ilustrasi: mthago.wordpress.com



Salatiga, 26 Mei 201

Rabu, 25 Mei 2011

Patah (Sebuah Sajak)


karya Rickye Radja untuk Mudaers NTT Menulis dan komunitas sastra #daunlontar




Inilah akhirnya,
Aku menyerah padamu cinta
Setelah semua sisa harapan memudar
Setelah semua indah bayangan mengabu
Tinggal sedikit rindu dan rasa sesal,
kala terjaga saat tertinggal mimpi

ilustrasi: technodisco.net
Sekali pernah ada cita
tentang Dia yang akhirnya akan tiba
datang,..menyapa,.
lalu tinggal selamanya.
Dia memang pernah datang
tapi Dia hanya ingin menjadi bunga-bunga mimpi
warna – warni suram bermain dalam lukisan potret malam yang maya
Dia tak pernah tahu
warna warni potret-potretnya untuk abadi telah terpatri
di tembok-tembok , tiang-tiang listrik
sepanjang jalan yang harus kulewati tiap hari
dan akupun tinggal sendiri
tertunduk-tunduk menyusuri jalanku
yang telah penuh dengan citranya
Aku toh tidak bisa lewat jalan lain
Ini jalanku
Lalu apa?
Aku tak tahu
Panggil aku pecundang
Panggil aku banci
Aku tak peduli
Memang aku telah kalah
Memang aku telah menyerah


Malang, 20 Juli 2009

“DEMOKRASI STIMULUS”


(Studi Komparatif Psikologi Politik dan Teori Politik)
*Yoyarib Mau untuk forum Mudaers NTT Menulis

Dalam perkembangan politik dewasa ini tidak terlepas dari sebuah proses perkembangan yang panjang, seperti adanya pendekatan atau teori politik modern seperti teori elit, fasisme , demokrasi, pluralitas selain teori ada juga pendekatan seperti Laswell, Easton, dan Almond maka pendekatan yang cukup tua dan di pakai dalam pendekatan politik masa lalu adalah pendekatan tingkalaku.

Menurut Sudarman Danim, bahwa ilmu perilaku hanya terletak pada titik tekanannya, dimana ilmu perilaku (behavioral sciences) memfokuskan diri pada prilaku manusia, meskipun tidak jarang pembedaan itu hanya dapat dilakukan secara gradual (bertahap) saja (Sudarwan Danim, Bumi Aksara, 2007)

Pendekatan perilaku dibutuhkan dalam ilmu politik terutama dalam kebijakan publik namun kebijakan publik ada jika ada problem dalam masyarakat, maka individu menjadi penting sehingga menurut Nevil Johnson yang dikutip kembali oleh Wayne Parsons, individu-individu harus memahami bagaimana tindakan mereka selalu terkait dengan aturan dalam berhubungan dengan orang lain, dan ini terjadi hanya dengan cara melakukan penilaian (judgment). Konsekkuensinya, sebagaian besar karyanya dicurahkan pada analisis penilaian dari sudut pandang yang disebutnya sebagai “perilaku apresiatif” walaupun apresiasi dan penilaian akan memperlihatkan kapasitas individual (Wayne Parsons - Public Policy – Kencana - 2008).



BACA SELENGKAPNYA DISINI





Sajak Nestapa Apu


untuk Mudaers NTT Menulis dan komunitas sastra Daun Lontar


sumber: rodicawrites.com
Apu kini sendiri, terjebak dalam istana alang alang Hanya berteman dengan rindu renta pada umbu tua  di negeri sabang
Kala fajar terpancar melewati alang alang jarang  Apu merangkai jejak menuju kubur batu purba di dekat menara Lengan berayun menyapu lumut zaman Terkuak ukiran umbu dan apu di bawah arca ratu dan raja
Saat mentari di tengah hari Telapak telapak keriput menyusuri lembah ilalang Sekilas mengingat jejak lalu kala umbu dan rambu muda Menulis cinta lugu di antara karang dan ilalang


Ah… umbu tua Apu semakin nestapa bila langit memerah Mata  hanya menyapa cakrawala perbukitan jauh Tanpa menyeka tetesan pilu menatap ilusi Berharap ada siluet umbu tua tiba walau hanya sekejap
Malam akhirnya runtuh kelu Menyelimuti kulit tua yang menanti semenjak muda Penuh harap pada umbu, kembali membawa janji tentang  cinta sempurna tanpa ratap…




Depan Kampus Univ. Warmadewa, 18 Mei 2011

* Apu: nenek / panggilan khas untuk wanita Sumba yang sudah tua
 *Umbu: panggilan khas untuk pria Sumba

(dipublikasikan juga di www.kompas.com, kolo OASE, 24 Mei 2011)

Senin, 16 Mei 2011

Cerita Bata

 Sandra Olivia Frans untuk komunitas sastra Daun Lontar dan forum Mudaers NTT Menulis


Ini hanya ungkapan hati sebuah bata yang kutemukan teronggok, dia sudah tak lagi berwarna merah bata sebagaimana seharusnya. Tidak lagi berbentuk padat dan kotak. Dia nyaris hancur.

Susah payah dia bercerita. Kadang meloncat loncat arah ceritanya. Kadang dia terdiam seolah memikirkan banyak hal. Kadang dia tersenyum mengingat semua kenangan. Dan sempat ku tangkap getar sedih bercampur amarah dari suaranya ketika menceritakan bagaimana dia rusak dan terlempar dari bangunan.

Aku tak pernah meminta akan ditempatkan di mana. Pikirku semua gedung sama saja. Fungsiku sama saja dimanapun aku ada. Sehingga ketika aku diangkut serta disusun disini aku tak ada perasaan apa apa. 

Ruangan tempat aku ditempatkan adalah ruang paling luas dalam gedung ini. Bentuknya memanjang. Pintu utamanya besar. Jendelanya banyak. Di dalam ruangan itu ada bangku bangku panjang berbaris menghadap ke depan. Dan di paling depan dibagian tengah, lantainya agak meninggi dan ada semacam meja tinggi. Di tembok di belakang meja tersebut di pasang sebuah kayu seolah sebagai hiasan utama. Kayu? Ya benar. Seperti dua kayu yang saling menyilang. Kayu yang panjang memanjang dan kayu yang pendek melintang pada seperempat bagian atas kayu yang panjang.
Ilustrasi: flickr.com

Ruangan ini tak selalu ramai setiap hari. Paling ramai hari minggu. Saat itu, mulai pagi akan datang banyak orang. Mereka datang bersama keluarga. Ada juga yang bersama teman-teman, ada juga yang sendiri. Pakaian mereka rapih. Rambut mereka dirapihkan dengan baik, memakai sepatu dan membawa sebuah buku tebal. Anehnya mereka tak banyak bicara di gedung ini. Mereka masuk, mencari tempat duduk diantara bangku bangku panjang itu, menundukkan kepala seraya menggenggam tangan. Setelah itu mereka diam menunggu. Hanya sesekali bercakap. Lalu ada seseorang datang dan berdiri di balik meja tinggi tersebut, kemudian berbicara dengan lantang dan semua yang ada memperhatikan dia.

Apa yang mereka lakukan di ruangan itu?
Aku tak begitu mengerti, yang kulihat mereka banyak bernyanyi, kemudian dipimpin oleh orang yang didepan mereka menundukan kepala, sedangkan orang tersebut mengucapkan kata-kata. Yang kelak ku tahu, mereka menyebutnya doa.

Beberapa minggu berjalan, barulah aku menangkap sesuatu. Ritual hari minggu itu adalah tentang seseorang. Mereka menyebutnya Tuhan. Rangkaian acara selama dua jam di hari minggu itu adalah tentang Dia. Nyanyian mereka, doa mereka, dan khotbah yang disampaikan orang dibelakang meja tinggi itu.  Kadang ada yang maju dan menyanyi di depan, bisa sendiri, berempat, atau berkelompok dengan memakai baju yang sama. Suara mereka merdu. 

Yang ku tunggu adalah di akhir acara. Ketika mereka semua berdiri dan menyalami satu sama lain, seraya berucap 'Selamat Hari Minggu, Tuhan Berkati'. Ahh betapa damai melihat mereka rukun seperti itu. Sukacita terpancar dari muka mereka. 

Sepertinya itu adalah kegiatan rutin mereka setiap minggu. Ruangan ini selalu ramai setiap minggu. Kadang ada acara lain yang khusus. Misalnya pada bulan desember. Ruangan ini dihias dengan cantik, dominan warna merah dan hijau. Dipinggir ruangan ditempatkan sebuah pohon cemara tinggi. Dibalut oleh lampu warna warni, digantungi hiasan macam-macam, atasnya di pasang bintang keemasan. Lalu ada semacam acara perayaan. Anak-anak kecil akan memainkan drama. Lucu dan menggemaskan. Lagu lagu mereka bertemakan kelahiran seseorang yang kalau aku tidak salah bernama Yesus. Di puncak acara mereka akan mematikan seluruh lampu dan menyalakan lilin di mulai dari orang pertama di depan sampai seluruh orang dalam ruangan menyalakan lilin. Kemudian dengan syahdu mereka menyanyikan lagu merdu bertemakan malam, dan mereka berdoa.

Ahh temanku, ada banyak sekali cerita tentang ruangan ini. Semuanya baik-baik saja. Sampai hari ini. Ketika kudengar di luar ada ribut ribut. Lalu sekawanan orang masuk, aku tak mengenali wajah mereka. Mereka berteriak teriak tak jelas seolah sangat mengamuk. Mereka membanting bangku bangku panjang itu. Meja tinggi di depan mereka tendang dan menghancurkannya. Kemudian kayu yang menjadi hiasan utama itu, mereka turunkan dan patahkan. Ada yang berusaha menghentikan mereka dan dia dipukul tanpa ampun. Salah seorang dari mereka membawa jerigen dan menumpahkan isinya di sekeliling ruangan. Dan mereka serempak meninggalkan ruangan, ada yang menyalakan api.

Tak sampai lima menit ruangan ini penuh api. Api mulai menjalar ke tubuhku tanpa dapat ku tahan. Aku menangis. Bukan karena sakit, tapi karena aku sedih memikirkan perasaan orang orang yang setiap minggu ada di ruangan ini. Aku tahu, ada yang menganggap tempat ini lebih dari rumah mereka sendiri. Aku saksi mati atas keterikatan mereka terhadap tempat ini.  Gedung ini penuh kasih jika kau dapat merasakannya. 

Entahlah, aku tak mengerti mengapa gedung ini dirusak dan dihancurkan sehingga aku terpisah. Aku hanya sebuah bata, yang kata orang hanya benda mati. Aku yang benda mati saja dapat merasakan kesedihan mereka, lantas bisakah kamu membayangkan perasaan mereka yang mempunyai gedung ini. Mereka kecewa, mereka menangis, mereka bersedih. Yang ku tahu mereka akan tetap berdoa. Walau tersakiti mereka akan tetap menundukan kepala dan mengucapkan doa.

Ahh semoga mereka dikuatkan oleh Seseorang yang mereka sebut Yesus.

Sampai disini batu bata diam. Diam dan tidak berkata lagi. Maka tahulah aku, curhat nya sudah berakhir.  Aku menyimpannya dengan hati hati. Sambil termangu. Sambil berdoa.

Konon gedung itu bernama Gereja.

8 Feb 2011

Tulisan sederhana buat mereka yang hari ini tersakiti, yang terluka, yang tak bersalah tapi dianiaya.

Minggu, 15 Mei 2011

Bupati Mangkat (sebuah sajak)

 karya: Umbu Nababan

Ramai ramai kamboja disemai
Dirangkai dalam bangkai
Kala bapak menjala bala
Pada rakyat dengan bual hikayat

Akan tiba tanpa iba
Berangkat tanpa pangkat dan mangkat!!!
Menuju neraka pekat
 Dan darahmu diramu menjadi jamu iblis

Kami mengirim sumpah serapah
Umpat tak henti sempat
Melihat mu mati pasti
Karna tambang mengambang
…..
Selamat jalan wahai jalang
Bangga surga menolakmu juga


Kamar Laba-Laba Betina,09 Mei 2011

Sabtu, 14 Mei 2011

Sakura dari Fujikawaguchiko

(Untuk MuDAers NTT Menulis)


"Suatu pagi buta kami sedang menangis, ketika seorang mantri kampung memandikan tubuh kakek dengan air seduhan daun teh. Hal pertama yang membuatku jatuh dalam perasaan kehilangan yang amat dalam. Aku hanyalah bocah ingusan yang merasa menjadi bagian dari jiwanya. Tujuh belas jarum formalin telah menembus kulitnya. Sejam kemudian kulihat ia sudah necis dengan jas hitam dan harum minyak rambut Tancho yang menyengat, berseliweran dengan aroma formalin yang bikin mata perih. Mungkin seekor kucing bisa saja melewati kolong peti sehingga kakek bisa hidup lagi. Ini cuma sebuah imajinasi rahasia kecil yang selalu kupendam rapat-rapat."

***

Jika ditanya apa yang paling aku syukuri dari hidup ini maka aku akan menjawab, hidup bahagia bersama istriku, Kimiko, dan menjadi seorang Nokanshi.  Berpuluh-puluh tahun sudah aku ada di sini,  di kota permai dengan jendela pagi yang melukiskan indahnya liukan sungai Sagami. Nun jauh di barat, puncak Fuji nampak pucat. Aku selalu menantikan momen seperti ini di penghujung Maret, selalu betah disisi jendela saat sakura mulai berguguran. Seperti sayap kupu-kupu kuning pucat nyaris putih yang dikepak angin cepat,  ia berjuntai turun dengan gemulai menyentuh tanah. Ia ada diantara rinai hujan yang mengharumkan tanah, jatuh membelai kedamaian di hati.
“Sayang, sore ini kau tak sibuk? Aku ingin mengajakmu ke hanami di  Fujikawaguchiko.” Sepertinya Kimiko sedang bahagia.
“ Aku sudah menelpon Tatsuo dan Yukari. Mereka ingin bergabung. Sedang kupersiapkan sake dan dango untuk kita.” Lanjutnya bersemangat. Aku menangkap bahagia itu dari suaranya di ujung telepon.
Kimiko adalah sakuraku. Ia seindah sakura dimusim dingin. Hanya saja ia indah sepanjang waktu. Kami selalu melakukan pertemuan hanami setiap gugurnya sakura.



***

Seperti sakura, kematian itu indah. Di bawah rinai hujan yang dingin ia jatuh. Tapi indah. Ia mati terbawa angin, tapi hal itu indah. Musim adalah gerbang menuju pada proses hidup selanjutnya. Ia gugur namun sekaligus menebar energi hidup, eros.  Hanya sakuralah yang mengajarkan bangsa ini untuk memaknai kematian dengan indah, dengan damai.
Hanya ada pada alam semesta, seperti roda ia berputar dan mengaitkan cerita hidup satu dengan yang lainnya. Ketika musim dingin datang mengabarkan akan gugurnya sakura, orang-orang akan menari dan minum sake di bawah pohon-pohonnya. Hanami, mereka menyebutnya demikian. Kematian hanya akan membawa kebahagiaan karena ada kepercayaan di hati mereka, kelak dimusim berikutnya, haru, tunas-tunas akan memunculkan kehidupan baru lagi. Begitu seterusnya semesta ini bekerja. Kau sudah belajar dari sakura, makanya tak perlu kau risaukan kematian itu.


sumber gambar: tripadvisor.com

Tiga tahun sudah aku bekerja sebagai seorang Nokanshi, pemandi dan perias jenazah. Dulu aku hanyalah seorang buruh pabrik komponen-komponen mobil di Tokyo Lantas terbiasa menghabiskan malam minggu dengan ngamen bersama kelompok musik bernama Taishogoto. Aku bisa bermain biola, cello atau meniupkan saxophone. Namaku Kazuko, tapi juga bukan nama kecilku dan satu lagi aku bukanlah orang Jepang! Aku hanya sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di Jepang dan merasa seperti orang Jepang. Di negeri sandalwood jauh tempat rembulan mengawini bayangan pohon-pohon lontar, itulah tempat lahirku. Toh, secara fisik aku bisa diterima dan diakui orang-orang Jepang sendiri. Dan bahwa akhirnya aku bekerja sebagai seorang Nokanshi pun seperti sebuah keajaiban. Mungkin pula karena faktor bahwa aku mirip orang Jepang tulen, bahwa segala tindak-tandukku adalah khas orang Jepang. Satu yang pasti karena aku mencintai sakura, dan istriku adalah sakura.

Kadang aku berpikir, mungkin juga ada keterkaitan dengan masa laluku, tentang sang kakek yang pernah mencecoki otak kecilku dengan nilai-nilai hidup orang Jepang. Kimigayo sampai gambaru. Bahkan aku melihat sendiri jenazahnya dimandikan dengan air seduhan daun teh. Sampai aku takut untuk menyeduh teh, seperti akan menghirup aroma kematian dari gelasnya. Tapi di sini, ketika menemukan sakuraku, aku menjadi lebih tenang melihat kematian itu. bahkan kebahagiaan dan keindahan sekaligus. Tiga tahun lewat sudah.


***

Sore ini kebahagiaanku adalah keindahan anak-anak sungai Sagami. Sukacitaku adalah desiran angin haru yang menusuk hingga sum-sum tulang. Damaiku adalah sakura-sakura putih yang patah dari kelopak dan rantingnya, menjuntai seribu makna hidup yang kami hirup bersama sake di tangan. Hiruplah dengan tawa sukacitamu, jika para dewa mengijinkan mungkin salah satu dari ribuan makna hidup itu akan jatuh ke dalam cawanmu. Hiruplah terus karena itu berkah. Hiruplah lama karena kau pun akan melihat bayangan sakura yang jatuh dari permukaan cawanmu. Sesungguhnya keindahan bisa dilihat dari mana saja. Sesungguhnya aku tak sendiri. Hati puluhan manusia yang hadir di taman ini pun ikut bermekaran.
Tatsuo lalu memainkan gitarnya, sebuah melodi yang sedikit konyol ia mainkan. Kami pun hanya bisa menertawakan suaranya yang makin kedengaran fals.

“cherry blossoms, just floating to the ground
believing one day they'll be reborn
Don't cry my friend, It's a shame but it's time to go
with that unadorned smile...”


Ahh.
Tiba-tiba telepon selulerku berdering. Aku langsung merasa ada sesuatu hilang dari peredaran. Gugur seperti sakura. “Ibu Ryoko pemilik Onsen langgananmu telah meninggal dunia sejam yang lalu, keluarga membutuhkan bantuan anda, pak Kazuko,” terdengar datar dan bergetar dari ujung telepon.
Aku ingat betul kala lalu itu, suatu sore yang diselimuti salju aku baru saja memulai pekerjaanku sebagai nokanshi, pemandi dan perias jenazah tradisional Jepang. Aku hanya mencoba menjadi asisten yang baik dari pak Yamamoto dan hal tersebut cukup membuatku mual minta ampun. Kami harus membasuh tubuh seorang pria tua yang ketahuan melakukan seppuku atau harakiri di kamar sewaannya. Pengalaman pertamaku untuk berhadapan langsung dengan tubuh yang mulai membusuk, nyaris membuatku putus asa. Tapi aku butuh pekerjaan. Aku hadapi saja tantangan itu. Dua jam kemudian aku seperti sedang berperang dengan jiwaku sendiri di ruang ganti Onsen milik ibu Ryoko, yang murah senyum itu. Aku bersikeras untuk memastikan bahwa aku tak akan lagi mencium bau mayat dari sekujur tubuhku. Tak boleh sedikit pun. Karena sejak dulu aku terlalu takut dengan aroma kematian. Sesaat setelah tubuhku benar-benar terendam di kolam hangat itu, barulah terasa tentramnya. Tentram yang mengalirkan kejernihan darah ke sekujur tubuh telanjangku.
Di luar butir-butir salju tak hentinya menerpa bumi yang kesepian. Yang kadang menyaru dengan sayap-sayap kerapuhan dan kematian.


***

Pada akhirnya aku pun makin paham dengan profesi nokanshi. Kadang aku berpikir bahwa aku mulai menemukan jalan untuk mengiklaskan diri melayani sesama. Sampai pada hal yang tak melulu menjadi monopoli anak manusia yang masih hidup. Di sini tubuh mereka telah kaku dan pucat tapi selajutnya gerbang baru menanti senyum mereka. Seperti sakura, hidup menawarkan berlapis-lapis kesempatan. Musim ini adalah saatnya gugur tapi musim depan hidup baru akan ditawarkan dari sela-sela ruas batang. Layaknya sakura yang memukau rasa dan logika manusia, maka kehidupan atau pun kematian bolehlah kurasakan sebagai sebuah keagungan, keindahan, seni. Mungkin ini yang mau ditunjukkan nenek moyang bangsa Jepang bahwa nokanshi akan membantu mewujudkan manusia yang sudah mati menuju ke gerbang kehidupan selanjutnya dengan bersih, indah dan agung. Kematian kini tak lagi menakutkanku.

“Kau tahu apa artinya hidup dan mati, Kimiko?” tanyaku. Sebuah kepura-puraan saja. Bukan itu yang kumaksud, sayangku. Aku hanya ingin memeluk punggungmu lalu menjilat pusarmu.
Ia menggeleng pelan tapi tak kupedulikan.

Kematian memang tak lagi menakutkanku, tapi yang kutakutkan adalah bahwa suatu saat nanti kita terpisah gerbang menuju kehidupan selanjutnya. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya dari balik dinding rahimmu. Seperti bumi yang menyerap kesepian dari salju-salju yang tumpah, yang kadang menyaru dengan sayap-sayap kerapuhan. Aku ingin melewati semua musim sakura bersamamu dan menjadi jiwa yang berdiam pada pohon-pohon sakura di taman Fujikawaguchiko. Kau mau?

*****


Gang Wora-Wari, 15 Mei 2011
00:10 WIB
  1. Nokashi: proses tradisional masyarakat Jepang yakni memandikan dan merias jenazah dengan teknik-teknik tertentu.
  2. Sake: minuman beralkholol khas Jepang, berasal dari kata Sake-Mizu artinya 'air kemakmuran'. Terbuat dari hasil farmentasi beras.
  3. Dango: kue khas Jepang, dibuat dari tepung beras, berbentuk bulat disajikan dengan tusuk sate mirip sate telur puyuh. Dimakan dengan saus kacang atau wijen.  
  4. Hanami: tradisi tahuna masyarakt Jepang untuk menikmati keindahan bunga sakura di musim semi, dengan duduk-duduk minum sake di bawah pohon sakura.
  5. Seppuku atau Harakiri: artinya 'merobek perut' tradisi para pemimpin Jepang sejak dulu yang merobek perut mereka sendiri demi memulihkan nama baik atas kesalahan menjalankan tugas atau kesalahan menjalankan tanggungjawab atas orang lain/rakyat.
  6. Haru: musim semi
  7. Sandalwood: cendana



BACA JUGA, "Sajak untuk Masahiro Motoki" disini 

Apa Kata Mereka Tentang Antologi Puisi Cerah Hati? disini 


CERAH HATI. Antologi Puisi Christian Dicky Senda. Indie BOOK Corner Jogjakarta. ISBN 9786029149074. Soft Cover IDR 35.000 (belum termasuk ongkos kirim). pesan: 085 228315722 (Senda)

Rabu, 11 Mei 2011

Di Persimpangan Itu...




Terhenti aku lelah
Di persimpangan itu…
dimanakah Engkau wahai….
tak ada Engkau kucari pada malam tepat ia berganti dini…
tak jumpa juga Engkau kudatangi di senja kala rembulan muda  mengusir sang tua matahari…..
jika Engkau tak ada pada pusaran waktu…dan kapankah bisa aku temui…?
tak pernah  aku berpapasan dengan Engkau di lorong-lorong sempit kota yang berpadat manusia ini..
tak jua Engkau kulihat di bawah teduh bayang pohon-pohon  alun-alun lenggang pada siang-siang yang terik..
jika Engkau tak ada pada dimensi ini ..dan dimanakah bisa aku temui..?


“Tak ada Ia disini”…


tiga suara berbeda dari tiga asal yang tak searah mendadak serempak menjawab….
pertama kuperhatikan suara yang datang dari depanku,mendahului sosok rapuh dan lusuh yang datang terbungkuk-bungkuk ke arahku menghampiri.Dia lelaki yang telah tua. Janggut tak terurus menyembunyikan pasang pipi yang telah kemput. Setelan Amerika  dari masa-masa musik perlawanan perang Vietnam membalut tubuhnya yang tetap terkesan ringkih. Betapa ia tak pernah berganti. Dia bau. Gitar tua tergantung pada selempang bahunya.Kedua tangan kurusnya masing-masing membawa benda berbeda beban, selinting rokok tersulut,atau mungkin ganja,  di kiri dan harmonika murahan yang telah berkarat di kanan. Dylan-kah dia ????..tapi tidak..Pasang kacamata hitam pada wajahnya. Ia buta kukira.Baguslah ia buta, tak nampak olehnya aku menutup hidungku,sebab aku tak tahan pada baunya saat ia mendekat untuk berbicara. Tapi..Oh..betapa merdu suaranya…Datanglah penghormatanku setinggi- tingginya padanya. Dari anggapanku dia Si Tua Bau..mendadak jadi Si Tuan Pemusik. Aku turunkan tanganku dari hidungku.

“Berbicaralah selama-lamanya padaku Tuan Pemusik, sebab demikian suaramu merdu, dan dan aku  mendengarkan.”
dan ia pun mulai sambil tersenyum , senyuman berteman serupa senyum seorang karib lama pulang dari perantauan sedang bercerita.
” Marilah ikut anak muda. Telah kudengar keluh-mu. Dan aku-pun segera tahu. Bahwa kau tak lain seperti kami waktu dahulu. Kami menemukan Dia di sana. Di tempat kami tinggal sekarang. Tempat dimana disana tak ada apa, hanya keindahan. Hanya keindahan. Mari….”
“Ah.. inilah jalanku…. betapa nikmatnya hidup bertemankan keindahan. Hanya keindahan. Ya itulah Engkau..engkau tak lain dari keindahan yang ingin kunikmati. Hanya keindahan “
Lelaki itu tersenyum
” Kau bisakah mainkan harmonika anak muda?
” Tidak  Tuan..tapi sedikit bisa aku bermain gitar”
Dilepaskan selempangnya dan Ia menyerahkan gitarnya padaku.
” Marilah kita bernyanyi sepanjang jalan ke sana.Sayang lintinganku tinggalah sebatang. Tapi bolehlah kita berbagi jika engkau ingin tentu. Mainkan nada-nada riang, nyayian kebahagian bagi kau yang telah menemukan jalan untuk pencaharianmu”
Belum hendak kuselempangkan gitar itu,…
” Sebentar jejaka…!!”…

suara dari kiri-ku menyela.Ditariknya tanganku,dan tanpa kusadari ia mendekapku .Tubuhnya rapat padaku, berhadapanlah aku padanya. Mata ketemu mata..dada ketemu dada. Aku tak berdaya. Tiba-tiba bibirnya menemui bibirku. Dan semuanya menjadi gelap. Tak kusadari gitar si Tuan Pemusik lepas lalu jatuh,mungkin rusak.

lalu  perlahan citranya hadir kembali  kembali.Satu demi satu potongan gambar menyatu dan  semakin lama merupa sebentuk wujud. Kaki yang jenjang dibalut celana kulit ketat merah muda, berujung hak tinggi yang menyangga tumit. Mengangkat dia hampir setinggi aku. Rambut hitam yang gemulai menjuntai pada lengan mulus berujung jari-jari terawat berkuku panjang. Kesepuluhnya diwarnai merah muda pula serasi celana ketatnya itu. Dan tak begitu kuperhatikanlah wajahnya demi mataku terhenti pada dadanya yang masing-masing sekepal namun menguncup indah tanpa ada pengahalang. Dia telanjang dada. Oh…. Aku ingat dada ini. Pada dada ini pertama kali aku memuntahkan nafsu remajaku. Ya ..aku tak mungkin salah. Persis dengan sepasang dada yang bergoyang-goyang terguncang milik pemain film porno jepang itu. Inilah sepasang dada yang sama…aku ingat betul..saat-saat ia disetubuhi dan berteriak-teriak, karena waktu itulah aku pertama kali mengalami sang tabu masturbasi. Pastilah ini dia. Akhirnya bertemu jua aku denganya.

” Kau tak juga melihat wajahku wahai jejaka..Pastilah betapa rindu engkau pada susu Ibumu”.
suaranya mengangkat pandanganku tertuju pada wajahnya..tapi.. suara ini bukan suara yang beteriak-teriak itu…suara yang merintih semakin keras saat aku memacu kejantananku semakin cepat. Ini bukan dia. Tapi dia begitu mirip bahkan wajahnya jauh lebih sempurna baru kuperhatikan.
” Berceritalah selama-lamanya padaku..wahai perempuan pemerah cairan kejantanan..sebab demikian cantik engkau, dan aku menyaksikan”

dan iapun mulai sambil tersenyum ,senyum menawarkan serupa senyum para gadis tukang promosi produk.
sumber: bojalinuxer.blogspot.com
” Aku dengar tadi kau inginkan kenikmatan. Dan aku yakinkan kau wahai jejaka..tiada bisa kau nikmati keindahan yang dibualkan si Pemusik Tua yang bau  itu. Keindahan mereka hanya pada mimpi-mimpi serta khayalan yang mereka ciptakan sendiri. Dan jika mimpi indah itu tak kunjung datang. Mereka undang mimpi-mimpi itu dengan cara gila mereka .Cara yang sedikit-sedikit mengisap sari-sari tubuh mereka sendiri.Dan perlahan-lahan mereka akan mati sia-sia. Ah..mengertilah kau pasti kukira. Pemabuk sinting mereka itu. Wahai jejaka.betapa liurmu menetes pada dadaku kuperhatikan. Mari..ikutlah kau denganku. dan dada ini ,seluruh diriku serta akan menjadi milikmu.Di tempat kami tak ada mimpi,.tak ada esok..yang ada hanya kenikmatan hari ini untuk kau nikmati sepuasnya. Dan jika kau masih bangun esok pagi. Esok akan menjadi hari ini lagi bagimu dimana hanya ada kenikmatan untuk kau nikmati. Hanya kenikmatan.Mari…”

” Maafkan aku wahai Tuan  Pemusik..aku tak bisa ikut padamu. Aku tak berdaya…kukira memanglah ini jalanku. Aku dambakan keindahanmu. Tetapi aku tak yakin akan menemukan Dia pada keindahanmu. Mungkin benar bahwa memang pada kenikmatan yang ditawarkan Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan inilah aku dapat menemukan Dia. Karena inilah yang kuinginkan sekarang. Hanya kenikmatan.

Si Tua itu ,kecewa kembali menyandang gitarnya yang entah rusak tak kutahu dan tak begitu kupeduli lalu pergi diiring tertawaan lepas si Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan. Aku berbalik padanya. Ia menantapku .Dia memang luar biasa. Dia tak lain daripada Dewi Kenikmatan itu sendiri.Ia mendekat padaku. Tiba- tiba tak kusadari celanaku telah turun dan ia menggenggam kejantananku pada tanganya kananya.

“Mari….”
Hina seperti binatang ternak aku hendak digiringnya, dengan  kejantananku sendiri sebagai tali kekangnya. Kami keduanya telanjang, perempuan itu dan aku  itu, tetapi kami tidak merasa malu. Aku percaya padanya  inilah jalan kenikmatan. Tapi baru hendak perempuan itu menyeretku..
Saudara..!!
Demikian suara itu menyapaku.Suara itu datang dari sisi kananku.Dan suara itu sangat akrab. Siapakah orang ini kiranya..Aku tak kenal dia lagi aku tak punya saudara. Tapi jika bukan aku yang disapanya lalu siapa, perempuan itu-kah? ..Tidak…ia bilang saudara bukan saudari. mestilah aku yang disapanya.
” Ya saudara…Engkau yang kusapa..Engkau Saudaraku.

Memang ia menyapaku. Tidak jijik-kah Engaku padaku Tuan. Aku ini yang hina merelakan diri digiring seperti ternak hanya demi kesempatan sehari mencucup susu perempuan itu. Tidak hinak-kah engkau padaku?.Ia baca pikiranku.Dengan senyum hangat yang menyenangkan ia menghampiriku. Ia mengulurkan tangan hendak berjabat. Dia menenangkan aku yang gelisah dan penuh nafsu. Ia seperti punya kekuatan yang menarik perhatianku. Bahkan seketika itu hilang sudah perhatianku pada Perempuan Pemerah Cairan Kejantanan itu. Kejantananku tak lagi bersemangat ,Sang Ular kembali menjelma lintah, liat , licin dan lolos begitu saja dari genggamanya. Siapakah orang  yang begitu asing tapi juga begitu karib ini. Begitu aku penasaran padanya. Kujabat tanganya , baru tersenyum membalas senyum yang sejak tadi Ia berikan.

“Ya Tuan, saya begitu tidak pantas Tuan datang kepada saya…tapi,  Bersabdalah engkau padaku wahai Tuan, sebab Engkau begitu bijak dan begitu aku  mendengar”
dan Ia pun mulai sambil tersenyum, senyuman bijak serupa senyum pengertian para guru taman kanak-kanak.
” Padamu engkau perempuan. Berkali-kali kalian kubela dari para munafik yang hendak merajam kamu. Sungguh kalian telah menjadi begitu buta. Tapi  engkau pergilah. Ini kali engkau tak hendak dirajam, tak perlulah engkau kubela.

Perempuan itu menjadi begitu malu. Tertunduk dan mulai terisak-isak. Berlari lalu, menjauh dengan ketelanjanganya. Akupun sadar bahwa aku masih telanjang. Entah kemana pakaianku dibuang perempuan itu.

“Siapakah sebenarnya orang ini”

“Anak muda., aku tak tau siapa Dia yang kau cari. Tapi mungkin kau bisa bertemu dengan Dia setelah matamu terbuka akan kebenaran. Akulah jalan kebenaran. Mari ikutlah aku”
Hanya itu yang dia bilang namun sungguh satu kalimat itu jauh lebih mempengaruhi aku untuk mengikuti dia. Daripada berkalimat-kalimat kisah  si Tuan pemusik maupun rayuan si Perempuan pemerah cairan kejantanan tadi. Haruskah kuikuti dia?

” Engkau begitu  bimbang kulihat anak muda.  Tak percayakah engkau padaku?, Ah..jaman ini… begitu membingungkan kalian. Tak hanya engkau yang bimbang begini.
Ada kutangkap kesedihan pada rautnya.

“Baiklah aku pergi dahulu. Jika sewaktu-waktu Engkau ingin,. Datanglah, ikuti jalan ini. Dan pada hari aku melihatmu di pintu gerbang rumah-ku,akan ada pesta sukaria dengan seruling dan nyanyian tari-tarian, seekor anak lembu tambun akan disembelih,dan Engkau yang dipestakan akan mengenakan jubah terbaik untuk menutupi ketelanjanganmu ini,cincin pada jarimu serta sepatu pada kakimu.
Begitukah aku istimewa bagimu Tuan. Aku yang hanya seorang telanjang yang terhenti kelelahan di persimpangan. Sungguh aku tidak pantas.

“Aku berkata kepadamu anak muda, Demikian akan ada sukacita karena satu orang berdosaa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan”


Ia tersenyum dan berlalu


Seketika mataku terbuka. Pernah sekali aku mengenal Dia. Dia yang dulu pernah dekat lalu kujauhi.
Seperti perempuan pemerah cairan kejantaan itu. Aku menjadi begitu malu.
Tertunduk  dan mulai terisak-isak aku,
Di persimpangan itu…


19 Oktober 2009

Selasa, 10 Mei 2011

Wahyu aksara

                                                                                                                      karya Umbu Spiderno


Aku merayu sekumpul tinta
Meretas di atas kertas rata
Membentuk aksara hati dan mata
Terkulai sejenak dalam belai kata

Kala renung menggunung
Wahyu rayu lengan berayun
Agar terlewati pagar sangar
Kemunafikan!!!!

Aku kini dalam kekinian
Dari lalu dan slalu
Merangkai aksara membara
Tentang asa dari rasa basah


Kamar laba laba putih,08,mei,2011

Hanya Ingin Pulang (sebuah puisi)

(Untuk MUDAers NTT MENULIS)

Aku ingin diselimuti tenun ikat moyangku
Disekujur kaki koreng hitam lapuk
Yang setiap hari kupakai membajak
Lumpur-lumpur hitam nan subur tanahku
Seperti dulu waktu masih berdebu dan bau

Aku butuh surya yang masih temaram
Saat hari beranjak pukul enam
Menembus jari-jari nyiur yang melambai
Membentuk shiloutte indah jagat permai
Menghantar bocah-bocah tengik ke sungai
Bersihkan diri dari rutinitas yang selalu menyeringai

Ladangku di Nusantara
Di benua yang langka
Ada Sulawesi seperti belalai gajah dan bengkokan paruh Papua
Bentangan sumatera dan keramahan pulau Jawa
Juga wajah Kalimantan yang kokoh seperti para lelakinya

Aku sang pribadi Nusa Tenggara, Aku hanya ingin PULANG



*Gregetan lihat Iklan Djarum Super My Great Adventure Indonesia yang setiap hari wara-wiri di Televisi :D ; Jangan ngaku orang Indonesia kalo belum keliling Nusantara. Jangan ngimpi keliling dunia kalo belum keliling Indonesia.  I Love Indonesia Full :)

Sabtu, 07 Mei 2011

Kau dan Aku

untuk MuDAers NTT Menulis

 kau bilang aku cinta pertamamu
aku membacanya lewat senyummu: 
senyum pupus tanpa pupur
sebuah senja.

aku bilang kau cinta terakhirku
yang kukirim lewat sunyi
yang senyap tanpa sayap
sesuatu melayang


jogjakarta juni 2009

puisi ini ada dalam antologi puisi CERAH HATI halaman 33, terbitan Indie Book Corner Jogjakarta, 2011

Mengenang Kita: Aku, Kamu dan Dia (sebuah sajak)


kita pernah menabur rasa, 
kau ingat itu? 
kau dan aku
dan dia
entah siapa menghadirkan siapa
menjadi siapa mengkhianati siapa
kita muda
kita jatuh
dan kita sakit
aku ingat jati tua tempat kita duduk.
bertiga
berdua
kini sendiri, kala kau dengannya
kita pernah menuai kata
cinta, bagiku dan bagimu
mungkin juga baginya 
kalau aku tak salah

semoga kau ingat, dengan rasa bersalah…
aarrgh 
sumber: isabellaroselini.blogspot.com
sebenarnya aku tak ingin membangkitkan amarah kita…
hanya ingin mengenang
 tentang kita yang adalah aku dan kamu,
dan kalian
kamu dan dia


Kupang, 30 Juni 2009

Jumat, 06 Mei 2011

Marsinah

 karya Umbu Spiderno

suaramu masih merdu
terdegar dari kubur batu
berteriak dengan suara satu
“ayo lawan.. ayo lawan”

marsinah….

gadis kecil semampai
kini di bawah rampai
masih mengirim doa nyeri
tentang buruh yang mati ngeri


kamar laba laba putih, 02, mei, 2011
(may day)

Rabu, 04 Mei 2011

Romansa Teh Hangat

selamat malam, dek, aku membuatkan teh hangat
untuk kebahagiaan kita
berharap kau mau menyeruput hingga tuntas
semua ramahtamah
agar kau makin bergairah
aku pikir kau harus lebih banyak menulis dan minum teh hangat
karena aku akan selalu menaruh pucukpucuk terima kasih
dan cinta dalam pocimu
selamat malam, dek, aku haus pagutanmu, aku sudah mengikat keluhanmu
(jangan kau pikir kau bisa tidur dengan lelaki lain, sayang!)

***
ouchhh… aku sengaja mencipatakn lagi romansa ini, karena
aku cemburu berat pada dia yang sudah mengambil pocimu dengan paksa
kau harus percaya, pernah aku berniat untuk membunuhnya!



Jogja, suatu hari menjelang Valentine Day 2009